Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Surga Terlarang Sang Dokter
Surga Terlarang Sang Dokter

Surga Terlarang Sang Dokter

5.0
5 Bab
30 Penayangan
Baca Sekarang

Di balik stetoskop yang dingin, berdenyut hasrat yang membakar. Dr. Aldi, terhormat di mata masyarakat, terperangkap dalam rutinitas ranjang yang membosankan. Ketika pintu Club Elysium terbuka, surga terlarang dengan janji dosa dan kenikmatan tak terduga memanggil. Akankah ia melepaskan jubah dokternya dan menyerah pada bisikan nafsu yang selama ini terpendam?

Konten

Bab 1 Dentuman Hasrat di Balik Pintu Rahasia

Dentuman musik house yang brutal menampar gendang telinga Aldi, mengguncang setiap serat tubuhnya hingga ke tulang sumsum. Ini bukan dentuman yang membangkitkan semangat kerja atau gairah pada Sarah, istrinya yang sempurna di mata dunia. Bukan pula melodi yang mengiringi tawa renyah di antara tumpukan buku medis atau diskusi kasus pasien yang kompleks. Ini adalah denyutan dasar, ritme primal dari hasrat terlarang yang sudah lama ia pendam dalam sudut paling gelap di jiwanya, kini meledak di tengah hiruk-pikuk Club Elysium.

Lampu sorot berwarna merah dan ungu yang menari-nari bagai ilusi, memandikan lantai dansa dengan cahaya temaram yang sensual. Cahaya itu menyoroti siluet-siluet bergesekan, tubuh-tubuh yang melebur dalam irama hipnotis dan uap alkohol yang pekat, menciptakan sebuah kanvas gairah yang hidup, tanpa batas, tanpa aturan.

Aldi menyesap whiskey di tangannya, cairan amber itu membakar tenggorokannya, namun sensasi terbakar itu jauh lebih menyenangkan dibanding rasa hampa yang selama ini melingkupinya. Tenggorokan yang panas ini adalah sensasi nyata, berbeda dengan kekosongan pahit yang ia rasakan setiap kali memaksakan senyum di hadapan Sarah. Matanya tajam memindai sekeliling, bergerak dari satu sosok ke sosok lain, dari satu adegan ke adegan lain, dengan kecepatan seorang ahli bedah yang mencari anomali. Ia bukan sekadar mengamati; ia mencari. Mencari celah, mencari jawaban, mencari percikan api yang telah lama padam dalam hidupnya. Ia melihat wanita-wanita dengan gaun minim yang nyaris tak menutupi apa pun, garis-garis tubuh yang menggoda terekspos tanpa malu, menari dengan gerakan sensual yang begitu terbuka. Ada pria-pria dengan sorot mata lapar yang sama sepertinya, tatapan yang mengkhianati sebuah dahaga yang tak terpuaskan. Dan ada pula pasangan-pasangan yang saling merangkul mesra, bibir mereka mungkin bersentuhan, namun tatapan mereka seringkali teralih, mencari 'mangsa' lain di keramaian, mencari sensasi yang lebih baru, lebih mendebarkan. Ada aura kebebasan yang menguar dari setiap sudut klub ini, aroma dosa dan janji-janji terlarang yang begitu memikat, memanggilnya untuk menyelam lebih dalam. Inilah dunia yang selama ini hanya ia jelajahi lewat layar gawai, yang memberinya denyutan aneh di tengah kejenuhan rumah tangganya dengan Sarah, sebuah denyutan yang semakin lama semakin sulit ia abaikan.

Pernikahannya dengan Sarah, dokter yang juga sejawatnya di rumah sakit, adalah lambang kesempurnaan di mata banyak orang. Mereka bertemu di bangku kuliah kedokteran, jatuh cinta di antara tumpukan buku anatomi yang berbau antiseptik dan kafein, dan menikah dengan janji setia yang mereka ucapkan di hadapan keluarga dan Tuhan, dengan harapan dan impian yang membumbung tinggi. Namun, janji itu kini terasa berat, bahkan menyesakkan. Ia tak ubahnya rantai tak kasat mata yang menyeret mereka ke dalam kubangan rutinitas yang membosankan. Hari-hari mereka dipenuhi jadwal operasi, kunjungan pasien, konferensi medis, dan tugas-tugas rumah tangga yang monoton. Cinta yang dulu membara kini terasa seperti bara yang hampir padam, diselimuti abu kewajiban. Seks? Lebih mirip prosedur medis yang sudah ia hafal di luar kepala-efektif dalam fungsinya biologis, tapi tanpa kejutan, tanpa percikan gairah yang membakar jiwanya, tanpa desahan spontan yang memekakkan telinga. Ia sering merasa tak berguna, tak bisa memuaskan Sarah yang pasif, yang desahannya terdengar seperti hembusan napas lelah dari seseorang yang sedang mencoba menuntaskan kewajiban semata, bukan ledakan kenikmatan. Yang lebih parah, ia tak bisa lagi merasakan gairah untuk dirinya sendiri. Hampa. Sebuah kekosongan yang menganga di dalam dirinya, di tengah segala pencapaian dan kesuksesan yang mereka raih bersama sebagai pasangan dokter ideal.

Namun di sini, di Elysium, di antara dentuman musik yang memekakkan dan bisikan-bisikan nakal yang tak kasat mata, Aldi merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kedutan halus di bawah sana, gairah yang ia kira sudah mati kini berkedut, bangkit dari kuburnya, menuntut untuk dilepaskan dengan kekuatan penuh. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan imajinasi liarnya melayang tanpa batas, berlayar di samudra kemungkinan yang tak pernah ia bayangkan akan ia jelajahi. Bayangan Sarah dengan pria lain, dan dirinya dengan wanita lain, melintas begitu saja dalam benaknya, tanpa memicu rasa cemburu sedikit pun. Justru sebaliknya, bayangan itu membangkitkan gelombang gairah yang aneh, tabu, namun begitu memabukkan hingga membuat kepalanya pening, membuatnya ingin lebih. Ia tahu, ide tukar pasangan ini gila, bejat, dan bertentangan dengan semua nilai yang ia dan Sarah junjung tinggi sebagai dokter terpandang, sebagai orang yang memiliki reputasi dan harga diri. Tapi, di sinilah ia sekarang. Di sinilah api yang ia cari-cari akhirnya tersulut kembali, memanaskan darah di sekujur tubuhnya, membakar setiap selnya. Dan ia tahu pasti, ia menginginkan lebih dari sekadar mengamati. Ia ingin menjadi bagian dari dunia ini, untuk merasakan setiap sensasi yang selama ini hanya ia impikan, untuk mengisi kekosongan yang telah lama ia rasakan.

Aldi melangkah lebih dalam, kakinya seolah bergerak sendiri, tanpa kendali dari otaknya. Tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan irama musik yang memabukkan, jiwanya merespon bisikan-bisikan gairah yang mengelilinginya, seolah ada panggilan purba yang harus ia penuhi. Ia siap. Siap untuk menyelam lebih dalam ke dunia terlarang ini.

Pandangan Aldi tersangkut pada sebuah ruang kaca transparan di tengah ruangan, yang memancarkan aura panggung utama, menarik perhatian setiap mata di sekitarnya. Di dalamnya, siluet dua tubuh bergelut, jelas terlihat bahkan dari jarak ini, mengundang rasa penasaran yang tak terbendung, sebuah pertunjukan privat yang disajikan untuk umum. Sebuah dorongan tak terbendung menariknya mendekat, seolah ada magnet tak kasat mata yang menariknya ke sana, sebuah gravitasi yang tak bisa ia lawan. Jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin lebih kuat dari saat ia menghadapi kasus darurat di UGD, lebih kencang dari detak jarum monitor pasien kritis yang nyaris berhenti berdetak.

Di balik kaca itu, terpampanglah adegan yang tak pernah ia sangka akan saksikan secara langsung, begitu mentah, begitu eksplisit, dan tanpa filter. Seorang pria paruh baya yang berotot, dengan aura kekuasaan yang terpancar dari setiap geraknya, sedang menindih seorang wanita muda nan cantik. Keduanya telanjang bulat, tubuh mereka berpeluh, berkilau di bawah sorotan lampu, memancarkan gairah yang begitu murni dan tak terkendali. Sang pria terlihat perkasa, mendorong masuk ke dalam tubuh sang wanita yang mendesah nikmat, punggungnya melengkung dramatis, rambutnya tergerai acak-acakan di lantai kaca, menambah kesan liar pada pemandangan itu, seolah mereka adalah hewan buas yang sedang kawin. Wanita itu memekikkan nama pasangannya, "Edward! Edward!" suaranya serak karena kenikmatan yang meluap-luap, matanya terpejam dalam ekstase yang begitu dalam hingga ia tampak seperti disengat listrik. Aldi merasakan gairah yang sudah lama mati, kini bangkit dengan kekuatan penuh, memanas, mengalir deras hingga ke ujung jarinya, membakar setiap inci kulitnya. Ia tak bisa mengalihkan pandangan, terpaku pada pemandangan yang begitu eksplisit di hadapannya, seolah tersihir, terhipnotis oleh pemandangan di balik kaca itu.

Tiba-tiba, sebuah suara tenang namun penuh wibawa memecah konsentrasinya, menyentakkannya kembali ke realitas, seolah ia baru saja terbangun dari mimpi. "Menarik, bukan?" Sebuah suara yang dalam, datar, tapi sarat makna, mengisyaratkan sebuah rahasia yang tak terucapkan, sebuah undangan. Aldi menoleh cepat. Di sampingnya, berdiri seorang pria berjas rapi, kain jasnya mahal dan jatuh sempurna di tubuhnya, memperlihatkan kekayaan dan statusnya. Rambut keperakan yang tersisir apik dan senyum tipis di bibirnya, memberikan kesan misterius namun ramah. Aura kekuasaan yang kuat menguar darinya, begitu mendominasi, seperti seorang raja di kerajaannya sendiri, mengendalikan setiap aspek. Pria itu menatap lurus ke arah ruang kaca, tanpa sedikit pun rasa canggung atau malu, seolah apa yang terjadi di dalamnya adalah hal paling biasa di dunia. "Dia istriku," lanjutnya, dengan nada yang begitu santai, seolah sedang memperkenalkan anggota keluarga di sebuah pesta biasa. "Dan dia sangat menyukainya." Pria itu tak lain adalah Tuan Edward, pemilik sekaligus CEO Club Elysium yang legendaris itu, seorang pria yang memegang kendali penuh atas dunia ini, dan sepertinya, juga atas hasrat orang lain.

Aldi menelan ludah. Tenggorokannya terasa kelu, napasnya tertahan di paru-paru, seperti ia menahan diri dari sebuah ledakan. Bertemu langsung dengan pemilik klub, apalagi dalam situasi seperti ini, sungguh di luar dugaan. Sebuah keberanian yang gila, sebuah tawaran yang tak bisa dipercaya. Tuan Edward, dengan senyumnya yang misterius, kembali menatap Aldi. "Kamu terlihat tertarik," katanya, nada suaranya berubah menjadi lebih mengundang, lebih personal, seolah ia bisa membaca pikiran terdalam Aldi. "Mau mencoba sensasinya? Istriku cukup... terbuka. Dia tidak keberatan berbagi gairahnya."

Sebuah tawaran yang gila, terlalu tak terduga, dan sangat memprovokasi. Tenggorokan Aldi tercekat, napasnya tertahan. Ini adalah kesempatan emas yang selama ini ia cari, kesempatan untuk merasakan sensasi baru, namun terjadi begitu cepat, begitu langsung, tanpa ada waktu untuk berpikir dua kali. Rasanya seperti sebuah tantangan yang tak bisa ia tolak, sebuah undangan menuju jurang kenikmatan yang mematikan. Ia melihat ke arah Vivian, sang istri CEO, yang kini telah menyadari kehadiran mereka. Wanita itu menoleh, matanya yang indah berkilat nakal, bibirnya melengkung membentuk senyum menggoda, seolah memberikan isyarat agar Aldi mendekat, sebuah undangan visual yang tak terbantahkan, sebuah janji kenikmatan.

Aldi merasakan gairah yang membakar di dalam dirinya, lebih panas dari yang pernah ia rasakan dalam tahun-tahun pernikahannya yang hambar. Ia memantapkan hati, sebuah tekad bulat membakar setiap sel tubuhnya, mengusir keraguan yang tersisa. Tubuhnya gemetar, tapi bukan karena takut, melainkan karena antisipasi yang meluap-luap, sensasi yang begitu kuat. Tanpa ragu, ia melangkah maju, membuka pintu ruang kaca, dan masuk ke dalam. Suara dentuman musik seolah menghilang, meredup menjadi bisikan jauh, hanya menyisakan detak jantungnya yang bergemuruh dan bisikan hasrat yang memanggil, mengisi seluruh alam bawah sadarnya. Ia telah melewati ambang batas yang tak pernah ia bayangkan akan ia langkahi. Dan ia tahu, malam ini akan mengubah segalanya, hidupnya tak akan pernah sama lagi.

Vivian, sang istri CEO, langsung menyambut Aldi dengan senyum lebar, kedua tangannya terangkat mengalungi leher Aldi dengan gerakan yang begitu alami, seolah mereka sudah saling mengenal lama, seperti sepasang kekasih yang bertemu kembali. Tubuhnya yang telanjang dan basah oleh keringat langsung menempel erat, memindahkan panas gairah yang membara dari dirinya ke tubuh Aldi. Sebuah ciuman panas dan memabukkan langsung mendarat di bibir Aldi. Lidahnya yang lincah menelusup, menghisap, menarik Aldi ke dalam pusaran gairah yang intens, begitu kuat hingga membuatnya pening dan kehilangan kesadaran akan sekitarnya. Aldi merasakan tubuhnya bergidik, seperti tersengat listrik, aliran energi mengalir dari kepala hingga ujung kakinya, membangkitkan setiap saraf. Ini adalah sensasi yang sudah lama ia rindukan, sentuhan yang hidup, yang membakar seluruh indranya, yang membangunkan jiwanya yang mati rasa. Ia membalas ciuman itu dengan tak kalah bergairah, tangannya merangkul erat pinggang ramping Vivian, menariknya lebih dekat hingga tak ada celah di antara mereka, seolah ingin menyatu, menjadi satu kesatuan dalam kenikmatan.

Vivian mendesah dalam ciuman mereka, suaranya serak dan sensual, sebuah melodi gairah yang memekakkan. Tubuhnya bergeser, menggesekkan diri pada Aldi, menimbulkan gesekan kulit yang begitu intim dan memancing. Aroma keringat gairah bercampur parfum mahal Vivian memabukkan, memenuhi paru-paru Aldi, membuatnya sesak napas, seolah ia tenggelam dalam lautan hasrat. Ia merasakan ereksinya menekan paha Vivian, keras dan siap, sebuah penanda kebangkitan hasratnya yang tak tertahankan. Aldi mulai mencumbui Vivian lebih dalam, bibirnya menjelajahi leher jenjang Vivian, menghisap lembut, meninggalkan jejak-jejak gairah yang kemerahan. Tangannya tak tinggal diam, ia menjelajahi setiap lekuk tubuhnya yang mulus, dari punggung hingga bokong yang padat, lalu turun ke paha bagian dalam yang lembut. Kulit Vivian terasa sehalus sutra, dan setiap sentuhannya memicu gelombang kenikmatan, membuat Vivian menggeliat tak sabar, tak mampu menahan hasratnya. Vivian memekik pelan, mendesah nikmat, mendorong tubuhnya ke Aldi, seolah meminta lebih, meminta untuk merasakan setiap inci hasrat Aldi, setiap sentuhan. Ia menarik wajahnya dari ciuman, mendongak, matanya setengah terpejam, bibirnya sedikit terbuka, memamerkan giginya yang putih, "Lebih... lebih dalam," bisiknya, suaranya parau karena gairah yang tak tertahankan, sebuah perintah yang tidak bisa ditolak.

Aldi tak perlu diperintah dua kali. Ia membenamkan wajahnya di leher Vivian, menghirup aroma tubuhnya yang begitu sensual, lalu bergerak turun ke dadanya. Bibirnya menghisap puting Vivian yang mengeras, menariknya lembut hingga Vivian melenguh, melengkungkan punggungnya, mempersembahkan dirinya sepenuhnya kepada Aldi. Tangan Aldi tak tinggal diam, ia membelai perut rata Vivian, lalu merayap turun lagi ke bawah, ke celah pahanya yang basah dan mengundang. Ia merasakan kebasahan yang melimpah di sana, mengisyaratkan betapa siapnya Vivian untuk menerima, betapa ia menginginkan sentuhan Aldi. Jari-jarinya bermain di bibir kemaluan Vivian, membelai klitorisnya yang membengkak dan berdenyut, dan Vivian kembali memekik, tubuhnya menegang, menggeliat di pelukan Aldi, seperti cacing kepanasan yang mencari pembebasan.

Selama ini, seks dengan Sarah terasa seperti rutinitas yang terencana, tanpa kejutan, tanpa ledakan emosi yang menggebu. Sebuah kewajiban yang dituntaskan, bukan dinikmati. Tapi dengan Vivian, semuanya terasa mentah, liar, dan tak terkendali. Ia merasakan seluruh indranya hidup kembali, seperti ada aliran listrik yang mengalir deras di dalam dirinya, membangunkan setiap sel yang mati rasa, setiap syaraf yang tertidur pulas. Ia menatap Vivian, yang kini memejamkan mata sepenuhnya, menikmati setiap sentuhan Aldi, setiap gerakan yang memicu gairahnya. Wajahnya yang damai dalam kenikmatan itu membuat Aldi semakin bersemangat.

Di sudut ruang kaca, Tuan Edward hanya berdiri, mengawasi dengan senyum puas, bibirnya sedikit melengkung, seolah menikmati setiap momen yang terjadi, setiap desahan yang keluar dari bibir istrinya. Ia sesekali mengangguk, seolah memberi persetujuan tanpa kata, membiarkan Aldi dan Vivian tenggelam dalam sensasi, larut dalam gairah yang mereka ciptakan bersama. Kehadirannya tidak mengganggu, justru menambah intensitas dan sensasi tabu, sebuah pengakuan bahwa ini adalah bagian dari "permainan" mereka, sebuah aturan yang mereka ciptakan sendiri. Aldi merasakan tatapan Tuan Edward, namun itu tidak membuatnya canggung atau malu. Justru sebaliknya, ia merasa semakin berani, semakin terdorong untuk memberikan yang terbaik, untuk membuktikan dirinya di hadapan sang CEO, untuk menjadi bagian dari dunia mereka yang terlarang.

Gairah di antara Aldi dan Vivian memuncak. Desahan Vivian semakin keras, mengiringi setiap gerakan tangan Aldi, setiap sentuhan bibirnya. Aldi merasakan ereksinya berdenyut-denyut tak tertahankan, siap untuk meledak, siap untuk menumpahkan semua yang ia rasakan. Ia mengangkat tubuh Vivian, memanggulnya dengan mudah, lalu Vivian melingkarkan kakinya di pinggang Aldi, erat, seolah tak ingin lepas. Tanpa menunggu aba-aba, Aldi membenamkan ereksinya yang membara ke dalam lubang Vivian. Vivian memekik, tubuhnya menegang, merasakan sensasi penuh yang sudah ia nantikan, sebuah penutup dari segala gejolak yang mereka ciptakan. Aldi mulai mendorong, ritmis dan dalam, setiap dorongan adalah sebuah ledakan kenikmatan, sebuah pembebasan dari kejenuhan yang selama ini membelenggunya. Vivian merintih, menjeritkan nama Aldi, tubuhnya bergetar hebat, mencapai puncak yang tak terkira. Mereka bergerak dalam satu kesatuan, seperti dua jiwa yang haus akan pemenuhan, mencari satu sama lain di tengah kegilaan. Vivian memekik kencang, tubuhnya menegang hebat, mencapai klimaks yang dahsyat, ledakan kenikmatan yang memenuhi ruang kaca, bergema di telinga Aldi. Aldi pun ikut meledak, menumpahkan segala hasratnya, merasakan gelombang kenikmatan yang luar biasa, membanjiri seluruh dirinya, membuatnya nyaris pingsan dalam euforia. Ia menunduk, mencium kening Vivian yang basah oleh keringat, lalu membenamkan wajahnya di rambut Vivian, membiarkan napas mereka saling berkejaran, mengatur detak jantung yang masih bergemuruh hebat.

Setelah ledakan gairah itu, tubuh mereka terasa lemas namun puas. Tuan Edward, dengan senyum tipisnya yang tak pernah pudar, menghampiri mereka. "Mari kita bersihkan diri," katanya datar, namun dengan nada yang mengundang, seolah mengakhiri satu babak dan memulai yang lain. Ia menunjuk ke arah sebuah kamar mandi mewah yang juga berdinding kaca, terlihat jelas dari luar, melanjutkan tema transparansi dan tanpa batas mereka. Tanpa banyak bicara, mereka bertiga melangkah masuk, telanjang bulat, di bawah pancuran air hangat yang langsung membasuh tubuh mereka, membersihkan keringat dan gairah yang menempel.

Air hangat mengalir membasuh keringat dan sisa-sisa gairah, namun sensasinya belum sepenuhnya hilang. Justru, di bawah guyuran air, gairah kembali menyala, kali ini dengan intensitas yang berbeda, lebih intim, lebih dekat, sebuah koneksi yang baru terjalin. Tuan Edward mulai mencumbui Vivian lagi, kali ini dari belakang, membelai punggung Vivian, lalu meliukkan tangannya ke depan, bermain dengan payudaranya. Vivian mendesah pelan, menikmati sentuhan suaminya, tanpa rasa canggung dengan kehadiran Aldi. Tuan Edward menoleh ke arah Aldi, memberi isyarat dengan matanya, sebuah undangan tanpa kata, seolah berkata, "Giliranmu."

Aldi paham. Ia mendekat, berdiri di samping Tuan Edward. Tangannya menjelajahi Vivian, membelai pahanya, lalu merayap naik, merasakan kebasahan Vivian yang masih terasa hangat dan mengundang. Tuan Edward memberikan sebuah dorongan lagi, sebuah isyarat untuk melanjutkan. Dan Aldi, tanpa ragu, membenamkan ereksinya yang kembali tegang ke dalam lubang Vivian, tepat di samping ereksi Tuan Edward. Sensasinya tak terlukiskan, gila, bejat, dan sangat memuaskan. Mereka berdua, dua pria, mengeksekusi lubang Vivian bersamaan, di bawah guyuran air, di hadapan mata Vivian yang memejam nikmat, merasakan sensasi ganda yang luar biasa yang belum pernah ia alami. Tubuh Vivian menegang, mendesah-desah, memekik pelan, merasakan sensasi ganda yang luar biasa, sebuah kenikmatan yang melebihi apa pun yang pernah ia rasakan, sebuah puncak yang belum pernah ia daki. Ini adalah batas baru yang ia lewati, sebuah pengalaman yang jauh melampaui fantasinya yang paling liar sekalipun. Mereka bertiga bergerak dalam harmoni gairah, hanya ada desahan, rintihan, dan gemericik air yang menjadi saksi bisu, sebuah orkestra kenikmatan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY