Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Dendam Seorang Adik
Dendam Seorang Adik

Dendam Seorang Adik

5.0

Amara menyaksikan kehancuran kakaknya, Danisa, yang memilih mengakhiri hidup setelah terjerat dalam intrik dan pengkhianatan keluarga suaminya. Rasa kehilangan yang mendalam dan dendam yang membara mendorong Amara untuk merancang balas dendam yang dingin dan terencana. Ia memutuskan untuk memasuki dunia kelam, menggunakan daya tariknya untuk merayu setiap anggota keluarga Pramudya, klan yang dianggapnya bertanggung jawab atas penderitaan Danisa. Targetnya adalah mantan mertua kakaknya, sang mantan suami yang berselingkuh, dan ipar yang turut serta menghancurkan mental Danisa. Amara bertekad menghancurkan nama baik dan kekayaan keluarga Pramudya, menjatuhkan mereka hingga ke titik terendah. Namun, dalam setiap langkahnya, pertanyaan muncul: Akankah misinya berhasil, atau justru ia terjebak dalam jalinan emosi dengan salah satu targetnya, mengubah arah balas dendamnya menjadi sesuatu yang tak terduga?

Konten

Bab 1 Aroma Racun

Amara tak akan pernah melupakan aroma itu. Aroma manis, memuakkan, seperti almond yang teroksidasi. Aroma yang memenuhi setiap celah rumah Danisa, merembes ke pori-pori kulitnya, membekas di ingatannya seperti tato neraka. Aroma sianida.

Tubuh Danisa tergeletak tak bernyawa di lantai marmer ruang tengah, dingin dan pucat, bibirnya membiru seperti buah beri busuk. Rambut panjangnya yang dulu selalu berkilau indah kini terurai acak, menutupi sebagian wajah damainya yang menyiratkan keputusasaan. Di sampingnya, sebuah gelas kosong terbalik, dan sebuah surat yang ditulis tangan dengan gemetar. Amara tak perlu membacanya untuk tahu isinya. Ia tahu Danisa tak mampu lagi menopang beban hidup yang begitu kejam.

Jeritan pilu Amara merobek kesunyian pagi itu. Bukan hanya jeritan kesedihan, melainkan juga kemarahan yang membakar. Kakaknya, Danisa. Danisa yang selalu menjadi panutan, lentera dalam kegelapan hidup mereka. Danisa yang selalu sabar, murah senyum, dan penuh kasih. Danisa yang rapuh, terlalu polos untuk bertahan di dunia yang penuh serigala berbulu domba.

Polisi datang. Ambulans datang. Rumah itu berubah menjadi TKP yang ramai, setiap sudutnya diselidiki, setiap benda menjadi bukti bisu. Amara duduk terpaku di sofa, matanya kosong menatap ke arah tubuh Danisa yang kini ditutupi kain putih. Ia tak merasakan dinginnya lantai, tak mendengar bisikan simpati tetangga, tak peduli pada tatapan prihatin petugas. Hanya ada satu hal yang bergema di benaknya: Pramudya.

Keluarga Pramudya. Nama itu bagaikan racun yang menjalar dalam darah Amara. Keluarga itu, dengan segala kemewahan dan kekuasaan mereka, telah menghancurkan Danisa sepotong demi sepotong. Pertama, putra sulung mereka, Reno Pramudya, mantan suami Danisa, yang terkenal dengan pesona licik dan mulut manisnya. Reno yang bersumpah setia, lalu menghancurkan hati Danisa dengan perselingkuhan yang terang-terangan. Kedua, sang mertua, Bram Pramudya, kepala keluarga Pramudya yang berwibawa namun dingin, yang selalu memandang rendah Danisa, menudingnya tak pantas untuk putranya. Dan yang terakhir, tapi tak kalah kejam, Vina Pramudya, adik Reno, yang gemar menyebarkan fitnah dan merendahkan Danisa di setiap kesempatan, menikmati penderitaan kakaknya dengan senyum sinis.

Danisa tak pernah bercerita banyak, tapi Amara tahu. Ia tahu bagaimana Danisa diperlakukan seperti pelayan di rumah itu, bagaimana setiap usahanya untuk diterima selalu berujung pada hinaan, bagaimana perselingkuhan Reno bukan hanya sekadar perselingkuhan, tapi sebuah pertunjukan yang sengaja dipertontonkan untuk mematahkan semangat Danisa. Danisa yang begitu mencintai Reno, yang begitu tulus mengabdikan dirinya pada keluarga itu, dihancurkan hingga ke tulang sumsumnya.

Setelah pemakaman, saat kerumunan telah bubar dan hanya Amara yang tersisa di sisi makam Danisa, hujan mulai turun, membasahi tanah merah yang masih baru. Amara berlutut, membiarkan tetesan hujan menyatu dengan air matanya yang tak lagi tertahankan.

"Maafkan aku, Kak," bisiknya serak, meninju tanah basah. "Maafkan aku yang tak bisa melindungimu. Maafkan aku yang tak melihat seberapa rapuhnya dirimu."

Sebuah bisikan lain muncul dari kedalaman jiwanya, lebih dingin dari hujan, lebih tajam dari pecahan kaca. Sebuah janji yang diucapkan pada angin dan tanah kuburan.

"Aku bersumpah, Kak. Mereka akan membayarnya. Semua dari mereka. Klan Pramudya akan berlutut. Aku akan membuat mereka merasakan neraka yang kau rasakan, bahkan lebih buruk lagi."

Amara berdiri, tatapannya kini bukan lagi kesedihan, melainkan bara api yang menyala. Ia bukan lagi Amara yang lembut, adik yang penurut. Ia adalah Amara yang baru, yang lahir dari abu keputusasaan kakaknya. Amara sang pembalas dendam.

Beberapa bulan berlalu. Amara menghilang dari kehidupan lamanya. Ia menjual rumah peninggalan orang tua mereka, menyisakan hanya kenangan pahit dan janji berdarah. Uang hasil penjualan digunakan untuk mendanai transformasinya. Ia bukan lagi gadis sederhana dengan pakaian kasual dan rambut yang selalu diikat ekor kuda.

Amara kini menjelma menjadi wanita yang memesona, dengan aura misterius yang menarik sekaligus berbahaya. Ia belajar seni merias wajah, membuat matanya terlihat lebih dalam dan tajam, bibirnya lebih penuh dan menggoda. Rambut panjangnya kini dibiarkan terurai, hitam legam, membingkai wajahnya yang tirus. Pakaiannya berubah drastis, dari busana kasual menjadi gaun-gaun elegan yang memamerkan lekuk tubuhnya tanpa terkesan murahan, namun tetap memancarkan kelas. Setiap langkahnya dipelajari, setiap gerakannya diatur, setiap senyumnya diperhitungkan.

Ia menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan, bukan untuk membaca novel romantis seperti dulu, melainkan untuk mempelajari tentang klan Pramudya. Struktur bisnis mereka, aset-aset mereka, jaringan sosial mereka, bahkan kelemahan-kelemahan tersembunyi yang tak banyak diketahui orang. Ia melahap setiap berita yang berkaitan dengan mereka, setiap gosip yang beredar di kalangan atas. Ia ingin mengenal musuhnya luar dalam, seperti seorang jenderal yang merencanakan strategi perang yang sempurna.

Target pertamanya adalah Bram Pramudya, kepala keluarga. Pria paruh baya yang terhormat di mata publik, namun di balik itu adalah seorang tiran yang egois dan kejam. Bram adalah pemegang kunci kekayaan Pramudya, dan tanpa kekayaan itu, mereka hanyalah cangkang kosong.

Amara mulai mendekati dunia Bram melalui jalur yang paling mungkin: galeri seni. Bram Pramudya dikenal sebagai kolektor seni ulung. Setiap bulan, ia akan muncul di pameran-pameran seni bergengsi, mencari karya baru untuk memperkaya koleksinya. Amara memanfaatkan kesempatan ini. Ia mengambil kursus singkat tentang apresiasi seni, mempelajari berbagai aliran dan seniman terkemuka. Ia belajar berbicara tentang seni dengan bahasa yang fasih, seolah ia adalah seorang ahli.

Suatu malam, di sebuah pameran seni eksklusif yang dihadiri para konglomerat ibu kota, Amara melangkah masuk dengan gaun sutra hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Matanya memancarkan ketegasan yang dingin, namun bibirnya tersenyum tipis, mengundang. Ia tahu Bram Pramudya akan ada di sana. Ia sudah mempelajari jadwalnya, kebiasaannya.

Amara bergerak di antara kerumunan, mengamati, mencari targetnya. Ia menemukannya di dekat sebuah lukisan abstrak modern, tangannya bersedekap, alisnya sedikit mengernyit seolah menilai. Bram Pramudya, dengan setelan jas mahal dan rambut beruban yang disisir rapi. Pria itu tampak angkuh dan tak tersentuh.

Amara mengambil napas dalam-dalam, menguatkan hati. Ini bukan lagi tentang kesedihan, bukan lagi tentang kemarahan yang membabi buta. Ini tentang permainan. Permainan yang harus ia menangkan, demi Danisa.

Ia mendekat perlahan, berpura-pura tertarik pada lukisan yang sama. Matanya menyapu lukisan itu, lalu melirik sekilas ke arah Bram.

"Menarik, bukan?" Amara berujar lembut, suaranya seperti bisikan musim gugur. "Karya ini memiliki energi yang kuat, namun sekaligus melankolis."

Bram Pramudya, yang terbiasa dengan pujian dan sanjungan kosong, sedikit terkejut dengan komentar Amara. Ia menoleh, menatap Amara dari atas ke bawah, menilai. Sebuah tatapan yang sering ia gunakan pada wanita-wanita yang mencoba mendekatinya. Namun Amara tak gentar. Ia membalas tatapan itu dengan senyum tipis yang tak mudah ditebak.

"Melankolis?" Bram mengernyit. "Saya melihat kekuatan yang tak terkekang. Agresi."

"Terkadang, agresi lahir dari melankolis yang terpendam, Tuan," sahut Amara, suaranya tetap tenang dan terkontrol. "Seperti sebuah gunung berapi yang meletus karena tekanan dari dalam."

Bram terdiam sejenak, sorot matanya sedikit berubah. Wanita di depannya ini berbeda. Ia tidak tersipu, tidak gugup, dan yang paling penting, ia memiliki pemikiran sendiri.

"Saya belum pernah melihat Anda sebelumnya di acara-acara seperti ini," kata Bram, nadanya lebih bernada tanya.

Amara tersenyum, "Saya lebih suka mengamati dari kejauhan, Tuan. Dunia seni itu luas, dan saya baru mulai menjelajahinya."

"Nama saya Bram Pramudya," Bram mengulurkan tangannya.

"Amara," jawab Amara, menyambut uluran tangan itu. Jabatannya mantap, percaya diri, tanpa ada keraguan sedikitpun. Kulitnya terasa dingin di tangan Bram.

Percakapan mengalir lancar setelahnya. Amara menunjukkan pengetahuannya tentang seniman, tentang sejarah seni, tentang pasar seni. Ia memancing Bram untuk bicara, membiarkan ego pria itu menguasai diri, sambil sesekali menyisipkan komentar cerdas yang membuat Bram tertarik. Amara tahu, pria seperti Bram suka diacungi jempol, suka merasa paling superior.

Malam itu, Amara berhasil mendapatkan kartu nama Bram Pramudya. Sebuah permulaan yang kecil, namun signifikan. Ia pulang dengan langkah ringan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Langkah pertama telah diambil.

Minggu-minggu berikutnya, Amara terus membangun jembatan ke dunia Bram Pramudya. Ia mengirimkan email sopan, membahas tentang pameran seni yang baru saja mereka kunjungi, menanyakan pendapat Bram tentang beberapa seniman lain. Balasan dari Bram awalnya singkat dan formal, namun Amara tak menyerah. Ia terus konsisten, elegan, dan menarik.

Ia juga mulai mencari tahu tentang kesukaan dan kebiasaan Bram. Ia tahu Bram suka minum kopi luwak dari merek tertentu, membaca koran bisnis di pagi hari, dan memiliki jadwal rutin untuk bermain golf di klub eksklusif. Amara bahkan sengaja bergabung dengan klub golf yang sama, meskipun ia sama sekali tidak pernah bermain golf sebelumnya. Ia menyewa seorang pelatih privat, berlatih keras setiap hari, hingga pukulannya menjadi cukup layak untuk tampil di lapangan.

Suatu pagi, Amara "tak sengaja" bertemu Bram di lapangan golf. Ia mengenakan pakaian golf yang modis, rambutnya diikat rapi, dan senyumnya cerah.

"Selamat pagi, Tuan Pramudya," sapanya, melambaikan tangan dari kejauhan.

Bram terkejut, namun dengan cepat memasang senyum ramah. "Nona Amara. Betapa kebetulan kita bertemu di sini."

"Saya rasa begitu," Amara terkekeh, pura-pura canggung. "Saya baru saja bergabung dengan klub ini. Masih dalam tahap belajar."

Kesempatan itu tak ia sia-siakan. Amara pura-pura meminta saran tentang pukulannya, membiarkan Bram memamerkan keahliannya. Ia memuji setiap pukulan Bram, mendengarkan setiap nasihatnya dengan seksama, dan sesekali melempar lelucon yang membuat Bram tertawa kecil. Sedikit demi sedikit, dinding yang dibangun Bram mulai runtuh.

Bram Pramudya, sang pria dingin yang selalu menjaga jarak, mulai menunjukkan sisi yang lebih santai di hadapan Amara. Ia mulai membalas email Amara dengan lebih panjang, sesekali mengundangnya untuk minum kopi setelah sesi golf, atau membahas tentang proyek seni yang sedang ia kerjakan. Amara tahu, Bram mulai tertarik. Bukan sebagai kekasih, setidaknya belum, tapi sebagai teman bicara yang cerdas dan menarik.

Inilah bagian dari rencana Amara. Bukan hanya merayu secara fisik, tapi juga secara mental. Ia harus menjadi seseorang yang tak bisa diabaikan Bram, seseorang yang keberadaannya mulai penting dalam rutinitas pria itu.

Namun, di balik setiap senyum dan pujian, Amara menyimpan bara api dendam yang tak pernah padam. Setiap kali Bram tertawa, Amara teringat tawa licik yang mungkin ia tunjukkan saat Danisa menderita. Setiap kali Bram memuji kecerdasannya, Amara teringat bagaimana Bram merendahkan Danisa.

Ia tidur dengan nyenyak setiap malam, bukan karena ketenangan, melainkan karena kepastian bahwa setiap langkahnya membawa ia lebih dekat pada kehancuran klan Pramudya. Ia membayangkan kehancuran mereka, membayangkan wajah-wajah terkejut dan putus asa mereka saat semua yang mereka miliki direnggut.

Danisa, kakakku. Tunggulah. Sebentar lagi.

Suatu malam, saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran mewah, Bram Pramudya tiba-tiba menatap Amara dengan tatapan yang lebih intens dari biasanya.

"Amara," Bram memulai, suaranya sedikit lebih lembut. "Kamu adalah wanita yang luar biasa. Cerdas, anggun, dan memiliki selera seni yang tinggi. Aku... aku merasa sangat nyaman bicara denganmu."

Amara membalas tatapan itu dengan senyum tipis, "Anda terlalu berlebihan, Tuan Pramudya."

"Tidak," Bram menggelengkan kepala. "Aku serius. Aku... merasa ada sesuatu yang istimewa padamu. Sesuatu yang berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah kutemui."

Jantung Amara berdetak kencang, bukan karena debaran cinta, melainkan karena kegembiraan. Perangkapnya mulai bekerja.

"Mungkin kita memiliki gelombang yang sama," Amara membalas, suaranya masih tenang. "Saya juga merasa nyaman berbicara dengan Anda, Tuan Pramudya."

"Panggil aku Bram saja," kata Bram, senyumnya kini lebih lebar.

"Baiklah, Bram," Amara mengangguk. "Kalau begitu, kau juga harus memanggilku Amara."

Malam itu, mereka minum anggur merah mahal, membahas tentang seni, bisnis, dan bahkan sedikit tentang kehidupan pribadi Bram yang sepi. Bram bercerita tentang ambisinya, tentang bagaimana ia membangun kerajaannya dari nol. Amara mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyisipkan pertanyaan yang tepat, membuat Bram merasa dipahami dan dihormati.

Ketika mereka berpisah, Bram mengantar Amara hingga ke pintu mobilnya. Di sana, di bawah rembulan, Bram meraih tangan Amara dan menggenggamnya erat.

"Amara," Bram menatapnya dalam. "Maukah kau menemaniku ke sebuah acara amal akhir pekan depan? Akan ada banyak kolektor seni dan pebisnis penting di sana."

Amara tersenyum, senyum yang mematikan. "Tentu saja, Bram. Dengan senang hati."

Ia tahu, ini adalah undangan untuk masuk lebih dalam ke lingkaran terdalam keluarga Pramudya. Ini adalah gerbang menuju kehancuran mereka.

Saat mobilnya melaju membelah jalanan kota yang sepi, Amara merasakan dinginnya angin malam membelai wajahnya. Ia memejamkan mata, dan wajah Danisa muncul dalam benaknya. Wajah yang dulu ceria, kini digantikan oleh bayangan pucat yang menyiratkan keputusasaan.

"Ini untukmu, Kak," bisiknya pelan, memegang erat stir kemudi. "Untuk setiap tetes air matamu, untuk setiap siksaan yang kau alami. Kalian akan membayar mahal."

Amara, sang pecatur, tak akan membiarkan ada satu bidak pun yang menghalangi jalan menuju skakmat.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 pembalasan yang setimpal   06-15 23:16
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY