Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / DIGILIR PREMAN (Istriku Dibawa Kabur)
DIGILIR PREMAN (Istriku Dibawa Kabur)

DIGILIR PREMAN (Istriku Dibawa Kabur)

5.0
7 Bab
50 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

"Aku kehilangan istri, anak, dan harga diriku. Tapi malam itu... aku menemukan kembali siapa diriku sebenarnya." Ketika sebuah surat menghancurkan hidupnya, Jovan terseret ke dalam pusaran kenangan, dendam, dan nafsu. Dalam pelariannya mencari jawaban, ia justru menemukan kekuatan untuk bangkit-dan jejak bayang istri yang telah menghancurkan segalanya. Pemburu Nafsu – Jejak Bayang Istri yang Kabur Sebuah kisah lelaki yang terjerat masa lalu, dan perjuangannya untuk menemukan kebenaran... walau harus menantang batas dirinya sendiri.

Bab 1 Terbuka Tabir

Siang menjelang sore Ferdy tiba di rumah. Sebenarnya dari tadi dia sudah merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, seperti firasat buruk yang tak bisa dijelaskan. Bahkan sejak dalam perjalanan, hatinya sudah terasa sesak. Rencana tiga hari perjalannnya bahkan sampai dia pangkas jadi dua hari.

Semakin dekat ke rumah, napasnya terasa semakin berat, seolah ada yang tidak beres. Begitu tiba, ia mendapati pintu kamar sedikit terbuka. Langkahnya terhenti sejenak. Ia mendengarkan. Detak jantungnya berpacu cepat ketika samar-samar terdengar suara bisikan-suara yang seharusnya tak ada di sana.

Itu suara Tania, tapi ada sesuatu yang aneh. Ferdy menahan napas, merasakan seberkas ketakutan menyusup ke dalam dirinya.

BRAK!

Tanpa pikir panjang, Ferdy mendobrak pintu dengan kasar, menghancurkan ketenangan yang semu.

"TANIA! APA YANG TERJADI DI SINI?!" suaranya menggema, parau, penuh kemarahan dan ketidakpercayaan, tak mampu menyembunyikan guncangan batinnya.

Tania tersentak. Ia berdiri panik. Wajahnya pucat, matanya membesar seolah baru tertangkap basah melakukan sesuatu yang tak seharusnya. Tangannya gemetar, meremas ujung bajunya, berusaha menutupi rasa bersalah yang terpancar dari setiap geraknya.

"MAS FERDY?! Kamu sudah pulang? Kenapa nggak ngabarin dulu?" Suaranya nyaris tak terdengar. Wajahnya takut menatap laki-laki yang jelas tengah menahan emosi.

Di atas tempat tidur mereka, seorang lelaki yang Ferdy kenal baik-Ricko-terduduk kaku. Matanya melebar, tangannya mengepal di atas selimut. Napasnya tak beraturan, terlihat jelas ketakutan menguasainya.

"Mas Fer, aku... aku cuma...," gumam Ricko tergagap, wajahnya pias. Kekhawatiran jelas terpancar di matanya, tapi tak ada sedikit pun rasa simpati dalam hati Ferdy saat itu.

Ferdy melangkah masuk. Aura dingin mengelilinginya. Rahangnya mengeras, tatapannya menajam, mengunci Ricko yang duduk di tempat tidur pernikahannya.

"Apa yang kalian lakukan di sini?! Kenapa dia ada di kamar kita, Tania?! JAWAB!" suara Ferdy meledak, seperti petir yang siap merobek segalanya.

Tania melangkah mendekat, tangannya terangkat seolah hendak menenangkannya. "Mas Ferdy, dengar dulu... Ini nggak seperti yang kamu kira! Tolong, jangan marah dulu!"

Ferdy terkekeh pendek, penuh kepahitan. "Bukan seperti yang aku kira? Jadi, apa yang sebenarnya terjadi, Tania?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan kebingungan yang menyayat.

Tania menggigit bibirnya, menatap suaminya dengan sorot memohon. Namun air mata sudah jatuh dari sudut matanya.

"Ricko hanya teman lama, Mas. Aku butuh seseorang buat bicara. Aku merasa... kesepian," ujarnya dengan suara rapuh, seolah baru saja membuka rahasia terdalamnya.

Ferdy mendengus sinis. "Kesepian? Lalu kamu memilih bicara dengan dia di kamar kita? Di atas tempat tidur? DALAM KEADAAN SAMA-SAMA BUGIL? suaranya meninggi. Dadanya naik-turun menahan emosi yang membuncah.

Tania melotot, mendadak berubah defensif. "Mas Ferdy selalu sibuk! Kamu nggak pernah ada buat istrimu! Aku butuh seseorang yang bisa dengerin aku tanpa menghakimi!" Nada suaranya kini penuh emosi, matanya mulai memancarkan kemarahan.

"Jadi ini balasanmu? Mengundang pria lain ke kamar kita?" Ferdy mengarahkan pandangan menusuk ke arah Ricko yang masih terpaku di tempatnya.

"Mas Fer, aku nggak ada maksud apa-apa," ucap Ricko dengan suara rendah, menunduk dalam ketakutan. Tapi kata-katanya sudah tak berarti apa-apa.

Ferdy tak bisa menahan diri lagi. Tangannya terangkat.

PLAK!

Tamparan keras itu mendarat tepat di pipi Ricko, membuat tubuh pria itu terdorong ke belakang. Tangannya refleks menutupi wajahnya. Amarah Ferdy mencapai puncaknya.

"BRENGSEK LU, RICKO!" geramnya, suara penuh gemuruh kemarahan. "LU PIKIR BISA MASUK KE HIDUP GUE SEENAKNYA?!"

Tania menjerit, lalu berlari mendorong dada Ferdy dengan kedua tangannya yang mungil. "MAS FERDY HENTIKAN! Kamu keterlaluan!" teriaknya panik.

Ferdy menatapnya tajam, nyaris tak mengenali perempuan yang dulu begitu dicintainya. "Aku keterlaluan? Tania, kamu yang bawa pria lain ke kamar kita, dan aku yang keterlaluan? Maksud kamu apa?" Suaranya seperti pisau.

Ia mundur selangkah, dadanya makin sesak.

Tania terdiam. Bibirnya bergetar. Ricko berdiri perlahan, mengenakan pakain dengan tergesa-gesa menunduk, lalu melangkah mundur.

"Saya pergi. Maaf, Mas Ferdy," ucapnya lirih.

Ferdy menatapnya dingin. "Lu jangan pernah balik lagi ke sini, BANGSAAAAT!" teriaknya, memuntahkan seluruh amarah yang tertahan. Tapi kekosongan di hatinya tak juga hilang.

Ricko menunduk sekali lagi lalu buru-buru pergi. Ferdy menatap Tania penuh amarah, kecewa, dan luka yang menganga.

"Aku nggak tahu lagi, Tania... Aku nggak tahu lagi." Dengan langkah berat, Ferdy keluar, menutup pintu dengan hentakan keras-seolah mengubur semua harapan yang pernah tumbuh.

Ia tak bertanya di mana anak-anaknya. Ia tahu pasti Nazwa dan Rayhan belum pulang dari rumah neneknya, atau di rumah Mak Iyoh, pengasuhnya.

Ferdy melangkah pelan di jalan setapak yang mulai ditelan rumput liar, menuju bukit kecil yang sejak lama menjadi tempat pelariannya. Angin sore menyapu wajahnya. Langit berubah warna-semburat jingga dan ungu menghiasi cakrawala, seolah mencerminkan gejolak batin yang tak kunjung reda.

"Tania... aku masih ingat... matanya yang berbinar saat kami menata rumah kecil itu. Cerewet soal gorden, ribut sendiri memilih warna cat yang katanya harus sesuai suasana hati. Kami tertawa puas, rumah itu benar-benar terasa hidup."

"Tawa kami pecah waktu Nazwa belajar bicara. 'Papa,' katanya-cadel, gemetar, tapi menggetarkan seluruh jiwaku. Tania menepuk tangan seperti anak kecil yang baru saja menang undian."

"Lalu Rayhan lahir... tiga tahun setelahnya. Tubuh kecilnya tidur di dadaku, dan Tania, di sebelahku-lelah, tapi penuh bahagia. Lima tahun... ya Tuhan, lima tahun yang terlalu cepat berlalu. Tapi semuanya begitu bermakna. Dan sekarang?"

"Ricko... lelaki yang dulu aku selamatkan dari kubangan dosa, yang aku beri pekerjaan, pakaian, bahkan tempat tinggal. Aku ajari dia mengenal Tuhan, aku kenalkan dia pada keluargaku-pada istriku. Tapi dia membalas dengan pengkhianatan."

Dari kejauhan, suara burung-burung pulang ke sarang terdengar lirih. Ferdy memejamkan mata, membiarkan angin membelai wajahnya. Ia mendengar bisikan yang mungkin berasal dari hatinya sendiri.

Ia tak tahu apa yang dicarinya di sini. Mungkin jawaban. Mungkin ketenangan. Atau mungkin hanya waktu untuk meredakan badai dalam dadanya.

Ia menunduk, menggenggam sejumput rumput kering lalu melepaskannya ke udara. Angin membawanya pergi, seperti waktu yang tak bisa ia genggam. Udara malam mulai turun. Dan Ferdy berharap, kesakitan ini bisa memudar seperti senja yang perlahan menghilang.

Malam perlahan turun, dan Ferdy masih di sini, sendirian bersama pikirannya yang semakin tak karuan. Setiap detik terasa begitu berat, dan kesepian semakin menyelimuti hatinya, membuatnya merasa semakin terperangkap dalam kegelisahan.

Esok harinya, ia kembali. Rumah terasa sunyi, terlalu sunyi. Seolah semua kehidupan di dalamnya telah pergi, meninggalkan kesepian yang menggerogoti setiap sudutnya. Langkahnya terasa berat, seolah setiap inci ruang ini menahan setiap langkah yang ingin ia ambil.

Ferdy melangkah menuju kamar, perasaan aneh yang membebani dadanya semakin menjadi. Begitu pintu kamar terbuka, hatinya langsung mencelos, terhempas ke dasar jurang yang tak terlihat. Lemari pakaian terbuka dan kosong.

Perhiasan di kotak hilang. Buku tabungan Tania lenyap begitu saja, tanpa jejak. Motor matic yang biasa dipakai Tania juga raib, bersama semua surat-suratnya. Semuanya menghilang, seolah tak pernah ada. Ruangan ini kini terasa lebih dingin, lebih asing. Tidak ada lagi celotehan ceria kedua anaknya yang biasa memenuhi rumah ini.

Ferdy melangkah limbung ke ruang tengah, perasaannya hancur begitu saja. Harapan yang sempat ada, hancur seketika. Ia berharap menemukan sesuatu-apa pun itu, yang bisa memberi jawab dan arti pada kekosongan yang mencekam ini.

Namun yang ditemuinya justru selembar kertas di atas meja. Kertas itu tergeletak begitu saja, seperti sebuah pesan yang sengaja ditinggalkan untuk menghancurkan sisa-sisa harapan yang masih ada di dalam dirinya.

Tangannya gemetar hebat saat mengambil kertas itu. Kertas itu terasa begitu berat, seolah beban dunia ada di dalamnya. Ferdy membuka kertas itu dengan tangan yang hampir tak bisa ia kendalikan.

"JANGAN CARI KAMI. NAZWA DAN RAYHAN BUKAN ANAKMU, KAMU LELAKI LEMAH DAN MANDUL FERDY!"

Dunia Ferdy runtuh seketika. Seolah semua yang ada di sekitarnya menghilang dalam sekejap. Tangannya bergetar hebat, tubuhnya terasa hampa, seolah tak lagi terhubung dengan dunia ini. Napasnya memburu, panas dan sesak. Kepalanya terasa berat, seperti ada batu besar yang menekan dahi.

Ia mencoba berdiri, namun tubuhnya tidak mau diajak bekerjasama. Ferdy terduduk di lantai, menatap kosong ke dinding, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Pikirannya menolak untuk percaya. Tidak. Ini tidak mungkin. Ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Tapi hatinya tahu. Ini adalah kenyataan yang harus diterimanya. Ia tak tahu mana yang lebih sakit-mempercayai kenyataan ini atau menyangkalnya.

"Tidak... Ini nggak mungkin..." bisiknya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh rasa sakit yang mencekam.

Ferdy menekan wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menekan perasaan yang mengguncang tubuhnya. Namun tak ada yang bisa ia lakukan. Tubuhnya terguncang hebat, terasa disayat, dan rasa sakit ini begitu tak tertahankan...

Ia bahkan tidak peduli lagi ketika keluarga besar Tania datang meminta maaf atas perbuatan memalukan anak mereka yang entah kemana. Ia juga tidak terlalu merespon kedua orang tuanya, yang dulu memaksanya menikahi Tania. Ketika kejadian ini sudah terjadi, mereka pun hanya bisa menangis dan meminta maaf atas segala kesalahan mereka.

"Umi dan Abi bersumpah, mulai sekarang tidak akan lagi ikut campur urusan jodohmu, Nak. Umi dan Abi menyesal..."

Ferdy tidak membenci orang tuanya. Biarlah mereka menginsafi kesalahan mereka, bahkan membatalkan semua rencana perjodohan mereka untuk kedua adiknya. Ferdy merasa dirinya telah menjadi tumbal atau perisai untuk masa depan kedua adiknya yang belum sempat dipaksa kedua orang tuanya untuk menikah dengan lelaki pilihan mereka.

Ferdy hanya ingin adik-adiknya bahagia dengan pilihan mereka masing-masing.

Dengan kaki yang berdarah dan bernanah, Ferdy tetap melanjutkan hidup. Setiap langkah terasa menyiksa, seolah dunia ingin menghentikannya, tapi ia tetap berjalan.

Luka di tubuhnya hanyalah bayangan dari luka yang jauh lebih dalam-yang menganga di dalam hati dan tak kunjung sembuh. Hari demi hari terasa semakin berat, seperti memikul beban yang tak pernah berkurang.

Namun Ferdy tahu, tak ada pilihan lain selain terus melangkah... walau tertatih, walau sendiri, walau kadang nyaris menyerah.

^*^

Ikuti terus kisah sebelum dan sesudahnya kerjadian ini. Seru menegangkan, bikin panas dingin dan tak tentu saja tidak akan mudah ditebak alur dan endingnya.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 7 Didatangi Ayahnya Rizky   Hari ini09:28
img
1 Bab 1 Terbuka Tabir
08/05/2025
2 Bab 2 Suami Ideal
08/05/2025
3 Bab 3 Calon Preman
08/05/2025
4 Bab 4 Malam Kelam
08/05/2025
5 Bab 5 Malam Panas
08/05/2025
6 Bab 6 Preman Tanggung
08/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY