Unduh Aplikasi panas
Beranda / Fantasi / Menyerah Atas Cintamu
Menyerah Atas Cintamu

Menyerah Atas Cintamu

5.0
5 Bab
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Zanilla Elisabelle pernah menyelamatkan William Alexander dari kehancuran, dan balas budi membawa mereka pada pernikahan tanpa cinta. Namun, tekanan hidup mengubah Will menjadi pria dingin yang melukai hati Zanilla. Ketika pengorbanannya tak lagi berarti, Zanilla memilih pergi, meninggalkan Will tanpa tahu bahwa ia tengah mengandung anak mereka. Bertahun-tahun berlalu. Saat takdir mempertemukan mereka kembali, Zanilla bukan lagi wanita yang sama-dan Will telah menikahi mantan kekasihnya. Sementara, Zanilla kini berdiri di sisi pria yang lebih berharga. Namun, mengapa Zanilla tampak seolah tak mengenal Will, pria yang dulu ia cintai sepenuh hati?

Bab 1 Derita Seorang Istri

Sebuah apartemen sederhana.

"Kenapa setiap malam kau harus menghubungiku terus? Apa kau tidak bisa mengerti kondisiku? Aku bekerja hingga larut malam untuk mendapatkan kepercayaan atasan. Sementara kau, selalu saja menggangguku hanya karena masalah sepele!" bentak Will, suaminya, dengan nada tajam.

Di hadapannya, seorang wanita berambut pendek berdiri dengan kepala tertunduk. Matanya yang sayu memancarkan kelelahan bercampur luka. Namun, ia mencoba menahan perasaan dan membela diri.

"Aku menghubungimu bukan tanpa alasan, Will," suara Zanilla bergetar, meski ia berusaha terdengar tenang. "Obat Papa sudah habis, dan aku ingin melapor padamu sebelum menggunakan uangmu. Dan semalam... aku hanya khawatir. Kau tidak menjawab panggilanku sampai larut, aku takut sesuatu terjadi padamu."

Alih-alih memahami kekhawatirannya, Will justru mendengus dingin. Tatapannya penuh kejengkelan seolah Zanilla adalah beban yang mengganggu hidupnya.

"Tidak usah ikut campur urusanku!" tukasnya tajam. "Sebagai istri, tugasmu hanya mengurus rumah dan merawat kedua orang tuaku. Selain itu..." Will terdiam sejenak sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih rendah namun menusuk hati. "Kau juga harus tahu, aku menikahimu hanya karena rasa tanggung jawab. Jadi jangan terlalu ikut campur urusan pribadiku!"

Kata-kata itu menghantam hati Zanilla lebih keras daripada bentakan apa pun. Tubuhnya menegang, bibirnya bergetar, tetapi ia tidak lagi mampu membalas.

Baru kali ini Will mengatakannya secara langsung. Pernikahan yang selama ini ia pertahankan dengan sepenuh hati, ternyata bagi Will hanyalah sebuah hutang budi.

"Will, ulangi lagi apa yang kau katakan tadi?" tanya Zanilla dengan suara bergetar. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Will menghela napas panjang, tatapannya penuh kejengkelan. "Aku menikahimu hanya karena tanggung jawab, Zanilla. Jangan berharap lebih."

Kata-kata itu bagaikan pisau tajam yang menghujam hatinya. Zanilla menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, tetapi sebelum ia sempat membalas, suara lain terdengar dari luar kamar.

Selama ini Will selalu bersikap dingin padanya. Zanilla tetap berusaha menjadi istri yang baik dan perhatian, berharap sikap suaminya akan melunak seiring waktu. Namun, kenyataannya jauh dari harapannya. Will tidak pernah peduli.

"Zanilla! Cepat siapkan sarapan! Suamimu akan berangkat kerja sebentar lagi, sedangkan kau masih bermalas-malasan di kamar. Istri macam apa kau ini?" teriak seorang wanita dengan nada tajam dari ruang tengah.

Zanilla menutup matanya sejenak, mencoba menahan luapan emosi. Ia tahu suara itu-ibu mertua yang sejak awal tidak pernah menyukainya.

Tanpa menunggu jawaban dari Will, Zanilla melangkah keluar kamar. Meski hatinya hancur, ia tetap menjalankan tugasnya sebagai istri dan menantu yang "seharusnya" menurut mereka.

Zanilla yang sedang menahan rasa sakit di hatinya, tetap berusaha menyajikan tiga piring sarapan untuk suami dan kedua mertuanya. Tangannya gemetar saat ia menuangkan sup hangat ke dalam mangkuk, tetapi wajahnya tetap berusaha terlihat tenang.

"Pa, Ma, silakan makan," ucap Zanilla dengan suara lembut dan sopan.

Kedua mertuanya hanya mengangguk tanpa menoleh padanya. Mereka mulai makan tanpa mengucapkan terima kasih atau sekadar menyapa. Zanilla menelan rasa sesaknya. Ini bukan pertama kali ia merasa seperti bayangan di rumahnya sendiri-melayani tanpa pernah dianggap ada.

Dari dalam kamar, suara seorang Will terdengar lantang.

"Zanilla, di mana dasiku?"

"Iya, sebentar!" sahutnya, langsung bergegas ke kamar tanpa menunggu.

Di dalam kamar yang sederhana, Zanilla dengan cepat mencari dasi di dalam lemari. Tangannya menggeser beberapa pakaian dengan cekatan, berusaha menemukan benda yang diminta suaminya.

Sang suami berdiri di depan cermin, merapikan kemejanya. Saat Zanilla mendekat dan menyerahkan dasinya, pria itu hanya meraihnya tanpa melihat wajahnya.

Tanpa ucapan terima kasih. Tanpa sekadar tatapan hangat.

Seolah keberadaannya hanyalah angin yang berlalu.

Zanilla menarik sprei dan sarung bantal dengan hati-hati, melipatnya rapi sebelum memasukkannya ke dalam keranjang cucian. Sambil tetap sibuk dengan pekerjaannya, ia melirik ke arah Will yang sedang berdiri di depan cermin, sibuk merapikan dasi tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.

"Will, aku ingin beli sepatu untuk Mama dan jaket untuk Papa," ucapnya pelan namun penuh harap. "Musim dingin sudah tiba, dan jaket Papa sudah robek serta kusam. Sementara kaki Mama sering kedinginan karena sepatunya sudah tidak layak dipakai."

Ia menunggu jawaban, berharap Will akan merespons dengan sedikit kepedulian. Namun, seperti yang sudah-sudah, pria itu tetap diam, sibuk dengan dirinya sendiri.

Zanilla menahan napas sejenak, lalu melanjutkan, mencoba menguatkan suaranya agar lebih terdengar. "Tahun baru sudah dekat, jadi aku ingin membeli sesuatu untuk Papa dan Mama. Gaji yang kamu berikan bulan lalu sengaja aku tabung untuk keperluan tahun baru ini. Jadi aku akan menggunakannya. Sekalian ingin memilih beberapa kemeja baru dan dasi baru untukmu!"

Kali ini, Will akhirnya bersuara, tetapi tanpa menatapnya. "Lakukan saja," jawabnya datar sambil mengenakan jasnya.

Zanilla menatapnya dengan ragu sebelum akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan satu permintaan kecilnya sendiri. "Ada lagi... Aku juga ingin beli kemeja untuk diriku, yang murah saja. Apakah aku bisa-"

Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, Will sudah melangkah pergi, mengabaikannya begitu saja. Ia berjalan keluar kamar tanpa sedikit pun menoleh, meninggalkan Zanilla dengan kata-katanya yang menggantung di udara.

Zanilla berdiri terpaku, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Senyum kecil yang tadi berusaha ia pertahankan kini memudar, digantikan dengan perasaan kecewa yang sulit ia sembunyikan.

"Aku hanya ingin minta sedikit uang untuk beli kemeja baruku..." gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang kembali menghimpit dadanya. Bukan tentang uang, bukan tentang kemeja... tapi tentang bagaimana suaminya sama sekali tidak peduli padanya.

William Alexander, 30 tahun, menikahi Zanilla Elisabelle, 25 tahun, tiga tahun yang lalu. Namun, pernikahan itu tidak seperti yang diimpikan banyak orang. Tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah Zanilla selama tiga tahun terakhir.

Suaminya, Will, selalu bersikap dingin dan tidak peduli terhadapnya. Setiap harinya, Zanilla hanya bisa menelan kekecewaan, berharap ada sedikit kehangatan dari pria yang sudah menjadi suaminya. Tapi harapan itu selalu berakhir dengan luka.

Meskipun begitu, Zanilla tidak pernah berpikir untuk menyerah. Cinta yang begitu dalam terhadap suaminya membuatnya tetap bertahan. Ia bahkan berusaha keras untuk mengambil hati kedua mertuanya, yang sejak awal menolak keberadaannya dalam keluarga mereka.

Beberapa saat kemudian, Zanilla masih berdiri di dapur, membersihkan kuali dan piring kotor.

Di meja makan, kedua mertuanya masih menikmati hidangan yang ia siapkan dengan penuh perhatian. Sementara itu, Will menyelesaikan sarapannya dengan cepat. Zanilla menatap suaminya dengan penuh harap.

"Will, nanti aku antar makan siang untukmu!" ucapnya dengan suara lembut.

Will tidak menoleh, hanya menggumam singkat, "Hm..." tanpa ekspresi.

Sesaat kemudian, pria itu bangkit dari kursinya, meraih tas kerja dengan gerakan cepat.

"Pa, Ma, aku berangkat dulu!" katanya, hanya berpamitan pada kedua orang tuanya.

Zanilla menunggu, berharap suaminya akan setidaknya menatapnya atau sekadar mengucapkan satu kata untuknya. Namun, harapan itu sia-sia. Will berjalan melewatinya tanpa sepatah kata pun, menghilang di balik pintu.

Zanilla menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang semakin lama semakin sesak. Ia sudah terbiasa dengan sikap dingin suaminya.

Namun, ketenangan itu langsung sirna ketika suara tajam mertuanya terdengar menusuk telinganya.

"Suami harus bekerja dari pagi hingga malam, sementara dirimu hanya tahu sibuk di dapur," sindir sang ibu mertua tanpa basa-basi.

Zanilla menegang, namun ia tetap diam.

"Andaikan dulu Selena yang dinikahi Will, hidupnya pasti sudah sukses," lanjut wanita itu dengan nada sinis. "Selena selain cantik, juga pintar berbisnis. Sayangnya, mereka hanya bisa menjadi rekan kerja."

Zanilla mengerjap, merasa ada yang tidak beres dengan pernyataan itu. "Selena? Menjadi rekan kerja?" tanyanya hampir tidak percaya.

"Iya," sang ibu mertua mengangguk, suaranya semakin tajam. "Selena adalah pacar Will sebelum kamu muncul, selama ini dia bekerja di satu perusahaan dengan Will. Tidak tahu kenapa putraku begitu bodoh menikahi seorang gadis yatim piatu yang tidak berpendidikan tinggi."

Setiap kata itu terasa seperti pisau yang mengiris hatinya.

"Selain memasak dan mencuci, apa lagi yang kau bisa? Semua kebutuhanmu juga dari suamimu. Pantas saja Will menjadi bosan denganmu," lanjutnya tanpa belas kasihan.

Zanilla menggigit bibirnya, menundukkan kepala. Dadanya sesak, namun ia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan mertuanya.

"Ternyata, berusaha menjadi menantu dan istri yang baik pun tidak cukup untuk menyenangkan mereka. Rupanya Will memiliki pacar saat itu dan saat ini mereka masih bekerja di satu perusahaan," batinnya pahit.

Ia sudah mengorbankan segalanya untuk keluarga ini. Tapi, sepertinya keberadaannya tetap tidak dianggap.

"Kalau saja Will tidak diselamatkan olehmu saat itu, dan jika dia tidak merasa bersalah serta berutang budi padamu, mana mungkin dia menikahimu? Saat itu, dia sedang berkencan dengan Selena, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan! Will bisa saja membayar biaya pengobatanmu akibat luka yang kau alami, tapi dia malah merasa bertanggung jawab dan membuat keputusan bodoh dengan menikahimu."

Zanilla menegang, tangannya yang sedang merapikan susunan piring sedikit gemetar. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang seharusnya.

Hutang budi? Jadi, selama ini pernikahannya hanya sebuah kewajiban bagi Will?

Tanpa bisa dicegah, pikirannya kembali ke masa tiga tahun lalu-saat pertama kali ia bertemu dengan Will.

Saat itu, ia hanyalah seorang gadis biasa, hidup sederhana, tanpa pernah membayangkan akan menikahi pria seperti Will.

Hari itu hujan deras. Di bawah langit kelabu, ia melihat seorang pria berdiri diam dalam keputusasaan. Di kejauhan, sebuah truk melaju kencang, nyaris tak terlihat jelas di tengah kabut hujan.

Zanilla, yang berjalan sambil membawa payung, segera menyadari bahaya yang mengancam pria itu. Jarak antara Will dan truk semakin dekat. Tanpa berpikir panjang, ia berlari sekuat tenaga, mendorong Will ke tepi jalan.

Tubuhnya terhempas keras ke aspal. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi setidaknya Will selamat. Zanilla yang di saat itu terluka di bagian kepalanya, langsung tidak sadarkan diri.

"Aku bahkan tidak tahu Will telah memiliki pacar, di saat aku sadar di rumah sakit, dia melamarku begitu saja. Tanpa ragu aku juga menerimanya dan berusaha menjadi istri dan menantu yang baik. Tapi baru beberapa bulan menikah sikap Will perlahan berubah," batin Zanilla.

"Aku mengira aku menikahi pria yang mencintaiku, ternyata, aku menikah dengan pria yang merasa hutang budi padaku!"

Pikiran tentang Selena terus menghantuinya. Benarkah Will masih menyimpan perasaan pada wanita itu? Apakah selama ini ia hanya menjadi penghalang bagi kebahagiaan yang seharusnya dimiliki Will bersama wanita lain?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY