Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / PUSTAKA CERITA DEWASA 21+
PUSTAKA CERITA DEWASA 21+

PUSTAKA CERITA DEWASA 21+

5.0
5 Bab
70 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

21+ KHUSUS UNTUK DEWASA! novel ini berisi berbagai kisah panas, dari berbagai kalangan. Cocok untuk menambah fantasi, hiburan dan bacaan untuk malam hari. Penasaran akan sepanas apa cerita-cerita dari berbagai tokoh-tokohnya. Yuk di baca setiap chapternya. Selamat membaca dan selamat menikmati yaaa

Bab 1 Siswi yang menggoda (part 1)

Matahari sore menyorot tajam melalui jendela kaca kolam renang sekolah, memantulkan kilauan air yang bergoyang perlahan. Pak Radit berdiri di pinggir kolam, peluit menggantung di lehernya yang berkeringat. Latihan ekstrakurikuler renang sudah usai, dan sebagian besar siswa telah berhamburan ke kamar mandi atau langsung pulang.

Tapi tidak dengan Kania.

Gadis kelas XII itu masih berada di dalam air, tubuhnya yang ramping meliuk seperti ikan kecil di bawah permukaan. Rambut hitamnya yang panjang mengambang di sekitar bahunya, dan bikini merah yang dipakainya, terlalu minim untuk ukuran seragam renang sekolah, hanya menutupi bagian-bagian yang paling vital.

"Kania, latihan sudah selesai," panggil Pak Radit, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional.

Dia melihat Kania melambai, lalu berenang ke tepi kolam. Saat gadis itu naik, air mengalir di lekuk tubuhnya, membasahi kulit putihnya yang berkilau. Pak Radit dengan cepat mengalihkan pandangan ke clipboard di tangannya.

Ini hanya pekerjaan, ingatnya pada dirinya sendiri. Dia hanya seorang siswi.

Tapi tubuhnya tidak mendengarkan.

30 menit kemudian.

Pak Radit sedang mencatat kehadiran di ruang guru kecil dekat kolam ketika suara pintu kamar mandi siswa terdengar berderit. Dia mengangkat kepala-tidak seharusnya ada siswa yang masih di sana.

Dia berjalan mendekat, berencana hanya memeriksa sekilas.

"Apa ada yang masih di sini?" panggilnya sambil mengetuk pintu.

Tidak ada jawaban.

Dengan hati-hati, Pak Radit mendorong pintu yang ternyata tidak terkunci. Ruang ganti kosong... kecuali untuk satu sosok di sudut.

Kania.

Gadis itu berdiri di depan cermin besar, hanya mengenakan bikini merahnya, handuk kecil terjatuh di lantai basah di kakinya. Dia seolah sedang mengamati sesuatu di cermin atau mungkin menunggu sesuatu.

Tidak. Tidak mungkin.

Pak Radit membeku.

Kania tidak terkejut. Tidak berusaha menutupi diri. Dia malah berpaling perlahan, mata gelapnya menatap langsung ke arahnya.

"Maaf, Pak," ucap Kania, suaranya seperti madu yang dituang perlahan. "Handukku jatuh."

Tapi dia tidak berusaha mengambilnya.

Dari jarak tiga meter, Pak Radit bisa melihat setiap detail tubuh Kania. Payudara kecil tapi berbentuk sempurna, tertekan oleh bikini yang nyaris tidak cukup menutupi putingnya. Perut rata dengan otot halus bekas latihan. Lekuk pinggul yang mengarah ke paha mulus, di mana tali bikini bawahnya hanya berupa senar tipis.

Dan yang paling berbahaya-senyum kecil di bibir Kania, seolah tahu persis apa yang sedang terjadi di celana training Pak Radit.

Darah mengalir deras ke selangkangan Pak Radit. Dia merasakan bagaimana celananya tiba-tiba menjadi ketat, bagaimana tubuhnya bereaksi terlalu jujur terhadap pemandangan ini.

Sial.

Dia harus pergi. Sekarang.

"Pak Radit?" Kania memanggil saat dia berbalik. "Apa Bapak tidak mau membantu aku mengambil handuk?"

Suara itu-naik turun dengan sengaja, seperti permainan.

Dengan napas berat, Pak Radit membungkuk, mengambil handuk, dan melemparkannya ke arah Kania tanpa menatapnya lagi.

"Pakai seragammu dan pulang," katanya, suaranya lebih kasar dari yang dia rencanakan.

Dia tidak menunggu jawaban.

Di mobilnya sepuluh menit kemudian, Pak Radit masih mencoba menenangkan nafas. Dia menyalakan AC dengan maksimal, berharap udara dingin bisa meredakan panas di tubuhnya.

Ponselnya bergetar.

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:

"Maaf tadi membuat Bapak tidak nyaman :)"

Jantungnya berdegup kencang.

Lalu pesan kedua datang-sebuah foto.

Hanya sepintas, tapi cukup untuk membuatnya tercekik:

Kania di kamar mandi sekolah, bibirnya menggemes, jari-jarinya menarik tali bikini merah itu ke samping, hanya cukup untuk memberi petunjuk, tidak cukup untuk memperlihatkan.

Pesan ketiga:

"Apa Bapak tidak ingin lihat lebih banyak?"

Di dalam mobil yang sunyi, Pak Radit mendapati tangannya sudah meraih resleting celananya.

***

Pesan itu masih terpampang di ponsel Pak Radit ketika dia masuk ke ruang guru olahraga keesokan harinya.

"Aku butuh les atletik, Pak. Untuk lomba antar sekolah. Mohon bantuannya."

Ditambah dengan emoticon senyum polos, kontras sekali dengan foto yang dikirim sebelumnya.

Radit menghela napas, jarinya mengetik balasan:

"Bisa. Lapangan jam 4 sore. Pakai seragam lengkap."

Dia sengaja menekankan bagian terakhir, berharap Kania akan mematuhi aturan kali ini. Tapi suatu bisikan di kepalanya berharap sebaliknya.

***

Sinar matahari sore masih menyengat ketika Pak Radit tiba di lapangan sekolah. Tempat itu sepi-hanya beberapa siswa yang masih latihan bola basket di ujung jauh.

Kania sudah menunggu di lintasan lari, tapi yang membuat nafas Radit tersendak adalah seragam yang dipakainya.

Baju olahraga sekolahnya, biasanya longgar, kali ini terlihat dua ukuran lebih kecil. Kain putih tipis itu melekat di setiap lekuk tubuhnya, dan celana pendeknya... Tuhan, celana pendeknya nyaris tidak menutupi pahanya yang mulus.

"Terima kasih sudah mau melatihku, Pak," sapa Kania dengan senyum manis, seolah tidak menyadari tatapan panas gurunya.

Radit mengeluarkan clipboard. "Kita fokus pada squat dan lari cepat hari ini."

Lalu latihan di mulai.

"Tekuk lutut lebih dalam," perintah Radit, berusaha menjaga nada profesional sambil berdiri di belakang Kania.

Gadis itu mengangguk, lalu melakukan squat perlahan.

Dan itulah saat bencana terjadi.

Setiap kali Kania menurunkan tubuhnya, celana pendeknya yang sudah mini itu naik, sedikit demi sedikit, hingga pada squat kelima...

Tidak.

Radit hampir tersedak.

Pantat Kania yang bulat sempurna sekarang terlihat jelas, karena gadis itu tidak memakai celana dalam sama sekali. Kulit halusnya berkilau oleh keringat, lekuk bawahnya yang menggoda terpampang tanpa malu.

"Seperti ini, Pak?" tanya Kania polos, masih dalam posisi squat, seolah tidak tahu apa yang baru saja diperlihatkannya.

Radit merasakan darah mengalir deras ke selangkangannya. "Cukup!" batuknya. "Kamu... kamu melakukan kesalahan gerakan. Hukuman push-up 20 kali!"

Kania tidak protes. Dengan senyum kecil, dia berbaring di rumput dan mulai push-up.

Dan Radit, dengan segala kesialannya, harus berdiri tepat di depan kepala Kania.

Setiap kali gadis itu menurunkan tubuhnya, baju olahraganya yang ketat melorot ke depan, memperlihatkan belahan payudara yang menggoda. Putingnya yang keras membentuk titik jelas di kain tipis.

"18... 19... 20..." napas Kania terengah.

Dia tidak segera bangkit. Tetap dalam posisi push-up, kepalanya tepat sejajar dengan selangkangan Radit.

"Pak Radit..." bisiknya, mata gelap menatap ke atas. "Bapak... terlihat tegang."

Radit menyadari posisinya yang mengerikan, celana trainingnya membentuk tendangan jelas yang tidak bisa disembunyikan.

Setelah latihan, Radit berusaha cepat-cepat masuk ke ruang ganti guru. Tapi Kania mengejarnya.

"Pak, aku masih belum paham teknik start yang benar," katanya, menyandarkan tubuh di pintu.

Radit tahu ini permainan berbahaya. Tapi tubuhnya menolak untuk mengusir gadis itu.

"Lain kali," jawabnya kasar.

Kania mendekat, tangan kecilnya tiba-tiba menekan pintu, menjebak Radit di antara dirinya dan lemari.

"Atau..." bisiknya, nafas hangat mengenai leher Radit, "Bapak bisa mengajariku... hal lain dulu?"

Dia menggerakkan pinggulnya, dengan sengaja menggesek sesuatu yang keras di celana training Radit.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY