Unduh Aplikasi panas
Beranda / Cerita pendek / GALERI CERPEN PANAS 21+
GALERI CERPEN PANAS 21+

GALERI CERPEN PANAS 21+

5.0
5 Bab
167 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Area 21+ KHUSUS UNTUK DEWASA!!! Novel ini merupakan galeri kumpulan cerpen panas yang sangat menarik dan layak untuk di baca. Berbagai kisah yang di suguhkan di dalamnya mampu membangkitkan hasrat. Sangat cocok di baca pada malam hari untuk mengisi waktu luang dan rasa kesepian. Siap menjadi panas dan berkeringat dengan novel ini? Ayo baca setiap babnya, di jamin seru dan memuaskan. Selamat membaca dan menikmati yaaa

Bab 1 Ojol dan penumpang kesepian (part 1)

Jam menunjukkan pukul 21.47 ketika notifikasi dari aplikasi ojol menyala di layar ponsel Raka. Satu orderan lagi sebelum pulang, pikirnya. Titik jemput di sebuah kompleks les privat mewah di kawasan Kemang. Tujuan: apartemen di Setiabudi.

Ia nyalakan mesin motornya, membetulkan jaket, dan berangkat.

Sesampainya di lokasi, hanya satu orang yang masih berdiri di pinggir trotoar. Seorang perempuan muda, berambut panjang tergerai, memakai celana jeans ketat dan crop top putih yang terlalu pendek untuk ukuran malam. Bahu kirinya telanjang. Lehernya basah oleh keringat, atau mungkin parfum yang terlalu berani disemprotkan di titik-titik strategis.

Dia berdiri sambil memainkan ponselnya, tapi matanya langsung menyapu Raka dari atas ke bawah saat ia mendekat.

"Mas Raka, ya?" katanya sambil tersenyum miring. Suaranya lembut, sedikit berat, seperti malas tapi sengaja.

"Iya. Ara, ya?"

Dia mengangguk, lalu langsung naik ke jok belakang. Tapi dia tidak duduk seperti kebanyakan penumpang. Bukannya menjaga jarak, tubuhnya justru maju, duduk nyaris menempel di punggung Raka. Tangannya memegang pinggang Raka tanpa ragu.

"Dingin, ya..." katanya.

Raka diam. Tapi tubuhnya tidak. Ada getaran aneh yang menjalar dari pinggang ke dada. Parfum Ara - manis, seperti vanila bercampur sesuatu yang lebih tajam - menusuk hidungnya, mengacaukan pikirannya.

"Baru kali ini aku naik ojek malam sendirian. Biasanya sama teman. Tapi malam ini aku pengin sendiri..." bisiknya di dekat telinga Raka.

Tangan Raka mencengkeram setang lebih keras. Ia merasakan napas hangat Ara di belakang telinganya. Celana jeans tipis Ara menempel pada kain kasar jok motor. Suasana malam yang seharusnya dingin malah terasa seperti bara.

Motor mulai melaju perlahan. Jalanan kota sudah mulai sepi, lampu jalan menciptakan siluet berkelip yang melewati tubuh mereka. Ara tak berhenti bergerak. Sesekali ia bergeser - entah karena mencari posisi nyaman, atau sengaja - dan setiap kali tubuhnya bergesek, dada Raka berdegup lebih keras.

"Mas sering dapet orderan dari cewek?" tanya Ara, suaranya seperti sedang bermain-main.

"Lumayan..."

"Yang cantik-cantik?"

Raka tertawa kecil, "Nggak semua."

"Kalau aku, masuk kategori mana?" tanyanya, dengan nada santai tapi jelas memancing.

Raka tak menjawab. Tapi Ara tertawa pelan di belakangnya, puas dengan efek kata-katanya.

Setibanya di lampu merah, motor berhenti. Angin malam meniup rambut Ara ke depan, sebagian menempel di leher Raka. Ara mendekat lagi, dan sekarang dagunya menyentuh bahu Raka.

"Mas, tahu nggak... aku tuh paling suka naik motor malam-malam begini. Apalagi kalau joknya keras begini... rasanya beda."

Raka menoleh sedikit. Ara menatapnya sambil menggigit bibir bawah. Matanya setengah tertutup, seperti mabuk atau bermain dengan imajinasi nakalnya sendiri. Lalu ia menyandarkan kepalanya di punggung Raka, membiarkan dadanya menyentuhnya penuh.

Setelah lampu hijau, mereka melaju lagi. Tapi suasananya sudah berubah. Ketegangan mengisi udara. Setiap sentuhan kecil terasa seperti percikan api. Saat jalan mulai menanjak dan motor bergoyang sedikit, Raka bisa merasakan dada Ara menyapu punggungnya. Tanpa bra. Kain tipis crop top-nya tak mampu menyembunyikan apapun.

Mereka tiba di apartemen. Raka mematikan mesin motor.

"Udah sampai, Mbak..."

Ara turun perlahan, tapi tangannya tetap bertahan di pinggang Raka. Lalu dia menunduk ke depan, berbisik, "Mas... boleh aku simpan nomor kamu?"

Raka berbalik, menatapnya. Ara sudah membuka aplikasi WhatsApp, dengan halaman "add contact" terbuka.

Ia menyerah. "Boleh."

Ara tersenyum manis, lalu mengetik cepat. Ia menatap Raka tanpa berkata-kata. Lalu dengan pelan, sangat pelan, ia menyentuh dada Raka - hanya ujung jari, seperti menggambar sesuatu tak kasat mata - dan berkata:

"Terima kasih udah anterin aku malam ini..."

Raka hanya mengangguk. Tapi dalam kepalanya, tubuhnya masih mengingat tekanan dada Ara, napasnya di leher, dan aroma parfumnya yang melekat di jaketnya.

Ketika Ara masuk ke dalam lobi, Raka menyalakan motor kembali. Tapi ia tak langsung pulang. Ia diam beberapa menit di bawah cahaya lampu jalan, mengatur napas, menenangkan degup jantung, dan mencoba melupakan getaran yang tertinggal di jok belakang.

Sayangnya, parfum vanila itu tak pergi begitu saja.

***

Keesokan malamnya, Raka duduk di kasur tipis kontrakannya. Lampu kamar redup, hanya temaram dari bohlam kuning murahan yang tergantung di langit-langit. Ia menatap layar ponsel yang sejak tadi sunyi, kecuali satu hal: notifikasi WhatsApp dari nomor yang baru kemarin disimpannya.

Ara.

Awalnya pesan singkat:

"Sampai rumah kemarin langsung mandi. Parfumku nempel di kamu ya, Mas?"

Raka hanya membaca. Tidak langsung membalas.

Lima menit kemudian:

"Mas, sendirian?"

Ia mengetik pelan.

"Iya."

Balasan datang cepat.

"Aku juga. Tapi kok dingin ya. Nggak tahu kenapa, rasanya kayak kurang disentuh."

Raka menelan ludah. Matanya menyipit ke layar, memastikan dia tidak salah baca. Tangannya mendadak berkeringat.

"Kamu biasa bicara begini ke semua driver?"

Ia mencoba netral. Dingin.

Tapi Ara tak membalas seperti orang yang tersinggung.

"Nggak. Cuma ke kamu. Soalnya kamu beda. Dari punggung kamu aja aku tahu."

Raka menunduk. Tangannya mencengkeram paha sendiri, mencoba menahan denyut keras yang mulai terasa di bawah perut.

Lalu pesan selanjutnya masuk. Foto.

Ara. Di depan cermin, pakai tank top ketat warna hitam dan celana dalam renda putih. Wajahnya sebagian tertutup ponsel, tapi ekspresinya jelas - bibir menganga sedikit, leher mendongak, dada penuh dan menggoda.

"Kamu ngelihatin ini tadi malam, kan?"

Raka tak tahu harus menjawab apa. Tapi tubuhnya menjawab lebih dulu - rasa keras di celananya tak bisa dibantah. Ara mengirim voice note 3 detik. Raka ragu memutar, tapi tetap menekannya.

"Aku basah banget malam ini, Mas..."

Nada suara itu berat, dalam, dan memancing. Nafasnya sengaja dipanjangkan, terdengar seperti bisikan dari celah pintu yang hampir ditutup.

Raka menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke dinding. Celananya sesak, dan otaknya sibuk menimbang antara dosa dan keinginan. Tapi jari-jarinya tetap bergerak. Ia membuka kamera depan, memotret separuh wajahnya dalam bayangan, lalu mengetik:

"Kamu main api, Ra."

Balasan datang cepat.

"Aku pengen kamu bakar aku pelan-pelan."

"Kamu keras sekarang, kan?"

Dia tak menjawab. Tapi Ara terus mengetik.

"Kalau kamu ngebayangin aku buka baju, sentuh bagian paling basah di antara pahaku, lalu pelan-pelan masukin jari kamu sambil aku sebut nama kamu - itu artinya kita mikir hal yang sama."

Tangan Raka bergerak ke bawah. Tak bisa lagi ditahan. Ia membuka celana training-nya, menarik boxer ke bawah, dan menggenggam dirinya sendiri. Ara masih mengetik.

"Aku mau kamu jadi yang pertama, Mas. Aku belum pernah, tapi aku nggak takut. Asal kamu pelan, tapi keras. Kamu ngerti?"

Raka membalas singkat:

"Aku ngerti."

Ara mengirim satu foto lagi. Kali ini tanpa tank top. Dada montoknya terpampang, puting cokelat muda mencuat, dan tangannya memegang leher sendiri, seperti sedang dicekik pelan. Di bagian bawah, tulisan kecil dengan lipstik di cermin:

"Pakai aku."

Raka menggeram pelan, menahan suara. Tangannya bergerak naik turun, membayangkan Ara membentangkan kaki, membayangkan kulitnya yang halus dan paha yang menggoda.

Layar ponsel menyala lagi. Video. Ara di atas ranjang, hanya mengenakan celana dalam. Tangannya bergerak ke arah selangkangannya, menyentuh diri sendiri di depan kamera. Mata menatap ke atas, bibir menggigit. Di akhir video, ia berbisik:

"Mas... aku kebayang kamu buka bajuku dan gigit pahaku."

Dan Raka meledak.

Tubuhnya mengejang, napasnya berat, dan cairannya membasahi perut dan tangan. Ia bersandar ke tembok, tubuhnya masih bergetar, kepalanya kosong.

Ponsel kembali berbunyi.

"Kalau kamu keluar, aku berhasil."

Raka hanya bisa tertawa kecil. Kalah. Luluh. Terbakar.

Tapi jauh di dalam dirinya, ia tahu: ini baru permulaan.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY