Raine Alverez duduk di ujung ranjang, menggenggam erat jemarinya yang mulai gemetar. Malam ini terasa begitu dingin, bukan karena udara di luar, melainkan karena keputusan yang harus diambilnya. Di depan pintu kamar, ibunya berdiri dengan mata penuh harap, tetapi juga ketakutan.
"Raine, kamu harus melakukannya. Ini satu-satunya cara agar kita bisa bertahan," suara ibunya lirih, hampir memohon.
Raine menggeleng, air mata menggenang di pelupuk matanya. "Mengapa harus aku, Bu? Kenapa bukan orang lain? Kenapa aku harus menjadi istri kedua pria itu?"
Ibunya menunduk, seakan tak sanggup menjawab. Jawabannya sudah jelas-karena mereka tak punya pilihan lain. Ayahnya meninggalkan utang yang tak terbayarkan, dan dalam waktu 24 jam, rumah kecil mereka akan disita. Adik-adiknya masih terlalu kecil untuk memahami bahwa hidup mereka bisa berakhir di jalanan jika Raine menolak tawaran ini.
Tawaran dari pria yang bahkan belum pernah ia temui.
Tepat saat itu, suara ketukan terdengar. Keras. Otoritatif.
Pintu terbuka, dan seorang pria melangkah masuk.
Leon Castello.
Ia tak butuh pengenalan. Nama itu sudah sering terdengar di berita dan majalah bisnis. Pria berusia 34 tahun itu adalah pewaris kerajaan bisnis yang mengendalikan sebagian besar pasar investasi di negeri ini. Pria yang memiliki segalanya-harta, kekuasaan, dan seorang istri sah yang dikenal sebagai wanita sempurna.
Namun, malam ini, pria itu berdiri di depannya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. Matanya tajam, dalam, penuh sesuatu yang tak bisa Raine pahami. Ia mengenakan setelan hitam yang terlihat sempurna di tubuhnya, posturnya tegap, aura dominasinya begitu kuat hingga membuat udara dalam ruangan terasa menekan.
"Kita harus bicara."
Raine menatapnya dengan tatapan tajam. "Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku tidak akan menjadi istri keduamu."
Leon tidak bereaksi. Ia hanya menyelipkan satu tangannya ke dalam saku celana, lalu dengan tenang mengeluarkan selembar kertas dari jasnya dan menyerahkannya kepadanya.
Kontrak pernikahan.
Raine menahan napasnya saat membaca setiap kata di sana.
-Pernikahan kontrak.
-Raine akan menjadi istri kedua dalam status yang tidak dipublikasikan.
-Tidak ada hak untuk menuntut statusnya di mata hukum atau publik.
-Sebagai kompensasi, keluarganya akan dibebaskan dari seluruh utang.
Dan di bagian paling bawah, tertulis sesuatu yang membuat hatinya semakin hancur:
-Pernikahan ini berlaku selama lima tahun, atau sampai Leon memutuskan sebaliknya.
Raine meremas kertas itu, menatap Leon dengan penuh amarah. "Jadi aku hanya sebuah kontrak bagimu? Sebuah kesepakatan bisnis?"
Leon mendekat, suaranya rendah dan dingin. "Aku tidak mencari cinta, Raine. Aku mencari solusi. Dan kau adalah satu-satunya pilihan."
"Kenapa aku?" Raine menuntut, suaranya bergetar.
Leon mengamati wajahnya selama beberapa detik, lalu berkata dengan nada yang terdengar seperti peringatan, "Karena kau adalah seseorang yang tidak akan membuat masalah. Kau tidak akan menuntut lebih, karena kau tahu ini bukan dongeng. Dan yang paling penting-kau butuh aku lebih dari yang kau akui."
Pernyataan itu membuat Raine merasa seperti ditampar. Ia ingin berteriak, ingin menolak, tetapi kenyataan sudah menghimpitnya dari segala arah.
Jika ia menolak, keluarganya akan kehilangan segalanya.
Jika ia menerima, maka ia akan kehilangan dirinya sendiri.
Matanya kembali menatap kontrak itu. Setiap kata terasa seperti belenggu yang akan mengikatnya dalam hidup yang bukan miliknya.
Tapi kemudian suara lirih ibunya kembali terdengar di belakangnya, "Raine... kalau bukan kamu, kita tidak akan punya tempat tinggal besok."
Air matanya jatuh. Bukan karena kelemahan, tetapi karena ketidakadilan yang ia rasakan.
Pelan, dengan tangan gemetar, ia mengambil pulpen dari tangan Leon dan menandatangani namanya di bagian bawah kontrak.
Dan saat tinta itu mengering, Raine tahu... hidupnya tidak akan pernah sama lagi.