Langit senja perlahan tenggelam dalam gulita saat Ruth menatap kosong jendela kereta. Butiran embun tipis menempel di kaca, buram namun tetap memperlihatkan siluet bukit-bukit yang menghilang dalam kecepatan. Angin malam menyelinap lewat celah pintu, menambah dingin yang tak hanya terasa di kulit, tapi juga di dada.
Roma. Nama itu tertera jelas di papan digital di ujung gerbong. Kota impian banyak orang, tempat para turis datang dengan mata berbinar dan kamera siap bidik. Tapi bagi Ruth, Roma bukan impian. Bukan pula rumah. Kota itu adalah tempat terdekat dari pelarian. Satu-satunya arah yang tersisa ketika semua pintu lain tertutup.
Syal abu-abu kusam membalut lehernya. Sedikit kebesaran, agak usang di ujungnya. Hadiah dari sang ibu, diberikan beberapa minggu sebelum wanita itu menghembuskan napas terakhir. Ada aroma lavender samar yang masih bertahan, meski dicuci berkali-kali. Ruth enggan melepasnya. Seolah itu satu-satunya yang bisa ia peluk saat malam datang tanpa suara.
Ia memeluk ransel lusuh di pangkuannya-teman perjalanannya yang setia, meski berat dan tak nyaman. Di dalamnya ada beberapa lembar pakaian bekas, dompet berisi uang tak seberapa, satu foto kecil berbingkai kayu, dan sebuah amplop cokelat. Surat rekomendasi dari pendeta di kota kecil tempat ia dan ibunya tinggal-tempat terakhir yang bisa disebut "rumah". Ruth belum membuka amplop itu. Bahkan tak yakin akan berguna. Di Roma, siapa peduli surat dari orang gereja?
Kereta berguncang ringan saat melambat. Suara roda besi berdecit memecah sunyi. "Signorina, Roma Termini," suara kondektur membuyarkan lamunan panjangnya.
Ruth menggigit bibir. Dengan langkah berat, ia bangkit dan menyusuri lorong sempit gerbong. Aroma kopi basi dan parfum murahan masih menggantung di udara. Ia menuruni anak tangga dan menginjak peron dengan hati yang lebih dingin dari lantai marmer tempatnya berdiri.
Stasiun Roma Termini ramai tapi terasa asing. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah cepat, membawa koper besar dan wajah yang tahu ke mana harus pergi. Sementara Ruth berdiri sendiri, terpaku, dengan ransel dan kebingungan yang lebih berat dari barang bawaannya.
Ia duduk di bangku besi peron, dingin dan keras, menyandarkan kepala ke dinding belakang dan memejamkan mata. Deru kereta lain berlalu begitu saja. Lampu stasiun berkelap-kelip seperti nyala harapan yang rapuh. Matanya kemudian menatap papan pengumuman digital-tujuan-tujuan baru yang terus bergerak. Semua orang menuju sesuatu. Sementara dia... tidak tahu harus ke mana.
Ponselnya mati dua jam lalu. Baterainya habis, seperti hidupnya. Tak ada pulsa, tak ada koneksi. Dunia digital terputus, dan ia mendadak terasa seperti satu-satunya manusia hidup dalam dunia beku. Ia mendesah pelan, menahan isak yang nyaris keluar.
Namun, di tengah kepenatan dan kehampaan, Ruth menyentuh liontin kecil di lehernya. Bentuknya sederhana, bulat, berisi foto dirinya dan ibunya, tersenyum saat hidup masih punya arah.
"Kau pernah bilang hidup itu petualangan, Bu," bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Jadi... ayo kita mulai."
Ia bangkit. Ranselnya disandang kembali, walau pundaknya protes. Dengan langkah kecil tapi tetap teguh, Ruth berjalan menuju gerbang keluar stasiun. Tak ada peta. Tak ada panduan.
Tapi untuk pertama kalinya, dalam kekosongan total, ia memilih untuk tetap melangkah.
Roti dan Jalanan Basah
Perut Ruth sudah memberontak sejak dua jam lalu, tapi ia terus berjalan menyusuri Via Cavour, jalan utama yang membentang dari stasiun menuju jantung kota. Hujan sore tadi menyisakan genangan dan kilau cahaya dari lampu-lampu toko yang mulai padam. Malam Roma menyambutnya dengan aroma aspal basah, parfum mahal yang lewat bersama tumit tinggi, dan angin yang menusuk lewat sela mantel tipisnya.
Ia menggigil. Syal abu-abunya nyaris tak cukup mengusir dingin yang masuk hingga tulang. Orang-orang lewat dengan cepat, tanpa menoleh. Dunia berputar, tapi Ruth seperti berdiri di tengahnya-diam, dingin, dan kelaparan.
Langkahnya terhenti di depan sebuah toko roti kecil di pojok jalan. Etalasenya sudah suram, tirai bambu digulung setengah, tanda toko akan tutup. Tapi di balik kaca yang mulai berembun, ada satu potong roti yang tersisa-cokelat keemasan, agak keras di pinggir, tapi terlihat seperti keajaiban bagi seseorang yang belum makan sejak pagi.
Ruth menelan ludah. Ia merogoh saku dalam-dalam, menggali sampai ke sudut kain yang hampir robek. Beberapa koin logam muncul: dua euro, beberapa sen kecil. Tidak cukup. Bahkan untuk roti yang hampir basi.
Ia menatap roti itu dengan pandangan kosong, lalu menghela napas dan berbalik, menahan rasa malu yang mulai merambat.
"Scusi, signorina," suara berat namun lelah menghentikannya.
Seorang pria berdiri di belakangnya. Tinggi, dengan jas abu-abu yang tampak kebesaran dan dasi yang tergantung miring di lehernya. Rambutnya sedikit berantakan, seperti baru keluar dari rapat panjang yang gagal total. Ia membawa tas kerja yang terlalu penuh dan sedikit sobek di sudutnya, memperlihatkan sekilas kertas warna-warni yang sepertinya bukan dokumen penting-mungkin catatan, mungkin katalog furnitur. Entah.
"Kalau kau tidak ambil rotinya," katanya, menunjuk etalase, "aku akan."
Ruth membeku. Ia membuka mulut, tapi hanya mampu menggumam, "Aku cuma lihat-lihat."
Tapi matanya masih menatap roti itu. Dalam, jujur, dan lapar.
Pria itu tersenyum miring, tidak mengejek, lebih seperti sesama pelintas nasib buruk. "Kita bagi dua?"
Ruth ragu. Matanya menatap koin di tangannya. Lalu roti. Lalu pria asing itu.
Sebelum sempat menolak, perutnya berbunyi lagi-lebih keras, lebih menyedihkan. Ia memejamkan mata dan akhirnya mengangguk. "Ya sudah..."
Mereka duduk di bangku sempit dari besi berkarat di samping toko. Tanpa banyak bicara, pria itu mengeluarkan pisau plastik dari saku jasnya-barang aneh untuk disimpan, tapi malam ini terasa seperti mukjizat kecil. Ia membelah roti menjadi dua bagian, tak sama besar, dan memberikan bagian yang lebih besar pada Ruth.
"Aku Leo," katanya sambil menggigit ujung rotinya. "Sekretaris gagal dan konsultan hidup yang belum laku. Oh, dan-mantan juri lomba karaoke yang trauma."
Ruth, yang mulanya kaku, akhirnya tertawa kecil. Suara yang hampir lupa ia punya. "Aku Ruth. Tidak punya pekerjaan, belum tahu mau ke mana... dan belum laku juga."
Leo mengangkat potongan rotinya seperti bersulang. "Untuk nasib yang absurd."
"Dan perut yang tidak punya etika," tambah Ruth.
Mereka makan dalam diam yang anehnya tidak canggung. Roti itu keras dan kering, tapi entah mengapa terasa lebih enak dari apa pun yang pernah ia makan minggu ini. Mungkin karena dibagi. Mungkin karena tawa kecil di antara dua orang asing yang tak lagi merasa sepenuhnya sendirian.
Malam Pertama Tanpa Atap
"Jadi kau beneran nggak punya tempat tidur malam ini?" tanya Leo, berdiri dengan tangan diselipkan ke saku celananya. Mereka masih duduk di bangku logam dingin, hanya berjarak dua blok dari stasiun Termini. Angin malam Roma menyapu pelan, membuat syal Ruth berkibar ringan di lehernya.
Ruth mengangguk, menatap ujung sepatunya yang berdebu. "Aku baru tiba. Nggak tahu harus ke mana."
Leo mengangkat alis. "Hostel?"
"Penuh."
"Hotel murah?"
"Jauh dari murah."
Leo mengangguk pelan, lalu mendongak ke langit. "Oke. Kalau begitu, ikut aku."
Ruth menatapnya curiga. "Ke mana?"
"Ke tempat terburuk yang pernah aku datangi setiap pagi: kantor."
Ruth menyipitkan mata. "Kau mau ajak aku tidur di kantor?"
"Bukan di dalam. Di lobby. Ada sofa dan mesin kopi yang selalu bunyi seperti orang flu berat. Tapi setidaknya hangat."
Ruth ragu. Tapi perutnya masih perih karena terlalu kosong, dan tubuhnya mulai menggigil karena mantel tipis yang tidak lagi mampu melawan angin. "Oke. Tapi kalau kau aneh sedikit saja, aku akan teriak."
Leo tersenyum. "Kau akan kecewa. Aku sudah aneh dari awal."
Sepuluh menit berjalan kaki, mereka tiba di sebuah gedung kaca tua di pinggir jalan besar. Di atas pintunya tertulis: ROMANO GROUP HEAD OFFICE. Di sisi kiri pintu masuk ada pintu geser kecil menuju lobi publik-tempat yang tampak terlalu terang dan terlalu kosong untuk malam sedingin itu.
Seorang satpam tua di balik meja mengangkat kepala. "Oh, pak Leo lagi?"
"Pak Carlo," sapa Leo dengan hormat. "Aku bawa tamu."
Pak Carlo mengangguk pelan, lalu menatap Ruth lalu menganggukkan kepalanya dan menyapanya. Setelah beberapa detik, ia kembali menatap layar CCTV dan pura-pura tak melihat mereka lagi.
Sofa hijau tua di sudut ruangan terlihat seperti surga bagi Ruth. Ia menjatuhkan diri perlahan, menyandarkan kepala, lalu memejamkan mata sejenak. Bau karpet lembap dan kopi mesin memenuhi udara. Tapi tidak ada hujan. Tidak ada angin. Tidak ada dingin menusuk.
Leo duduk di lantai, bersandar pada tembok marmer. Ia membuka ranselnya dan mengeluarkan sesuatu-bantal leher berbentuk alpukat dengan wajah bordir dan kacamata hitam plastik.
"Kenalkan," katanya dengan nada serius, "ini Signor Avocado. Pendamping setia dalam semua masa-masa suramku."
Ruth menatap benda itu dengan dahi berkerut. "Itu... bantal?"
"Bukan sembarang bantal. Dia konsultan tidur darurat. Sudah menemaniku sejak gagal ujian masuk akuntansi dan saat mantan pacarku kabur bawa sepeda motorku."
Ruth terkekeh. "Kau selalu bawa dia?"
"Setia. Nggak pernah mengeluh. Lebih baik dari beberapa mantan."
Ruth akhirnya tertawa-tawa kecil yang meledak dalam diam. Ia memeluk perutnya sambil mengangguk. "Baiklah. Aku butuh terapi."
Leo menyerahkan Signor Avocado seperti menyerahkan pusaka keluarga. Ruth memeluknya dan menyandarkan kepala di sofa. Bantal itu absurd. Tapi lembut. Dan menghibur.
"Leo," gumamnya, suara nyaris tenggelam. "Terima kasih. Untuk roti. Untuk bantal. Untuk... tidak bertanya terlalu banyak."
Leo mengangguk. "Kadang, orang cuma butuh diajak duduk diam. Tanpa dihakimi."
Sofa itu mungkin sudah retak di beberapa sisi. Udara malam masih menusuk masuk lewat celah pintu. Tapi untuk pertama kalinya sejak pemakaman ibunya, Ruth merasa sedikit aman.
Dan malam itu, di lobi kantor asing bersama pria aneh dan bantal alpukat berjuluk Signor Avocado, ia tertidur dengan senyum di wajahnya-bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena ada harapan kecil bahwa suatu saat bisa begitu.