Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Not Seen
Not Seen

Not Seen

5.0
5 Bab
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Seorang perempuan yang terpaksa menikah dengan lelaki yang diselamatkannya. Ibu dari perempuan ini tak menginginkannya lagi. Sengaja memaksa lelaki itu untuk membawa pergi anak perempuannya. Walau hanya memiliki 1 anak perempuan, tapi sang ibu tidak memperlakukannya sebagai anak kesayangan, malah menjadikannya seperti anak tiri yang ditinggal mati oleh ayah kandungnya dengan utang yang banyak. Padahal ayahnya masih hidup. Sang lelaki merasa berhutang budi, maka dari itu ia menikahinya dan membawa perempuan malang tersebut ke kota, tempat tinggalnya. Namun tak ada yang tahu, bagaimana pedihnya tinggal di kota bersama keluarga baru. Perempuan tersebut tidak mengetahui kehidupan seperti apa yang menunggunya. Rumahnya yang di desa bak neraka sebelum mati. Setelah dibawa pergi dari sana pun, alih-alih bahagia, ia malah harus menerima dinginnya hidup seorang diri tanpa ada yang menginginkannya.

Bab 1 01. Acuh Sekali

"Saya terima nikahnya Naura Imron dengan mas kawin 25 gram emas dibayar tunai."

Deg!

Sah! Semuanya berseru dan kini pengantin Ervan dan Naura Imron telah sah menjadi suami istri. Hanya sedikit orang yang menyaksikan pernikahan ini, setidaknya rukun dan syarat pernikahan dilaksanakan dan tak dilanggar.

Seorang perempuan kecil merasa bahwa ini mimpi, bagaimana mungkin ia menikah tanpa dihadiri oleh kedua orang tuanya dan hanya dihadiri wali hakim dan beberapa saksi. Ia hanya tertawa lucu dan tak menyangka akan menjadi seperti ini. Walau akal sehatnya membeku saat ini.

Pikirannya kacau tak karuan. Ini semua entah bermula dari mana sampai bisa jadi begini. Kepalanya bahkan enggan untuk menilik situasi di ruangan yang tak begitu luas. Ingin pasrah, namun kenapa kehidupannya begini? Udara dingin dengan bibir yang membisu tak banyak berkomentar. Matanya terpejam menahan takdir yang bahkan tak terlintas dipikiranya.

Dua hari sebelumnya.

Prak!

"Dasar anak bodoh, masak seperti ini saja kau tidak becus!"

Crang!

"Kenapa kau diam saja? Cepat ambilkan garam, dasar anak tidak berguna!" Wajah wanita paru baya itu merah terbakar emosi.

Teriakan itu membuat wajah anak perempuannya menjadi kaku dan ketakutan. Ia tak dapat berbuat apa-apa selain menurut pada sang ibu.

Ia berlari ke dapur mengambilkan garam di mangkuk kecil.

"Ini, Bu garamnya," sodor anak perempuan tersebut dengan kepala menunduk.

"Tuang ke pancinya dan jangan sampai keasinan!" cerca ibu tanpa memelankan suaranya.

Sang gadis itu dengan gemetar menabur garam ke panci sedikit demi sedikit, diaduk, kemudian dicicip. "Sudah tak asin," batinnya, kemudian duduk di kursi kembali untuk makan.

Tatapan iba ditunjukkan sang ayah yang duduk kaku tak berguna di samping istrinya. Ia sebagai ayah justru tak dapat membela anak kesayangannya, hanya dapat menatap dengan penuh arti pada gadisnya.

3 bibir tersenyum melihat suasana pagi ini. Ya, tontonan asik pagi mereka adalah menyaksikan saudarinya dicerca oleh sang ibu negara. Naura memiliki 2 kakak dan 1 adik laki-laki, hanya ia yang perempuan.

Walau hanya satu, Naura diperlakukan seperti anak tiri yang dibenci ibu seolah-olah ayah kandungnya telah tiada dan menyisakan penderitaan bagi sang ibu tiri. Padahal Naura juga menderita semenjak kelahiran anak bungsu.

Sejak kecil Naura tak mendapat kasih sayang, ditambah pekerjaan semakin banyak semenjak ia masuk SD. Harus menyiapkan sarapan, mencuci pakaian, piring, bahkan membersihkan rumah sudah menjadi kewajibannya.

Berangkat ke sekolah berjalan kaki sekitar 2 kilo meter, sedang ketiga saudara naik angkot dan diberi uang jajan. Ayah diam-diam selalu memberikan uang jajan pada Naura dan mengobati luka yang digoreskan oleh ibu kandung yang jahat di malam hari saat semuanya sudah tidur.

Ayah tidah bisa membantah ibu karena pernikahan ini hasil dari perjodohan. Ibu yang menolak keras memberikan syarat jika ingin menjadi suaminya tak boleh melarang atau membantah apapun yang dilakukannya. Ayah yang mencintai ibu dengan cara menurut, hanya bisa diam saja saat anak perempuannya diperlakukan dengan sadis.

Usai sarapan gadis tersebut segera merapikan meja, mencuci piring juga mengelap lantai yang terkena tumpahan mangkuk ibu yang dibuang tadi, dengan tangan yang banyak luka dan memar.

Setiap hari tangisnya selalu tumpah, tak pernah tersenyum ataupun tertawa, selalu menundukkan kepala juga tak banyak bicara.

Dirasa rumah sudah bersih, ia pamit pada ayah untuk berangkat kuliah.

"Maafkan Ayah, ya Nak. Ayah tak bisa membuatmu tersenyum," lirih ayah dengan suara pelan sambil memeluknya.

"Tidak apa Ayah, Naura baik-baik saja, kok." Senyum tipis ditunjukkan gadis yang dimarahi tadi.

"Ini bekal untukmu."

"Terima kasih, Ayah." Naura menyalami ayah kemudian berjalan keluar pagar rumah menuju jalan yang biasa dilewati angkot.

Senyumnya merekah ketika ia tiba di kampus, di tempat inilah ia dapat mengekspresikan dirinya. Masuk ke dalam kampus dengan penuh harap bahwa suatu hari nanti ia dapat membanggakan orang tuanya.

Waktu pulang telah tiba, tapi Naura tidak langsung pulang ke rumah, ia pergi ke taman yang jaraknya tidak begitu jauh dari kampus. Sebelum masuk, ia membeli kopi di warung kecil yang dekat dengan taman.

Berjalan perlahan dengan beberapa buku di pelukannya, menatap jalanan yang dipijak, ia tidak suka meninggikan pandangan.

Mata indah Naura menemukan kursi taman yang panjang, ia duduk di sana kemudian mengerjakan tugas kampus.

Senja mulai terlihat, pandangan menjadi redup, Naura bergegas pergi ke halte bus yang akan membawanya ke stasiun kereta.

Suasana di desa ini tidak begitu ramai, juga ditambah senja sudah mulai pergi. Desa yang sangat nyaman dan tenang. Berbeda dengan keadaan rumah Naura. Baru saja tiba di rumah sudah mendapatkan tatapan tajam dari ibu.

"Ke mana saja kamu, bukannya pulang lebih cepat, malah lambat! Cepat masak, kakak dan adikmu sudah kelaparan!" Tatapan yang menyala itu membuat Naura langsung terbakar rasa takut dan segera melaksanakan perintah ibu.

Naura tak sanggup menatap wajah ibu, ia selalu menundukkan kepala, hingga yang tampak di matanya hanya kaki sang ibu.

Berlari ke kamar kemudian ke dapur dengan pakaian sederhana, tak lupa ia mengenakan kerudung agar rambut panjangnya tak jatuh walau sehelai.

Memasak dengan bahan yang ada di dapur. Tangannya cepat sekali mengupas sayuran juga mengiris, sikap gesitnya patut diakui karena tak begitu lama masakan sudah siap dihidangkan.

Nasi sudah tersedia di meja, tinggal lauknya saja. Makanan di nampan perlahan dibawanya ke meja makan.

Drrrrttt.

Drrrrttt.

Tangan kecil nan kurus itu terlihat gemetar, namun ia tetap berusaha meraih meja.

Tes.

Tes.

Currr.

Tangan ibu meraihnya cepat.

"Terima kasih, Bu," lirih Naura menatap nanar ibu.

"Astaga anak ini, membawakan makanan segini saja sudah gemetar. Makanya, pulang kuliah tuh jangan keluyuran, dasar anak tak tahu diri. Pergi sana! Bikin jengkel saja," usir ibu tanpa belas kasihan.

Tiga jemari kakak tertua menoyor bahu Naura hingga terjungkal ke depan membuat Naura hampir mencium lantai.

"Hahah, dasar anak sial," umpatnya setelah membiarkan adiknya terjatuh.

"Emang gak ada gunanya dia, hahaha."

"Sudah-sudah makan, aku lapar," lerai adiknya yang tak begitu perduli, yang penting ia makan.

Dengan tubuh yang masih gemetar ia masuk ke dalam kamar. Segera minum air yang ada di botol besar.

Glek.

Glek.

Glek.

Setengah botol habis diminum. Semua tubuhnya merunduk, mata layu menatap lantai dengan kosong.

"Dasar anak bodoh, sialan, tak berguna! Bikin jengkel saja."

Suara ibu terngiang-ngiang di telinganya membuat mata tak sanggup lagi menahan tangis.

"Hiks." Tangisnya pun tumpah.

Tok tok tok.

"Hei, anak bodoh, bersihkan dapur." Walau suaranya datar, tetapi makna dari ucapannya membuat Naura lagi-lagi serasa dicambuk di bagian dada.

"Iya, Bu," sahut Naura sambil berlari ke pintu.

"Sedang apa kau di dalam, lama sekali?" tanya ibu setelah Naura ke luar.

Naura menggeleng sambil menjawab, "tidak melakukan apa-apa."

"Cepat bersihkan dapur, nanti ayahmu pulang dapur berantakan. Lamban," cerca ibu dengan wajah sinis.

Kaki panjang Naura membawanya ke dapur, tangan kurus dan lecet segera merapikan meja makan yang berantakan, mata merah juga masih terlihat jelas.

Pukul 12 malam.

Ayah baru pulang dari tempatnya bekerja, walau gajinya tidak begitu besar, tapi tetap dijalani. Ia langsung pergi ke kamar Naura.

Tok, tok, tok.

Punggung jemari ayah mengetuk pelan. "Naura, apa kamu sudah tidur?" bisik ayah pelan sekali.

Naura yang tengah terjaga dengan buku di meja belajar mendengar ketukan pintu. Ia segera berlari untuk membuka.

"Ayah!" serunya dengan wajah berbinar sambil membuka pintu.

"Anak kesayangan Ayah belum tidur?"

"Naura masih belajar sambil menunggu Ayah."

"Kamu sudah makan?"

Naura menggeleng.

"Kalau begitu ayo makan di kamarmu, nanti ibu bangun karena makanan ini enak sekali," bisik ayah di depan wajah putrinya dengan sedikit senyum lucu.

Naura mengangguk girang. "Kalau begitu, Naura ambilkan piring ya, Yah?"

"Iya."

Ayah masuk ke dalam, duduk di karpet yang tipis. Matanya mengedar melihat seisi kamar putrinya yang kosong melompong. Meja belajar hanya dipenuhi dengan buku.

Naura kembali dengan 2 piring dan sendok. Keduanya makan bersama, ayah selalu membawa makanan sisa pelanggan yang masih utuh. Beruntung sekali ayah bekerja di bagian dapur restoran, jadi ia bisa membawa sisa makanan yang masih bisa dimakan.

Naura makan dengan sangat lahap. Matanya berkaca-kaca menikmati makanan yang lezat dan jarang ia rasakan. Tangan ayah menyeka air mata yang perlahan menetes tanpa kata. Ekspresi ayah dan Naura menggambarkan perasaan yang perih jika diucapkan.

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Butik   03-31 05:18
img
1 Bab 1 01. Acuh Sekali
25/03/2025
3 Bab 3 03. KUA
27/03/2025
4 Bab 4 04. Pocicah
27/03/2025
5 Bab 5 Butik
27/03/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY