Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Es Batu
Es Batu

"Kita hanya dua orang yang berbeda. Yang disatukan oleh takdir." Ini kisah tentang gadis konyol, bernama Relva Arilia. Gadis berhati malaikat yang jatuh cinta dengan cowok berhati batu. Sifatnya yang cuek serta dingin, membuat Relva semakin tidak bisa lepas dari laki-laki itu. Bercerita tentang gadis yang tak pernah menyerah dengan sikap laki-laki itu. Walau berapa kali, laki-laki itu sering mengabaikannya. Tapi, sikap gadis itu berhasil mencairkan hati seorang Steven Grellyn. Serta kehidupan penuh lika-liku. Sikap Relva yang selalu merecoki pikirannya, membuat laki-laki itu akhirnya menyerah dengan penolakannya selama ini. Awalnya dia tidak pernah ingin menjalin hubungan dengan gadis itu. Tapi, saat melihat tingkah dan sifat konyol gadisnya, membuat hatinya mencair seiring waktu. Ini bukan hanya tentang cinta. Akan tetapi tentang kehidupan, yang penuh air mata serta memperjuangkan sebuah masa depan yang cerah. Yang sama-sama mengorbankan ego masing-masing. Siapkan hati kalian untuk membaca cerita ini. Banyak hal-hal yang menguras pikiran dan logika. Kekerasan dan lembut, membuat sebuah benteng kokoh runtuh. Menyisakan kelopak-kelopak lembut di setiap perjalanan.

Konten

Bab 1 Masa Lalu

"Cinta kadang memang gila. Percayalah, bahwa cinta bisa membuat orang gila dalam waktu satu detik saja."

Relva melangkah menjauh dari kerumunan orang-orang yang haus akan info. Tentu saja, bayangkan jika dia berada di tengah-tengah mereka, bisa dipastikan mereka semua akan mengeluarkan tinta beracunnya. Dan di sinilah Relva berada. Di belakang sekolah, sambil membayangkan kejadian seminggu yang lalu.

"Rel!" Teriakan super toa Olivia membubarkan pikiran Relva.

Gadis itu selalu membuat dirinya dekat dengan malaikat maut. Salah sedikit saja, dia akan berada di alam lain. Relva, kadang heran. Mengapa dia haruss mempunyai kakak modelan seperti itu.

"Nggak usah teriak-teriak nyet,"ucap Relva sinis.

"Hehe ... maaf. Gue mau tanya," ucap Olivia dan duduk di samping Relva.

"Lo pasti kepo kan? Kenapa tiba-tiba ada gosip gue sama Alvin."

"Kok tahu, Mbak?" tanya Olivia nyengir kayak kuda. Sepupunya itu selain kepo, dia juga haus akan info. Seperti cewek pada umumnya, bergosip adalah keahliannya. Jadi, tidak heran para cowok selalu menghosting-nya. Kadang membuat dirinya pusing dengan tingkah sepupunya. Tapi, mau heran. Kelakukan dirinya pun sama seperti kakaknya.

Banyak yang mengira mereka bukan anak dari keluarga kaya karena kelakukan mereka lebih mencerminkan remaja pada umumnya. Lebih suka main, jajan sembarangan. Bagi mereka makanan kaki lima atau di pinggir jalan, jauh lebih enak.

Dari pada di restoran ternama. Bukan hanya ramah dikantung. Namun, ramah untuk perut juga. Siapa yang tidak suka dengan makanan. Apa lagi yang mengandung lemak, sudah tahu tidak sehat. Masih saja dimakan, karena yang tidak baik itu kadang sering membuat nikmat.

"Gue udah tebak," ucap Relva mendengus.

"Yang masih gue pikirin. Kapan lo jadian sama Alvin? Kok tiba-tiba ada gosip, lo putus sama dia?" tanya Olivia kepo.

Keingintahuan kakaknya sudah mendarah daging. Sangat tidak ramah untuk dilanjutkan. Maka, jalan satu-satunya adalah. Menghindar dari pertanyaan-pertanyaan, yang akan membuat dirinya terjerumus dalam lubang kebingungan.

"Gue males bahas itu. Gue cabut," ujar Relva pergi dari hadapan Olivia yang sedang menahan amarah.

"Heran gue sama sepupu bangsat," ucap Olivia dan pergi dari tempat itu.

Kesal dengan sudaranya, Olivia lebih memilih ke kantin. Biarkan cacing di perutnya diberi asupan makanan terlebih dahulu, masalah sepupunya. Biar nanti antek-anteknya yang akan mencari info terbaru dan akurat, terpercaya.

***

Hari ini Relva dan Olivia berniat mengunjungi toko buku. Mereka sudah sangat lama tidak pernah mampir untuk membeli novel atau komik. Biasanya sekali satu minggu mereka selalu melakukan hal tersebut. Tapi, semenjak mereka ketahuan membeli novel dengan jumlah yang banyak. Membuat mereka dibatasi.

"Ingat, Rel. Lo harus beli dua, jangan kebablasan lagi." Peringat Oliv.

Sudah cukup kemarin mereka diceramahi habis-habisan. Kalau hanya satu tidak apa-apa. Tapi, ini malah seluruh rumah ikutan andil. Pekerja di rumah mereka pun ikut andil. Jadi, cari aman saja. Besok bisa beli lagi, kalau buku yang sudah mereka beli habis terbaca.

"Ya. Takut banget sih, Kak."

"Ya sih. Orang kayak lo kalau beli duka lupa waktu, yang disalahin bokap malah gue. Kan, kamvret lo. Pengen hujat, gak bisa." Kesal Oliv.

Pasalnya, gadis itu selalu membuat dirinya terkena masalah. Dan, itu selalu berdampak padanya. Ingin rasanya membuang adiknya itu. Tapi, sayang. Hatinya terlalu lembut.

Melihat foto-foto masa kecil, memperlihatkan betapa bahagia keluarganya dulu. Entah apa yang terjadi, sampai keluarga mereka seperti sekarang. Ingatan masa dulu, tidak pernah bisa diingatnya.

Entah kejadian apa yang membuat dia lupa akan hal masa kecilnya. Bahkan, dia tidak pernah tahu rupa ibu-nya. Kadang, dia merasa iri dengan keluarga temannya, yang selalu diantar oleh kedua orang tuanya. Tapi, dia hanya bisa melihat kebahagiaan keluarga bahagia itu.

"Kenapa? Ada masalah? Kalau kamu ada masalah cerita. Kenapa malah ke ruangan papa?" tanya Oliv, memperhatikan foto yang terpajang di sana. Hanya ada empat orang. Dirinya dengan Relva, dan dua laki-laki tangguh.

Rasa rindu dan sedih beradu satu dengan kamar yang sunyi. Mereka merindukan sosok bidadari di rumah ini. Oliv memperhatikan adik sepupunya, pasti gadis itu sangat merindukan pelukan seorang ibu. Namun, gadis itu lebih memilih memendamnya.

Delapan belas tahun tanpa merasakan kasih sayang seorang ibu, bukanlah hal yang mudah. 18 tahun tanpa pelukan ibu, bukanlah perkara biasa, 18 tahun tanpa sosok ibu, bukan tidak mungkin ada rasa kesepian dalam hati dan gadis di sampingnya ini, sungguh luar biasa kuatnya. Dari bayi, gadis itu tidak pernah merasakan kasih sayang ibu.

"Ayok keluar, Kak. Gue udah selesai lihat, Papa. Laper, enaknya makan ramen gak sih?"

"Ramen endasmu. Ayok beli telur gulung aja, ramen habis. Harus ke korea dulu buat beli," asal Oliv.

"Bilang aja males bikin, lagi pengen makan telur gulung, 'kan?" Cengiran Oliv, menjawab semuanya. Gadis itu tidak pernah jauh-jauh dari telur gulung. Bahkan, dia tidak pernah kapok, walau dia sampai bisulan.

Gadis itu selalu saja beli jajanan itu, kalau satu bungkus sih. Mungkin masih wajar, lah ini. 5 bungkus, dimakan sendiri, bagaimana tidak bisulan coba. "Ayo, gue udah kepengen makan telur gulung, Rel."

Relva memutar bola matanya malas, melihat kelakukan kakaknya itu tidak pernah ingin mengalah. Dan, selalu dia yang harus mengalah. Jika dipilih, ingin menukar sodara. Maka, dia orang paling terdepan ingin menukar sodaranya, tentunya yang penurut.

Setelah adegan cekcok yang cukup panjang, pada akhirnya mereka di sini. Menunggu pesanan mereka, yang beberapa menit lalu mereka pesan. Jangan tanya siapa yang paling bersemangat.

"Tadi katanya males makan telur gulung. Tapi, udah lima tusuk aja lo. Dusta banget," sindir Oliv. Pasalnya, gadis itu ngotot tidak ingin membeli telur gulung tapi sekarang malah dia yang bersemangat.

"Diem aja, Kak. Gue lagi menikmati ini."

"Serah deh."

Harus banyak-banyak bersabar memiliki sodara seperti Relva. Gadis nihil kepekaan, yang bisanya bikin emosi orang. Pantas saja laki-laki banyak yang tidak tahan dengannya, harus laki-laki berhati baja. Dan, tidak pekaan. Mungkin, itu baru cocok.

***

Relva menunduk, tak berani menatap sepasang mata yang terus saja melihatnya. Sedangkan Oliv, menahan tawa melihat ekspresi Relva. Gadis itu baru saja membuat ulah. Tidak ada kapok-kapoknya. Sambil meremas ujung bajunya, Relva terus saja merapalkan doa. Berharap papanya luluh.

Laki-laki yang masih mengenakan jas kantor itu, malah semakin memancarkan api amarahnya. Berjalan mendekat, sambil menatap putrinya yang sedari tadi terus menunduk.

"Siapa yang suruh kamu, main futsal lagi?"

Relva diam, dia masih tetap dengan posisinya. Dia tidak bisa membantah perkataan sang papa. Tapi, dia juga ingin kembali seperti dulu, ingin bermain seperti teman-temannya. Apa salahnya jika dia ingin bermain futsal, bukankah itu hal yang lumrah atau biasa.

"Papa udah bilang ke kamu. Gak boleh lagi main futsal, kamu ini cewek. Berapa kali papa harus ngasih tahu kamu." Perkataan Mahendra benar-benar membuat dirinya tertampar. Selama ini dia selalu melanggar perkataan papanya.

"Pa, sebaiknya istirahat dulu. Papa kan baru pulang. Biar Oliv yang urus masalah ini. Oliv janji. Relva gak akan main futsal lagi," ucap Olivia, berusaha meredakan emosi Mahendra.

Mahendra menghela nafas panjang, lalu berjalan meninggalkan mereka. Relva, menatap nanar punggung papanya. Dia tanpa sadar menangis, seharusnya dia tidak seperti ini. Pasti laki-laki itu sangat letih, dan dia selalu membuat ulah. Yang selalu membuat laki-laki itu lelah dengan tingkahnya.

"Lo mandi, terus temui papa. Minta maaf," ucap Oliv, menepuk pundak Relva. Walaupun gadis itu sering melanggar peraturan papanya. Tapi, gadis itu pasti akan menangis atas perbuatannya.

Memang dari dulu, dia tidak pernah diizinkan ikut futsal. Tapi, pada dasarnya Relva bar-bar. Jadi, mau bagaimana lagi. Susah untuk membuat gadis itu menmgerti.

Di ruangan yang kedap akan suara-suara bising, hanya ada satu bingkai foto dan lampu mini yang menerangi pengelihatan. Laki-laki itu berdiri, sambil mengelus foto itu. Mengembus kan nafas berkali-kali.

"Putri kita udah besar, bahkan dia sama keras kepalanya denganmu. Tapi, jika dimarahi, dia selalu menunduk," ucap Mahendra. Menatap wanita itu, yang selalu membuat dirinya kuat. Akan tetapi, sekarang wanita itu sudah tidak bersamanya lagi, meninggalkan dirinya dan putri kecilnya.

"Jika kamu melihatnya, pasti kamu akan heran. Kenapa dia sangat mirip denganmu. Baik dalam tingkah laku, ataupun kesukaan. Dia seperti membawa dirimu kembali, bahkan untuk memarahinya aku tidak sanggup. Seharusnya kamu bersamaku, membesarkan dia. Tapi, kita ditakdirkan untuk tidak bersama," kata Mahendra, menghapus air mata yang lolos ke pipi.

Sekali lagi dia mengusap foto itu, seakan hanya hal itu yang bisa membuat hatinya lega. Setiap waktu, hanya itu yang mampu membuat dirinya tenang. Mau selama apa pun orang itu pergi, kenangannya masih membekas dalam hati. Sampai kapan pun, akan tetap sama.

Terkadang hati itu tidak pernah bisa bohong, kita boleh mengucap hal sebaliknya. Tapi, di hati kecil kita. Tersirat kata sebaliknya. Karena itu, hati tidak pernah salah. Ikutilah kata hati, maka kamu akan damai menjalani kehidupan ini.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 27 Pengakuan   06-16 18:57
img
1 Bab 1 Masa Lalu
30/04/2025
2 Bab 2 Gosip
30/04/2025
3 Bab 3 Dia
30/04/2025
4 Bab 4 Mimpi
30/04/2025
5 Bab 5 Perpisahan
30/04/2025
6 Bab 6 Melepaskan
30/04/2025
7 Bab 7 Tempat Baru
30/04/2025
8 Bab 8 Pelukan
30/04/2025
10 Bab 10 Rumit
30/04/2025
11 Bab 11 Suka
05/05/2025
12 Bab 12 Mencoba
05/05/2025
13 Bab 13 Kamu Milikku
05/05/2025
14 Bab 14 Rasa
05/05/2025
15 Bab 15 Esok dan Nanti
05/05/2025
16 Bab 16 Cemburu
31/05/2025
17 Bab 17 Cair
31/05/2025
19 Bab 19 Memilih
31/05/2025
20 Bab 20 Rasa
31/05/2025
21 Bab 21 Lelah
31/05/2025
22 Bab 22 Kesal & Kecewa
01/06/2025
23 Bab 23 Papa Mertua
01/06/2025
26 Bab 26 Terlalu Sakit
02/06/2025
27 Bab 27 Pengakuan
02/06/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY