Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Sing The Dark
Sing The Dark

Sing The Dark

5.0
5 Bab
61 Penayangan
Baca Sekarang

Dunia Luisa berubah saat bertemu Dalton-seorang bartender, membangkitkan harapannya yang telah lama hilang. Namun, semua itu hancur oleh cincin yang melingkar di jari manis Dalton. Alih-alih mundur, Luisa justru terjerumus dalam obsesi yang mengaburkan moralitas. Apakah Luisa mampu menemukan kebahagiaan dengan mengejar cinta yang tak seharusnya dia miliki, atau justru kehilangan dirinya sendiri di tengah perjuangan itu? Sebuah kisah tentang cinta, godaan, dan pencarian makna hidup yang tersembunyi di balik kegelapan.

Konten

Bab 1 Cinta Pandangan Pertama

"Gimme more, Andrés ... please ... harder!"

Desah Luisa terdengar serak, nyaris seperti bisikan yang pecah di tengah udara panas. Dia tak lagi memikirkan tetesan keringat yang membasahi kulit, penampilan tubuhnya yang polos, atau posisi yang menuntut pahanya terbuka lebar.

Krek ... krek ...

Ranjang ikut bersahutan, menambah simfoni irama napas mereka yang saling memburu. Sensasi nikmat merambat, melemahkan saraf-saraf yang telah menyerah pada desakan hasrat.

"Ini yang terakhir ...," lirih Andrés, suaranya berat.

Jari-jari Luisa mencengkeram bantal dengan kuat, seolah itu adalah satu-satunya jangkar yang menahannya agar tak terhanyut dalam badai gairah. Napasnya tersengal-sengal, dan saat mencapai puncak, imajinasinya meledak.

Andrés terkulai di samping Luisa. "Kau luar biasa," katanya seraya tersenyum kecil. "Selalu luar biasa." Dia memandang wanita itu dengan kekaguman yang hampir menyerupai obsesi.

Luisa hanya tersenyum tipis, menyingkirkan helai rambut yang lengket di dahinya. Dia bersandar sebentar, membiarkan tubuhnya pulih dari kelelahan. Matanya melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di meja. Sudah sejak tadi notifikasi masuk menuntut perhatiannya, tapi dia menahan diri. Dia tahu, membuka pesan itu hanya akan merusak suasana hatinya.

Akhir dari keintimannya bersama Andrés selalu membawa Luisa kembali ke realitas pahit; kebebasan yang dia dambakan tak lebih dari ilusi. Takdir telah membelenggunya pada Ricardo, pria tua yang akan terus mencarinya, tak peduli seberapa jauh dia mencoba melarikan diri.

[Temui aku di hotel seperti biasa. Aku sudah mengirim seseorang untuk menjemputmu.]

Pesan itu muncul di layar ponselnya, mengusir sisa-sisa kehangatan yang baru saja dia rasakan. Tanpa membuang waktu, Luisa bangkit dari ranjang, mulai mengenakan pakaian dengan gerakan cepat yang nyaris gelisah. Ketergesa-gesaan itu menarik perhatian Andrés, yang menatapnya lekat dengan tatapan penuh tanya.

"Kau akan pergi?"

"Ya, aku harus menemui pria tua sialan itu," jawab Luisa tanpa menoleh. Dia sudah berdiri di depan cermin, memoles wajahnya dengan riasan.

"Ricardo?"

"Siapa lagi?" Luisa mendengus.

"Tapi kita baru saja menghabiskan waktu bersama. Apa kau yakin masih sanggup meladeninya?"

Luisa menghentikan kegiatannya sejenak, menatap Andrés dengan senyum getir. "Kau tahu aku tak punya pilihan, 'kan?"

Andrés bangkit perlahan dari ranjang, matanya terpaku pada Luisa yang sibuk berdandan. Kilauan kulit yang lembap dan lekuk tubuh Luisa yang menggoda masih mampu memicu gejolak dalam dirinya, meskipun mereka telah berkali-kali tenggelam dalam gairah hari ini. Namun, dia menahan diri. Dia tahu betul jika menunjukkan sisi manja atau mencoba memulai kembali keintiman mereka, wanita itu hanya akan merasa kesal padanya.

Dengan gerakan santai, Andrés meraih botol air di meja dan menuangkannya ke gelas. Dia menghampiri Luisa dan menyodorkan gelas itu. "Minumlah," katanya. "Kau pasti kehausan setelah melalui petualangan panjang bersamaku."

Luisa menatap bayangan Andrés melalui cermin, mata mereka beradu sebelum akhirnya dia memalingkan wajah. Dia meletakkan alat rias di tangannya dan menerima gelas tersebut.

"Aku ingin bayaranku sekarang."

Andrés mengangkat alis, terkejut dengan permintaan yang mendadak.

"Upah menyanyi dan upah bercinta denganku," lanjut Luisa. Dia meneguk minuman dari gelasnya, lalu meletakkannya kembali di atas meja.

Setiap kata yang keluar dari bibir Luisa adalah pengingat bagi Andrés, bahwa meskipun dia menginginkan Luisa lebih dari sekadar permainan fisik, bagi wanita itu, semuanya hanyalah transaksi.

Andrés tersenyum tipis, lalu beralih mengambil ponselnya. Beberapa kali jemarinya bergerak di layar sebelum dia memutar ponsel untuk menunjukkan transfer yang baru saja dilakukan.

"Dua ratus lima puluh euro untuk upah menyanyi di bar, dan tiga ratus lima puluh euro untuk ... jasa rahasiamu," ucap Andrés sambil menyelipkan nada menggoda.

Luisa menatap angka €600 yang tertera di layar. Jumlah itu sesuai dengan kesepakatan mereka. Memang tak sebesar bayaran yang biasa dia dapatkan dari Ricardo, tapi cukup untuk membuat senyuman kecil terbit di wajahnya.

"Jam berapa kau berangkat besok?" tanya Luisa, lebih untuk mengisi keheningan daripada benar-benar ingin tahu.

Andrés melirik arlojinya, memperhatikan jarum detik yang terus berputar. "Sekitar pukul dua belas siang," jawabnya singkat, lalu mendadak mengerutkan dahi. "Ah, aku harus pergi sekarang."

Luisa menatap Andrés sekilas, tanpa menunjukkan rasa penasaran yang sebenarnya tak dia miliki. "Ke mana?"

Andrés merapikan pakaian yang baru dikenakannya, lalu berdiri di depan cermin untuk memastikan penampilannya. "Aku harus mewawancarai calon bartender baru," jawabnya, sebelum berjalan menuju pintu.

Dengan napas yang panjang, Luisa akhirnya juga melangkah keluar ruangan. Suara riuh bar langsung menyergapnya; alunan musik, disertai denting gelas dan obrolan yang berbaur menjadi satu.

"Luisa! Sudah mau pergi?" suara ceria Noelia, salah satu pegawai bar, menghentikan langkahnya.

"Ya, dan lihat ini!" Luisa mengangkat ponselnya dengan antusias. Dia memperlihatkan pesan yang belum lama ini masuk. "Aku dapat gajiku lebih awal!" katanya dengan senyum lebar.

Noelia membelalak, matanya berbinar. "Wah, enaknya!"

Luisa tersenyum tipis. "Andrés itu suka yang terus terang. Kalau kau butuh gaji lebih cepat, coba saja minta langsung padanya dengan lantang."

Noelia tertawa kecil, ada keraguan di matanya. "Kau serius? Aku bisa saja ditendang dari bar kalau berani seperti itu."

"Tenang saja, ada aku di sini. Kalau terjadi apa-apa, aku yang akan bicara untukmu," ucap Luisa, menyelipkan keyakinan dalam nada suaranya.

Noelia tersenyum lebar. "Kau memang teman sejati, Luisa. Kau selalu keren! Aku mengagumimu!"

Luisa menanggapi pujian itu dengan anggukan kecil dan senyuman ringan, seolah sudah terbiasa mendengar sanjungan seperti itu. "Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Baiklah. Hati-hati di jalan!" sahut Noelia, melambaikan tangan dengan semangat.

Luisa berjalan menuju pintu keluar, membiarkan suasana riuh bar mereda di belakangnya. Langkahnya terhenti mendadak ketika tubuhnya bersenggolan keras dengan seorang pria bertubuh kekar.

"Ouch!" seru Luisa, merasakan sedikit nyeri di bahunya. Dia hendak melontarkan protes, tapi pria itu melenggang pergi tanpa sedikit pun rasa peduli.

"Kau tak apa-apa?"

Suara bariton itu terdengar lembut. Mata Luisa menangkap sosok pria dengan mata cokelat yang dalam dan memikat. Dia menelan ludah. Untuk pertama kalinya, dia merasa seolah sedang menatap malaikat dalam wujud manusia.

"Halo? Kau baik-baik saja?" Pria itu mengulang pertanyaannya, membuyarkan lamunan Luisa seketika.

"Oh!" Luisa tersentak ketika menyadari tangan pria itu masih bertengger di bahunya, menstabilkan tubuhnya sebelum sempat terjatuh.

Tangan pria itu lebar dan urat-uratnya tampak jelas. Sentuhan itu membuat imajinasi liar menyeruak di benak Luisa, memunculkan rasa penasaran tentang bagaimana rasanya menelusuri setiap lekuk tubuh pria itu.

Luisa menelan ludah, berusaha keras untuk menahan diri. Dengan segenap kekuatan, dia memaksakan diri untuk kembali menatap kedua mata pria itu. "Y-ya, aku baik-baik saja."

Pria itu hanya tersenyum samar, sebuah senyum yang cukup untuk membuat perut Luisa bergejolak. Pria itu beranjak pergi, meninggalkannya yang masih terpaku.

Perhatian Luisa segera beralih saat ponselnya bergetar. Dia sudah bisa menebak siapa yang menghubunginya, satu nama yang selalu berhasil membuat suasana hatinya buruk-Ricardo.

"Pria tua tak sabar itu!"

Luisa menggeram pelan, berusaha menenangkan amarah yang membakar. Dengan langkah terburu-buru, dia keluar dari bar. Seperti yang sudah dikabarkan, seseorang sudah menunggu untuk menjemputnya. Tanpa ragu, dia memasuki mobil dan membiarkan tubuhnya bersandar di kursi.

Sambil menyulut sebatang rokok, Luisa menarik tarikan dalam, merasakan kenikmatan sejenak. Rokok itu menjadi penenang yang dibutuhkan setiap kali dia akan menemui Ricardo, karena berurusan dengan pria tua itu selalu menguras energi dan emosi.

Matanya melirik ke arah sopir, yang memandangnya melalui kaca tengah dengan ekspresi tak senang. Luisa menurunkan jendela, membiarkan angin mengusir udara di dalam mobil yang tercemar asap rokoknya.

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah hotel. Dia turun dan berjalan menuju lobi. Di tangannya, dia memegang sebuah kunci yang diberikan sopir.

Perjalanan ini merupakan rahasia, karena Ricardo bukanlah sembarang pria. Dia adalah wali kota, seorang tokoh berkuasa yang hidupnya selalu diliputi oleh bayang-bayang politik dan kebijakan. Ricardo jelas tak ingin kabar tentang perselingkuhannya dengan penyanyi bar tersebar, karena itu bisa menghancurkan reputasinya yang sudah dibangun bertahun-tahun. Luisa sendiri tak tertarik terjebak dalam kerumitan hidup yang tak perlu.

Dia melangkah masuk ke kamar, menemukan Ricardo sudah menunggunya, duduk santai dengan sebotol wine yang hampir habis.

"Kau terlambat," ucap Ricardo dingin.

Luisa duduk di samping Ricardo, memberikan ciuman singkat di pipi pria tua itu. "Terlambat adalah hobiku, Sayang."

Tangan Luisa meraba-raba mencari tali jubah, dan saat dia hampir menariknya, Ricardo menghentikan gerakannya.

"Aku tak suka terburu-buru."

Luisa mengertakkan gigi, menahan frustrasi yang makin mendalam. Betapa dia ingin segera meninggalkan hotel ini. Waktu yang mereka habiskan bersama tak lebih dari beban yang harus dia tanggung, tanpa sedikit pun rasa nikmat.

Luisa meneguk wine dari gelas yang ada di meja, lalu bangkit dan berjalan menuju ranjang.

"Berlutut," ucap Ricardo tiba-tiba.

Luisa menoleh, alisnya terangkat. "Apa?"

"Berlutut di depanku dan lakukan tugasmu," desis Ricardo dengan senyum mengejek yang membuat amarah Luisa menggelegak. "Bukankah kau seorang penyanyi? Seharusnya sudah terbiasa dengan sesuatu seperti ... mikrofon."

Perasaan jijik menjalar di seluruh tubuh Luisa, tapi perlawanan hanya akan membawa lebih banyak masalah. Dia yakin telah menerima takdirnya yang menghinakan ini, tapi pada kenyataannya, dia mendapati dirinya hampir menangis untuk pilihan hidup yang telah dia ambil. Sampai kapan dia harus menjalani ini semua?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Memikirkan Tentangmu   05-27 18:43
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY