Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / ISABELLA: Dibelai Maut, Dicintai Takdir
ISABELLA: Dibelai Maut, Dicintai Takdir

ISABELLA: Dibelai Maut, Dicintai Takdir

5.0
5 Bab
2 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Dijual oleh ayahnya, dikhianati keluarganya, dan hampir diperkosa lebih dari sekali-Isabella tak pernah menyangka jalan hidupnya akan dimulai dari pelarian paling gelap menuju dunia paling kelam: prostitusi eksklusif. Namun dari balik malam panas dan pelukan pria-pria berdasi, Isabella menemukan cinta, rahasia, dan... kematian. Ketika pria yang ingin ia nikahi tewas dalam kecelakaan misterius, Isabella bersumpah mencari pelaku. Tapi ia tak pernah menduga: pembunuhnya adalah pria pertama yang membelinya-Ronald. Dan Ronald bukan satu-satunya rahasia. Siapa sebenarnya Isabella? Dan mengapa hidupnya seolah dipertaruhkan dalam permainan dendam lintas keluarga? Dibumbui adegan panas, cinta penuh luka, dan misteri berdarah, ini adalah cerita tentang seorang wanita yang bangkit, dan menaklukkan takdir.

Bab 1 satu

Pagi baru saja merekah di Desa Kedung Renggan. Kabut masih menggantung di antara batang-batang bambu, menyelimuti rumah-rumah reyot yang berdiri miring seolah siap rubuh diterpa angin. Di salah satu sudut desa yang paling terpinggir, tinggal keluarga kecil: Isabella, gadis cantik berusia delapan belas tahun, bersama ayah dan ibunya.

Pagi itu, Bella baru selesai mandi di sumur belakang rumah. Handuk tipis berwarna pudar membalut tubuhnya yang semampai. Ia menuruni tangga bambu menuju dapur, rambutnya masih basah, meneteskan air ke lantai tanah. Ia tidak tahu bahwa tamu tak diundang telah menunggu di ruang depan.

Tuan Jo duduk menyeringai di kursi tua, kakinya bersilang dan tangan kanannya menepuk-nepuk lutut. Matanya yang sipit dan dipenuhi keriput itu mengamati Bella dengan tajam, seperti binatang buas mengincar mangsanya. Ia sudah lama mengincar gadis ini. Dan hari ini, ia merasa waktunya telah tiba.

"Selamat pagi, Nona Bella," sapa Tuan Jo, suaranya berat dan licik.

Bella terkejut bukan main. Ia refleks menutup tubuhnya dengan tangan, wajahnya merah padam. "Apa-Apa yang Tuan lakukan di sini? Ayah saya belum pulang dari ladang..."

Tuan Jo tidak menjawab langsung. Ia bangkit dari kursi, langkahnya berat namun penuh percaya diri. Matanya tak lepas dari Bella. "Aku ke sini bukan untuk ayahmu. Aku ke sini... karena hari ini adalah hari penentuan, Bella."

Bella menelan ludah, merapatkan handuknya. Hatinya berdegup kencang. Ia tahu hutang ayahnya makin menggunung. Tapi tak pernah ia bayangkan Tuan Jo akan datang sendiri ke rumah.

"Sudah cukup lama, ya? Tiga bulan, dan tak sepeser pun ayahmu kembalikan. Aku sudah sangat... sabar," lanjut Tuan Jo dengan senyum dingin. "Jadi... saat ini aku pikir, sudah waktunya kita bahas jaminannya."

Bella mundur satu langkah. Ia merasakan udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, tapi itu tak seberapa dibanding rasa takut yang merayap di tubuhnya.

"Jaminan?" bisiknya.

Tuan Jo tertawa pelan. "Kau. Ayahmu sendiri yang menawarkannya. Menjadi istriku. Istri ketigaku. Kau tahu, aku kesepian di usia tua. Dan kau... ah, Bella. Lihat dirimu sekarang. Segar seperti bunga pagi. Apa lagi yang lebih menyenangkan daripada memiliki kau di ranjangku?"

Bella ingin muntah mendengar kata-katanya. Ia menggigit bibirnya, menahan marah, menahan malu. "Saya bukan barang, Tuan Jo!"

Tuan Jo mendekat lebih lagi. Tangannya hendak menyentuh lengan Bella, tapi gadis itu mundur cepat, punggungnya menabrak dinding dapur.

"Kau akan berubah pikiran setelah lihat ayahmu menderita," ucapnya, suaranya pelan namun mengancam. "Kalau tidak mau, aku bisa kirim orang-orangku buat ajar dia pelajaran. Atau... kubakar rumah ini. Pilihannya mudah, Bella."

Tepat saat itu, suara kaki berlari terdengar dari luar. Seorang remaja lelaki muncul dengan nafas memburu. Chiko.

"Hei! Apa yang kau lakukan pada Bella?!" teriaknya marah.

Tuan Jo berbalik. "Anak ingusan, ini bukan urusanmu!"

"Aku tak akan biarkan kau sentuh Bella!" Chiko berdiri tegak, meski tubuhnya gemetar menahan amarah.

Tuan Jo mendengus, lalu melangkah keluar. Tapi sebelum pergi, ia menatap Bella dengan tajam. "Kau punya waktu sampai malam ini. Pilihannya mudah, Bella. Jadi istriku, atau ayahmu mati."

Pintu kayu itu menutup keras di belakangnya.

Bella jatuh terduduk di lantai, bahunya bergetar. Chiko berlari menghampiri, meraih bahunya. "Bella, aku akan jaga kamu. Aku janji..."

Air mata Bella mengalir. Dunia yang selama ini dikenalnya, kini mulai runtuh perlahan.

***

Sore hari, langit desa tampak sendu, seolah ikut merasakan nestapa yang menyelimuti hati Bella. Ia duduk di tangga rumahnya, mengenakan daster lusuh berwarna biru langit, rambutnya diikat asal, mata sembab karena menangis. Di hadapannya, Chiko berdiri dengan wajah serius, menatap jalanan sepi yang memanjang ke arah kota.

"Aku udah bilang sama Om Idin, besok pagi motorku dibawa," ucap Chiko pelan tapi pasti.

Bella tertegun. "Motor itu satu-satunya milik kamu, Chik. Itu juga yang kamu pakai ke sekolah..."

Chiko menoleh cepat, memotong kalimat Bella. "Aku bisa jalan kaki. Aku bisa numpang. Itu semua nggak penting dibanding kamu dijadiin istri ketiga lintah darat kayak Tuan Jo!"

Suara Chiko bergetar menahan amarah. Tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya. Bella meraih tangannya dan menggenggam erat.

"Aku nggak akan pernah nyerahin diriku ke dia. Sekalipun dunia ini ambruk," ucap Bella, suaranya parau tapi penuh tekad.

Chiko menatap wajah gadis itu lama. "Aku tahu kamu nggak akan nyerah. Itu sebabnya aku harus bantu. Kita nggak punya waktu. Kalau uang dari motor itu cukup, kita bisa bayar sebagian, atau paling nggak tahan dia beberapa hari."

Bella menggeleng pelan. "Tapi jumlahnya besar, Chik. 100 juta. Motor kamu paling laku berapa?"

Chiko tertawa miris. "Om Idin cuma mau bayar tujuh juta. Aku tahu itu belum cukup. Tapi lebih baik kita usaha daripada diem aja."

Bella terdiam. Ada rasa hangat di hatinya melihat usaha Chiko. Lelaki itu memang bukan orang kaya, tapi ia satu-satunya yang selalu berdiri di sisinya. Selalu. Bahkan saat seluruh desa mencibir keluarga Bella sebagai beban, Chiko tetap datang membawa secercah harapan.

"Aku cinta kamu, Bella," kata Chiko tiba-tiba. "Aku tahu kamu juga cinta aku. Aku janji, aku akan lulus jadi tentara. Aku akan ubah nasib kita. Tapi sekarang... kita harus bisa selamatin kamu dari Tuan Jo."

Air mata kembali mengalir di pipi Bella. Ia mengangguk sambil menggenggam tangan Chiko lebih erat. Di balik penderitaan yang menyesakkan, cinta di antara mereka menjadi satu-satunya cahaya yang masih bersinar.

***

Malam turun dengan cepat. Di balik jendela yang terbuka, suara jangkrik bersahut-sahutan, seolah jadi latar bagi kegelisahan yang menggantung. Ayah Bella pulang dalam keadaan mabuk, tak tahu bahwa hari ini, lintah darat keparat itu sudah datang menuntut janjinya.

Bella duduk di depan cermin kecil di kamarnya, memandangi wajahnya sendiri. Cantik, kata banyak orang. Tapi apa gunanya kecantikan, jika dunia ingin menginjaknya?

Ketukan keras tiba-tiba terdengar di pintu rumah.

Bella dan ibunya yang sedang memasak saling berpandangan panik.

Chiko masuk terburu-buru lewat pintu belakang. "Bella... dia datang."

Tuan Jo berdiri di depan pintu dengan dua orang lelaki bertubuh kekar di belakangnya. Matanya menyapu ruangan dengan tatapan tajam seperti harimau lapar. "Aku datang untuk mengambil janjiku."

Bella berdiri tegak, meski lututnya lemas. "Saya tidak akan jadi istri ketiga Anda. Kami akan bayar hutangnya."

"Uangmu mana?" Tuan Jo menyeringai.

Chiko melangkah maju, mengeluarkan amplop berisi uang hasil penjualan motornya. "Ini tujuh juta. Kami minta waktu satu minggu untuk sisanya."

Tuan Jo mengambil amplop itu, menimbang-nimbang isinya. Ia mengangkat alis. "Kalian pikir aku main-main?"

"Kasih kami waktu!" pinta Bella. "Tolong..."

Tuan Jo mendekat, menundukkan wajahnya hingga sejajar dengan Bella. Napasnya berbau tembakau dan tuak. "Satu minggu. Tapi kalau kalian kabur atau coba-coba akali aku... ayahmu yang akan kubuat cacat."

Malam itu Bella duduk bersama Chiko di atas tikar bambu. Angin malam meniup masuk lewat celah-celah dinding rumah yang bolong. Mereka tak berbicara banyak. Hanya duduk berdampingan. Bahu mereka bersandar satu sama lain, saling memberi kekuatan.

"Aku akan pergi ke kota besok," bisik Bella.

Chiko menoleh cepat. "Apa? Buat apa?"

"Aku akan cari pekerjaan. Jadi pembantu, jaga toko, apapun. Asal bisa bantu lunasi hutang."

"Jangan, Bella. Itu kota, bukan desa kita. Kamu sendirian-"

Bella menatapnya dengan mata merah tapi penuh nyala keberanian. "Aku nggak bisa terus jadi gadis desa yang cuma bisa pasrah. Aku harus berani. Demi kita."

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Chiko memeluk Bella erat.

Mereka tahu... malam ini mungkin menjadi malam terakhir sebelum segalanya berubah.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 lima   05-22 20:13
img
1 Bab 1 satu
21/05/2025
2 Bab 2 dua
21/05/2025
3 Bab 3 tiga
21/05/2025
4 Bab 4 empat
21/05/2025
5 Bab 5 lima
21/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY