Namun, semakin lama ia berada di dalamnya, semakin sulit baginya untuk tetap berpegang pada misinya. Tatapan Aaron yang selalu lembut meski wajahnya dingin, cara pria itu menyentuhnya seolah ia adalah sesuatu yang berharga, dan bagaimana Aaron selalu pulang dengan membawa bunga kesukaannya. Hal-hal kecil seperti itu perlahan-lahan mengikis tembok yang selama ini Alice bangun.
Tapi tidak. Ia tidak boleh lengah.
Dari kaca jendela apartemen mereka yang terletak di lantai dua puluh, Alice menatap hamparan kota yang bercahaya. Cahaya lampu jalanan dan lalu lintas yang sibuk menciptakan pemandangan yang indah, namun itu tak mampu menenangkan pikirannya. Di tangannya, ada segelas anggur merah yang belum ia sentuh. Dini hari selalu menjadi waktu di mana pikirannya berputar terlalu cepat, mengingatkan dirinya pada alasan mengapa ia ada di sini.
Ponselnya bergetar di atas meja. Alice meraihnya dengan cepat, matanya menyipit membaca pesan yang muncul di layar:
Angel! Setahun terakhir dia tak meninggalkan jejak.
Mungkin pria itu benar-benar berhenti dari Black Organization.
Tapi tetap fokus pada misimu, Phonix punya banyak hal tak terduga.
Begitu ia selesai membaca, pesan itu langsung terhapus otomatis, meninggalkan layar kosong seolah tak pernah ada apa pun di sana. Alice terdiam, jemarinya mengetik balasan singkat sebelum pesan itu juga lenyap dari layar:
Pesan telah diterima. Kode 4.
Ia menutup ponselnya dan meletakkannya di atas meja dengan perlahan. Namun, pikirannya tetap melayang, jauh dari ruangan ini. Ada sesuatu yang mengganggu perasaannya-bukan hanya tentang misinya, tetapi juga tentang Aaron. Sesuatu yang belum bisa ia tentukan, tetapi semakin lama semakin mengikatnya.
Langkah kaki terdengar di belakangnya. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
"Sayang, kau belum tidur?" Suara Aaron terdengar serak karena kantuk, tetapi penuh perhatian.
Alice berbalik, mendapati pria itu berdiri di ambang pintu kamar mereka, hanya mengenakan celana tidur dan kaus putih yang sedikit kusut. Rambutnya berantakan, menambah kesan kasual yang jarang terlihat darinya. Aaron selalu tampak sempurna, rapi, dan terkendali-kecuali saat seperti ini, ketika ia baru bangun tidur dan masih setengah sadar.
"Aku tidak mengantuk," jawab Alice dengan senyum tipis.
Aaron mendekat, kedua tangannya bertumpu di pinggang Alice, menariknya ke dalam dekapan hangatnya. "Kau terlalu sering begadang. Apa yang kau pikirkan?"
Alice bisa saja mengatakan yang sebenarnya-tentang misinya, tentang kebohongan yang selama ini ia sembunyikan, tentang alasan ia berada di sini. Tapi ia tidak bisa. Tidak sekarang. Atau aaron akan membunuhnya detik ini juga.
"Hanya memikirkan pekerjaanku," dustanya dengan mudah. "Beberapa laporan belum selesai."
Aaron menatapnya sejenak sebelum menghela napas. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku tidak ingin kau sakit."
Alice hanya mengangguk. Ia hampir merasa bersalah dengan betapa tulusnya perhatian Aaron. Jika saja ia bukan bagian dari Greenice Group. Jika saja ia bukan pria yang pernah menarik pelatuk yang membunuh kedua orang tuanya.
"Lagipula, kau tak perlu bekerja jika itu membuatmu stres,"
Alice tersenyum mendengar perkataan Aaron, "Aku menikmati pekerjaanku, aku yang akan stres jika aku terus di rumah, kau tahu itu," gumamnya.
Aaron mencium bahu wanita itu dengan lembut, "Oke, lakukan apapun, asalkan kau menikmatinya, dan jangan terlalu keras pada dirimu,"
"Baiklah," ucap Alice kemudian berbalik untuk menatap wajah suaminya.
Pria itu tersenyum, dengan gerakan lembut ia mengusap rambut Alice, kemudian membelai wajahnya.
Ia mencondongkan wajahnya untuk mencium bibir gadis itu.
"Ayo tidur," ajak Aaron akhirnya, menarik dirinya setelah ciuman singkat itu.
Ia menarik tangan Alice dengan lembut. Membuat Alice mengikutinya. Ia sudah terbiasa memainkan peran sebagai istri yang baik, mencintai suaminya.
Aaron memeluknya begitu mereka naik ketempat tidur, tangannya melingkari tubuhnya, seolah tak membiarkan gadis itu jauh darinya. Alice menatap pria itu, tubuhnya masih berada dalam pelukan Aaron. Pria itu memejamkan mata, tampak tidur nyenyak, dengan lengan kokohnya yang melingkari pinggangnya. Ia terlihat begitu damai, seolah dunia ini tidak berisi kegelapan yang membayanginya. Sejenak, Alice membiarkan dirinya mengamati wajah suaminya. Rahangnya yang tegas, garis-garis lembut di bawah matanya, dan ekspresi santai yang jarang sekali ia tunjukkan saat terjaga.
'Aku tak boleh tertipu dengan wajah ini'
Alice mulai memejamkan matanya,
berusaha untuk tertidur disamping pria yang selalu ia waspadai.
...
"Aku harus pergi lebih awal hari ini. Ada urusan bisnis yang harus kuurus." Aaron berdiri, meregangkan tubuh sebelum berjalan mendekatinya dan mengecup keningnya sekilas. "Jangan lupa sarapan, ya."
Alice hanya mengangguk, menatap Aaron yang mulai berpakaian. Setelan hitam, jam tangan mahal di pergelangan tangannya, dan gaya elegan yang sudah menjadi ciri khasnya. Jika orang-orang melihat Aaron, mereka hanya akan melihat seorang pria sukses dengan pesona yang tak terbantahkan. Tak ada yang akan menyangka bahwa di balik itu, ia adalah seseorang yang penuh dengan rahasia kelam.
"Jam berapa kau akan pulang?" tanya Alice hanya ingin memastikan.
Aaron melihat jam ditangannya, "Kurasa tak sampai malam, aku juga akan pulang lebih awal mungkin jam lima sore, dengan begitu aku kita punya banyak waktu bersama," jawabnya.
"Baiklah, berhati-hatilah, jaga diri," pesan Alice terdengar tulus, meskipun ia sendiri hanya menganggap itu sekedar basa-basi saja.
Aaron mengangguk, menatap gadis itu sekali lagi, "Kau juga, langsung pulang setelah kerja ok?"
Alice tersenyum kecil, "Tentu saja"
Beberapa menit kemudian, Aaron sudah pergi, meninggalkan Alice sendirian di apartemen yang terasa terlalu sunyi.
Alice menghela napas. Waktunya bekerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya, menyalakan laptop, dan membuka file yang selama ini ia simpan dengan baik-dokumen tentang Greenice Group, organisasi hitam yang selama ini ia selidiki.
Ia mulai mengetik, menghubungkan titik-titik informasi yang selama ini ia kumpulkan. Nama-nama, transaksi, pembunuhan, semuanya ada di sini. Tetapi ada satu nama yang selalu membuatnya ragu.
Aaron.
Ia menelusuri kembali catatan tentang pria itu. Pembunuh bayaran Greenice Group, tangan kanan pemimpin organisasi, pria yang menghilang dari dunia kriminal sejak menikahinya. Namun, benarkah Aaron telah meninggalkan semuanya? Benarkah ia sekarang hanya pria biasa yang ingin menjalani hidup normal?
Alice tidak tahu.
Dan itulah yang membuatnya semakin takut.
Karena jika Aaron benar-benar bukan orang yang ia pikirkan, maka semua yang ia lakukan selama ini adalah sebuah kesalahan besar.
Dan jika Aaron mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya...
Alice tidak yakin ia bisa keluar dari ini hidup-hidup.