Tak heran, bila setiap langkahnya selalu menarik perhatian. Banyak yang memujinya-terutama para pria-yang melihat Selina sebagai sosok sempurna, wanita idaman yang bisa memenuhi segala kriteria kecantikan, kepintaran, dan kebaikan hati. Namun, di balik kesempurnaannya yang tampak, ada sebuah rahasia besar yang tak banyak orang tahu. Selina, meskipun memiliki segalanya, sering kali merasa terjebak dalam kehidupan yang dipenuhi dengan ekspektasi yang terlalu tinggi dari orang tuanya.
"Selina, pagi ini ada pertemuan dengan para dokter spesialis untuk evaluasi pasien," kata dokter Arjuna, rekan kerjanya yang selalu tampak tenang dan profesional.
"Terima kasih, Dokter Arjuna. Saya akan segera bergabung," jawab Selina sambil melirik jam tangannya. Jam menunjukkan pukul 08:30 pagi-waktu yang tepat untuk mulai bekerja setelah beberapa menit berbincang dengan staf medis di ruangannya.
Namun, suasana yang tenang di rumah sakit itu segera terganggu oleh kejadian yang tak terduga. Di tengah kesibukannya, Selina mendapat telepon dari ibunya, Diana Vianey.
"Selina, ibu ingin berbicara serius. Ini tentang masa depanmu," suara ibunya terdengar penuh ketegasan, jauh lebih serius dari biasanya.
"Ada apa, Bu?" tanya Selina, sedikit bingung.
"Ibu dan ayah sudah memutuskan sesuatu yang sangat penting untukmu. Kami telah mengatur perjodohan dengan anak dari teman lama kami, Rafael Ardan. Kami ingin kamu bertemu dengannya malam ini. Dia adalah pilihan yang tepat untukmu, Selina."
Selina terdiam. Perasaannya bercampur aduk. Ia tahu keluarganya selalu berusaha mengatur masa depannya dengan cara yang mereka anggap terbaik, tetapi ini terasa terlalu jauh. Menjodohkannya dengan seorang pria yang bahkan belum ia kenal dengan baik?
"Bu, aku... aku belum siap untuk ini. Aku belum tahu siapa dia dan apakah kami cocok," jawab Selina, mencoba menahan amarah yang mulai menggelora dalam dadanya.
"Ibu tahu apa yang terbaik untukmu, Selina. Jangan menentang keputusan ini. Kamu harus bertemu dengannya malam ini, dan kita akan bicara lebih lanjut. Jangan kecewakan ibu," kata ibunya dengan nada yang tak bisa dibantah lagi.
Selina menggigit bibirnya, menahan emosinya. Ia tahu tidak ada gunanya melawan orang tuanya, apalagi ketika mereka sudah membuat keputusan bulat. Namun, ia juga merasa dikhianati-terlebih oleh perasaan bahwa hidupnya telah ditentukan oleh orang lain sejak awal.
Malam itu, Selina merasa tidak nyaman saat duduk di ruang makan keluarganya, menunggu kedatangan pria yang akan dijodohkan dengannya. Ia berpura-pura tersenyum saat orang tuanya menyambut tamu yang tiba. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan seorang pria masuk ke dalam ruangan. Pria itu tampak rapi, dengan jas hitam yang pas dan rambut gelap yang sedikit berantakan, memberi kesan bahwa ia baru saja terburu-buru keluar dari mobil.
"Aku Rafael Ardan," pria itu memperkenalkan diri sambil menawarkan tangan untuk berjabat.
Selina menatapnya dengan bingung. Nama itu terdengar familiar, namun ia tidak dapat mengingat di mana ia pernah mendengarnya. Matanya menilai Rafael dari ujung rambut hingga ujung kaki. Di balik penampilannya yang tampan dan percaya diri, ada sesuatu yang tidak ia bisa ungkapkan-sesuatu yang tampak misterius dan tak bisa ia baca.
"Selina, ini Rafael, anak dari teman lama kami," kata ayahnya, menggoda dengan nada yang sangat meyakinkan. "Kami berharap kamu berdua bisa segera mengenal satu sama lain."
Selina merasa terperangkap dalam situasi yang sangat tidak diinginkannya. Meski ia mencoba tersenyum, hatinya penuh dengan kebingungan dan kekesalan. Mengapa ia harus menjalani kehidupan yang ditentukan oleh orang tuanya? Mengapa ia harus terperangkap dalam permainan perjodohan yang tidak pernah ia inginkan?
Malam itu berlalu begitu saja dalam kebisuan yang tak menyenangkan. Pembicaraan mereka terbatas pada percakapan ringan tentang keluarga, pekerjaan, dan masa depan. Selina hanya sesekali menganggukkan kepala, berusaha menjaga kesopanan meskipun hatinya dipenuhi perasaan tidak nyaman. Rafael, di sisi lain, tampak santai dan ramah, seolah tidak ada masalah dengan situasi tersebut. Namun, ada tatapan kosong yang kadang melintas di matanya, yang membuat Selina bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia rasakan.
Selesai makan malam, Rafael meminta izin untuk berbicara dengan Selina di luar rumah. Mereka berjalan di halaman belakang rumah Vianey yang dihiasi dengan taman yang indah. Hening menyelimuti mereka berdua saat langkah kaki mereka bergema di jalan setapak.
"Aku tahu ini mungkin tidak mudah bagimu," Rafael memulai percakapan. "Aku juga tidak berharap perjodohan ini menjadi beban bagi kita berdua. Tapi aku rasa kita tidak bisa menentang takdir."
Selina menatapnya tajam, merasa kebingungannya semakin mendalam. "Takdir?" katanya sinis. "Sejak kapan takdir bisa dipaksakan seperti ini? Aku tidak menginginkan ini, Rafael. Aku punya hidup sendiri, dan aku tidak ingin dikendalikan oleh orang tuaku."
Rafael berhenti sejenak, menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku tidak berniat mengendalikan hidupmu, Selina. Aku hanya berusaha untuk menjadi orang yang kamu percayai dalam keadaan yang sulit ini."
Selina menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosi yang mulai menguasainya. "Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan sekarang. Aku merasa terjebak."
Rafael mendekat, suaranya berubah menjadi lebih lembut. "Aku mengerti, Selina. Aku juga tidak ingin menjadi beban bagimu. Tapi kita bisa mencoba. Setidaknya memberi kesempatan untuk saling mengenal lebih baik."
Selina menatap matanya, merasa ada kejujuran di balik kata-kata itu, namun entah mengapa, ia tidak bisa menepis perasaan kecewa yang mendalam. Ini bukan hidup yang ia inginkan. Tapi takdir-entah bagaimana caranya-telah memutuskan untuk menempatkannya di jalan ini.
Apakah ia akan menerima kenyataan ini? Ataukah kebencian dan kekecewaan yang ada di dalam hatinya akan mengalahkan segala sesuatu yang mungkin tumbuh antara mereka?