"Katakan padaku siapa namamu," ucap pria yang diyakini sebagai pemimpin oleh Clara. Sorot matanya tampak tajam dan nada suaranya penuh ancaman.
Clara tak ingin mengatakan soal dirinya pada pria asing yang menerobos rumahnya, jadi dia tak menjawab.
Sikap tanpa kompromi Clara hanya membuat pria itu menyeringai, lalu dia mengeluarkan sekotak rokok dari saku dan menyulutnya sebatang. Sementara waktu berjalan, dia merokok dengan tenang di hadapan wanita yang memandangnya dengan ekspresi tak setuju.
"Sesimpel itu, tak bisa mengatakannya?"
Seorang pria berkacamata tiba-tiba melangkah ke hadapan mereka, menyodorkan sebuah dokumen misterius. "Ini data yang Anda minta, Tuan Blackwell."
Pria dengan aura kekuasaan yang pekat itu dipanggil Tuan Blackwell, kini sedang membaca dokumen di tangannya. "Menyembunyikannya takkan menguntungkan apa-apa bagimu. Aku bisa meminta orangku mencari tahu tentang dirimu, Clara Whitmore."
Pria berkacamata dengan sigap mengambil alih dokumen saat Tuan Blackwell memberikan padanya, lalu dia mundur perlahan.
Asap rokok mengepul di udara, Tuan Blackwell menjatuhkan rokok yang baru beberapa kali isap dan menginjaknya.
"Di mana ayahmu?"
Pertanyaan tajam itu membuat Clara terkejut bercampur bingung. "Kenapa ... a-yahku?"
"Mari kita persingkat saja," ucap Tuan Blackwell, suaranya tegas. "Ayahmu membawa kabur uangku dan aku tak tahu di mana dia bersembunyi sekarang. Apa kau tahu di mana ayahmu?"
"Tak mungkin ...," lirih Clara tak percaya.
Tuan Blackwell mengangkat alisnya. "Apanya yang tak mungkin?"
Clara menelan ludah. "Ayahku tak mungkin membawa kabur uang orang lain. D-dia ...!"
Pandangan Clara berputar, agak linglung dengan keadaan yang membuatnya harus menghadapi para pria dalam jumlah banyak. Jantungnya berdegup kencang dan keringat sudah membanjiri tubuhnya.
Clara berusaha memfokuskan diri, kembali memperjuangkan nama baik ayahnya. "Ayahku bukanlah orang seperti itu!" ucapnya dengan lantang.
Tuan Blackwell bergerak maju, bersamaan dengan langkah mundur Clara. Pada saat itu, Clara merintih akibat telapak kaki yang menginjak beling sehingga tubuhnya langsung kaku di tempat.
Tuan Blackwell mencengkeram dagu Clara. "Jadi, maksudmu aku sedang berhalusinasi?"
Clara menggunakan kedua tangannya untuk melepaskan cengkeraman. Itu tak mudah karena semakin dia berusaha melepaskan diri, semakin kuat pula cengkeraman yang didapat.
"Aku paling benci dengan orang yang mencuri milikku. Sekarang yang perlu kau lakukan adalah membayar utang ayahmu sebelum kesabaranku habis."
Clara merintih, bahkan mata yang memanas sudah menjatuhkan air mata. Bersamaan dengan tetesan yang mengenai sela jari Tuan Blackwell, cengkeraman itu pun dilepaskan secara kasar.
Clara memegang pipinya dengan gemetar, di sisi lain dia juga tahu kalau dirinya perlu menyudahi pertemuan mereka dengan cara apa pun. "S-sekarang aku tak punya uang, tapi jika aku diberi waktu untuk melunasinya ...."
Tuan Blackwell tersenyum remeh. "Kau bisa mencari seratus ribu dolar dalam waktu semalam?"
"Se-seratus ribu dolar?!"
Kedua mata Clara hampir melompat dari sarangnya. Jelas sudah, mustahil baginya mengumpulkan seratus ribu dolar dalam semalam. Lagi pula, untuk apa ayahnya membawa kabur uang sebanyak itu?
Entah mengapa Clara merasa bersalah atas kejadian ini, mengingat ayahnya yang banting tulang seorang diri agar kehidupan sehari-hari mereka tercukupi. Dia tahu kalau ayahnya juga bekerja keras menguliahkannya, mungkin saja ayahnya mencuri karena ingin hidup mereka jadi lebih baik.
Clara menghela napas, tetap tak mengira jika ayahnya akan melakukan cara buruk itu. "Tolong beri aku waktu satu minggu. Aku pasti akan melunasi semua utang ayahku padamu," ucapnya dengan nada memohon.
"Jangan coba-coba membodohiku. Sampai mati pun mustahil bagimu melunasinya. Apa kau pikir aku tak mencari tahu tentang para pekerjaku? Ayahmu adalah pria tanpa harapan yang memohon-mohon padaku agar bisa menghidupi putri tunggalnya. Sekarang dia lupa kacang pada kulitnya dan kau memintaku memercayai putri dari seorang pengkhianat?"
Clara segera bersimpuh di kaki Tuan Blackwell, tak gentar dalam keadaan telapak kaki mengeluarkan darah. "Tuan Blackwell, mohon beri kesempatan ...," lirihnya.
Tuan Blackwell menatap ke bawah sana, tempat di mana Clara memohon dengan berurai air mata. Mungkin jika itu dirinya yang dulu akan merasakan iba, tapi sekarang keadaannya sudah jauh berbeda.
"Kau harus membayarnya detik ini juga."
"D-dengan apa? Tak ada benda bernilai yang kami punya."
Ekspresi Tuan Blackwell berubah bengis. "Dengan hidupmu, karena hanya itulah nilai yang sepadan untuk membayarnya. Kau akan berada di sisiku dan hanya melakukan apa yang kuperintahkan."
Keheningan terasa berat, seolah-olah meresapi setiap kata yang keluar dari bibir Tuan Blackwell. Perkataan itu pula yang berhasil membuat Clara seperti sedang tersambar petir.
Bagaimana bisa aku berada di sisi pria mengerikan ini dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan? ucap Clara dalam hati.
"Nona Whitmore, perlu kuperingatkan padamu bahwa membantah perkataanku sama saja meminta kematian."
"Aku-"
"Biarkan aku memberi tahu satu-satunya jalan keluar untuk lepas dariku."
Tuan Blackwell perlahan berjongkok, satu lututnya bertumpu ke lantai. Dia menaikkan dagu Clara dengan susunan sentuhan telunjuk dan ibu jarinya. "Ayahmu adalah jalan keluar terakhirmu, jika dia masih hidup tentunya." Kedua ujung bibirnya terangkat sampai bisa membentuk seringai.
Clara bergidik, hampir tak bisa bernapas. Tatapan mengerikan dan kata-kata tajam itu sudah berhasil menghunus tepat ke jantungnya.
"Bawa gadis ini, tanpa beling dan darah di kakinya," perintah Tuan Blackwell.
Tuan Blackwell bangkit, lalu keluar dari rumah sempit itu. Kemunculan Tuan Blackwell mengundang rasa hormat bagi para pengikutnya yang tak bisa masuk dan hanya bisa berjaga di luar.
Tuan Blackwell menunggu di dalam mobil selama beberapa waktu. Clara masuk setelah kakinya diobati dan diberi perban oleh pria berkacamata yang mengaku sebagai sekretaris Tuan Blackwell.
Dengan gemuruh pelan mesin yang menyala, pintu kabin ditutup. Di bangku penumpang bersama Tuan Blackwell, Clara mencoba menciptakan jarak yang luas. Mobil melaju setelah menerima perintah dari Tuan Blackwell dan membawa mereka pada kebisuan yang menegangkan.
Clara mencoba melirik pria di sampingnya meski keraguan di dalam diri masih membayangi. Setelah menimbang-nimbang begitu lama, dia pun mengeluarkan suara, "Kita ... akan ke mana?"
"The Sovereign Suite at Vireon Spire."
"A-apa ... The S-so ...."
Tuan Blackwell mengembuskan napas panjang. "The, Sovereign, Suite at Vireon Spire."
Clara berusaha memahami gerak bibir Tuan Blackwell, mencoba menangkap arah tujuan mereka.
Tuan Blackwell melihat ketidakpahaman di wajah Clara itu. Dia berpaling pada jalan yang mereka lalui sambil mengucapkan, "Aku tak tahu kenapa harus melafalkannya untuk orang sepertimu."
"Apa yang kau ingin aku lakukan di tempat itu?"
"Kau akan tahu nanti."
Clara menunduk, menahan ketakutan yang terus menyelimuti. Dalam kebingungan yang merayapi pikiran, dia bertanya-tanya tentang kejadian apa lagi yang menunggunya di depan sana.
"Apa aku akan bekerja untuk melunasi utang ayahku?" Hanya itulah yang mengemuka di benak Clara sekarang.
Tuan Blackwell menatap Clara dengan tajam, ekspresinya mencerminkan ketidaksetujuan. "Jangan membuatku mengulang perkataan yang sama karena aku tak menyukai itu." Suaranya memenuhi ruang kabin dengan aura gelap yang semakin tebal.
Clara kehilangan keberanian untuk membuka suara lebih lanjut, sehingga dia hanya bisa menunduk atau membiarkan pandangannya teralih ke luar jendela.
Beberapa saat berlalu, roda mobil itu melewati gerbang dan berhenti di halaman depan sebuah gedung. Seseorang membukakan pintu untuk mereka, yang pertama adalah Tuan Blackwell dan disusul oleh Clara sebagai pendatang baru.
"Ikut aku," ucap Tuan Blackwell, langkahnya mantap menuju pintu depan gedung.
Clara berjalan di belakang dan ikut memasuki bagian dalam gedung yang memancarkan aura eksklusif. Resepsionis menunduk saat menyadari kedatangan Tuan Blackwell. Di sana Clara melihat rangkaian huruf The Sovereign Suite - Vireon Spire menempeli dinding, mengingatkannya pada pembicaraan di mobil tadi.
"Kenapa termenung?"
Suara berat Tuan Blackwell membuyarkan lamunan. Clara menggeleng dan mengikuti arah langkah yang membawanya menaiki lift.
Ting!
Tuan Blackwell mengayunkan kaki keluar dari lift, Clara tetap mengikuti dalam keraguan. Cahaya redup koridor menyambut, aksen elegan di dinding seolah-olah ikut meresapi keheningan. Karpet mewah yang menghasilkan suara halus pun mengiringi setiap langkah, semakin membuat Clara diliputi kegelisahan.
Tuan Blackwell membuka pintu penthouse, menggunakan sensor pintar yang mendeteksi kehadirannya secara otomatis. Pintu terbuka dengan mulus. Kecanggihan yang disaksikan oleh Clara itu membuatnya menganga.
Saat langkah kaki melewati ambang, suasana kemewahan langsung meliputi. Cahaya lembut memeluk ruangan, menerangi furnitur mewah dan seni yang terpajang dengan anggun di penthouse itu. Clara terpukau begitu lama sampai-sampai tak menyadari bahwa Tuan Blackwell kini sudah berdiri di depannya sambil memperhatikan gerak bola matanya.
Dengan kata-kata tegas, Tuan Blackwell menyatakan, "Untuk seterusnya, sampai ayahmu berhasil ditemukan, kau akan tinggal di penthouse ini."
Kebingungan langsung menyergap Clara. "Hah?"
"Jangan kira keberadaanmu di sini untuk bersantai-santai."
"Baik!"
Tuan Blackwell mengerutkan dahi. "Baik? Kau bahkan belum diberi tahu pekerjaan apa yang akan kau lakukan."
Clara menggaruk pelipis. "Itu ... karena aku tak diizinkan untuk bertanya."
Tuan Blackwell menunjuk wajah Clara dengan serius. "Kau akan menjadi seorang gundik yang akan melayaniku, untuk itulah keberadaanmu di sini."
"Gun-dik?" Seperti belum bisa mencerna sepenuhnya, Clara terlambat untuk terkejut. Pupilnya bergetar saat dia perlahan mundur. "Tidak, aku ...."
Tuan Blackwell tertawa lebar, menumbuhkan ketakutan di mata Clara. "Jangan begitu terkejut, Nona Whitmore. Aku baru saja akan memulainya."
Clara paham arti dari seorang gundik, konotasi yang merujuk pada hubungan di luar pernikahan dan dianggap tak etis. Saat ini dia sedang direndahkan, sementara pria yang berdiri di hadapannya tampak sangat puas dengan tawa mengerikan itu.