Ariana mengepalkan tangannya di pangkuan. Ayahnya sedang sakit keras, dan inilah permintaan terakhirnya. "Menikahlah dengan Daniel Aldrigham," begitu katanya. Suara ayahnya yang lemah masih terngiang di kepalanya, membuat dadanya sesak.
Ariana tidak punya pilihan. Menolak berarti mengecewakan satu-satunya orang yang selalu mencintainya tanpa syarat. Namun menerima berarti mengikat diri pada pria asing yang bahkan tidak pernah ia temui sebelumnya.
Suara ketukan di pintu membuatnya tersentak. Ibu tirinya, Evelyne, masuk dengan ekspresi puas. "Sudah siap?" tanyanya dengan nada datar, seolah Ariana akan menghadiri pertemuan bisnis, bukan pernikahan.
Ariana menoleh pelan. "Apakah aku masih bisa mundur?"
Evelyne tertawa kecil, sinis. "Jangan konyol, Ariana. Ini bukan tentang kamu. Ini tentang keluarga kita. Ayahmu sudah memutuskan, dan kau tahu betapa buruk kondisinya sekarang."
Ariana terdiam. Tentu saja dia tahu. Itulah satu-satunya alasan dia masih duduk di sini, mengenakan pakaian pengantin dan bersiap menikahi pria yang bahkan belum pernah ia tatap sebelumnya.
***
Di ruang tamu besar yang dijadikan tempat akad, Daniel Aldrigham duduk dengan ekspresi datar. Pria itu mengenakan setelan hitam yang terlihat mahal, tetapi tak sedikit pun menunjukkan tanda bahwa hari ini adalah hari penting baginya.
Tatapannya kosong, rahangnya mengeras, dan tubuhnya tegang seolah ia ingin berada di mana saja selain di sini.
Ariana melangkah masuk, ditemani Evelyne. Sejenak, tatapan mereka bertemu. Mata Daniel dingin, tidak menyambut, tidak menolak. Hanya menilai.
Ketika penghulu mulai membaca akad, suasana semakin menegang. Daniel mengucapkan ijab kabul dengan suara yang tegas, tetapi tanpa perasaan. Semuanya berlangsung cepat, dan sebelum Ariana benar-benar bisa mencerna apa yang terjadi, ia telah menjadi istri dari pria asing itu.
Tidak ada ciuman di kening, tidak ada genggaman tangan hangat. Yang ada hanya keheningan canggung dan ekspresi datar dari pria yang kini menjadi suaminya.
***
Malam itu, Ariana duduk di tepi ranjang, menatap gaun pengantinnya yang sudah ia lepas dan tergantung di lemari. Daniel berdiri di dekat jendela, membelakanginya, satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Aku harap kau tahu bahwa pernikahan ini tidak mengubah apa pun," katanya tanpa menoleh. Suaranya dingin dan tajam, membuat Ariana merasakan dorongan amarah yang tiba-tiba.
"Tidak mengubah apa pun?" Ariana mengulang kata-katanya dengan nada penuh ironi. "Aku sudah menjadi istrimu, Daniel. Bagaimana bisa itu tidak mengubah apa pun?"
Daniel akhirnya menoleh, matanya tajam dan menusuk. "Karena aku sudah memiliki seseorang. Dan tidak ada yang bisa mengubah itu."
Ariana membeku. Napasnya tersengal, matanya membelalak. Jadi, inilah alasannya kenapa Daniel tampak begitu enggan sejak awal.
"Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu, dan aku harap kau juga tidak berharap apa pun dariku," lanjutnya, suaranya terdengar lebih rendah, lebih mengancam. "Kau mungkin istriku di atas kertas, tapi itu saja. Jangan coba-coba mengubah apa yang sudah ada."
Ariana menelan ludah. Jadi, inilah takdirnya? Menjadi istri tanpa diakui? Menjadi bagian dari sebuah pernikahan yang bahkan sejak awal sudah penuh kebohongan?
Namun, dalam benaknya, sebuah peringatan terngiang-kata-kata dari ayah mertuanya sebelum pernikahan tadi.
"Buat dia melupakan perempuan itu, Ariana. Buat dia bertekuk lutut padamu."
Ariana mengepalkan tangannya. Jika ini pertempuran, maka ia tidak akan kalah begitu saja.