Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kau Tak Menyadari Disaat Aku Pergi
Kau Tak Menyadari Disaat Aku Pergi

Kau Tak Menyadari Disaat Aku Pergi

5.0

Bianca adalah istri yang penuh cinta, manja, genit, dan selalu membuat Adrian merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Tapi segalanya berubah ketika sebuah pesan misterius tiba, membawa bukti pengkhianatan yang tak terbantahkan. Ia memilih membalas dengan dingin. Tanpa konfrontasi. Tanpa peringatan. Meninggalkan Adrian dalam kebingungan... sampai akhirnya pria itu menyadari, kehilangan cinta perlahan-lahan jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan segalanya sekaligus. Bianca tidak memilih berteriak atau menangis. Ia memilih diam.

Konten

Bab 1 Retakan Pertama

Bianca melangkah ke dapur, senyum kecil terukir di bibirnya. Aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang renyah menyambutnya, bau khas setiap pagi di rumah mereka. Adrian sudah duduk di meja, membaca berita di tabletnya, rambutnya sedikit acak-acakan-gaya yang selalu Bianca suka. Matahari pagi menembus jendela, membanjiri ruang makan dengan cahaya keemasan, membuat suasana terasa begitu damai, begitu sempurna.

"Pagi, Sayang," sapanya, suaranya sedikit serak karena baru bangun. Ia menghampiri Adrian, membungkuk dan mengecup puncak kepalanya, lalu mendaratkan ciuman ringan di pipinya. Kulit Adrian terasa hangat di bawah bibirnya.

Adrian meletakkan tabletnya, mendongak dengan senyum lebar yang selalu membuat hati Bianca berdesir. "Pagi, Bintangku," balasnya, julukan yang ia berikan pada Bianca bertahun-tahun yang lalu, mengacu pada caranya mencerahkan hidup Adrian. Ia meraih tangan Bianca dan menggenggamnya erat. "Tidur nyenyak?"

Bianca mengangguk, mengusap punggung tangan Adrian dengan ibu jarinya. "Seperti bayi. Kamu?"

"Sempurna, sekarang kamu di sini." Adrian menariknya lebih dekat, mengisyaratkan Bianca untuk duduk di pangkuannya. Bianca menurut, melingkarkan lengannya di leher Adrian, merasakan detak jantungnya yang stabil di dadanya. Sebuah kebiasaan kecil yang manis, warisan dari awal hubungan mereka, saat mereka masih sepasang kekasih yang tak terpisahkan.

Mereka berbicara tentang rencana hari itu. Adrian sibuk dengan proyek baru di kantornya, sebuah perusahaan arsitektur ternama, sementara Bianca memiliki beberapa janji temu dengan klien untuk butik bunga daringnya. Bianca sangat mencintai pekerjaannya, menciptakan keindahan dari kelopak bunga dan dedaunan, membawa senyum kepada orang lain di hari-hari spesial mereka. Adrian selalu menjadi pendukung terbesatnya, yang pertama kali mendorongnya untuk mengubah hobinya menjadi bisnis.

"Jangan terlalu lelah, ya," kata Bianca, melepaskan diri dari pangkuan Adrian untuk menyiapkan sarapan mereka. "Ingat, proyek besar bukan berarti harus mengorbankan kesehatan."

Adrian tertawa. "Siap, Bos. Kamu juga. Jangan sampai lupa makan siang karena sibuk merangkai bunga."

Mereka sarapan dengan obrolan ringan, sesekali diselingi tawa. Bianca mengamati Adrian, bagaimana matanya berbinar saat berbicara tentang desain, bagaimana ia mengernyitkan keningnya sedikit saat memikirkan solusi, bagaimana tangannya yang kuat dan terampil memegang cangkir kopi. Ia merasa gelombang kehangatan menjalar di dadanya. Lima tahun pernikahan, dan ia masih merasa seperti seorang gadis muda yang baru jatuh cinta. Adrian adalah dunianya, jangkar dalam hidupnya, dan ia tidak bisa membayangkan hidup tanpanya.

Siang harinya, Bianca sedang sibuk di studio kecilnya di rumah, dikelilingi oleh wangi mawar, lili, dan eukaliptus. Ia sedang mengerjakan pesanan karangan bunga pernikahan, setiap kelopak dipilih dengan hati-hati, setiap tangkai diposisikan dengan presisi. Ponselnya berdering, sebuah notifikasi pesan. Biasanya ia akan mengabaikannya saat sedang fokus, tapi entah mengapa, hari itu ia merasa dorongan aneh untuk melihatnya.

Itu adalah pesan dari nomor tak dikenal. Bianca mengerutkan kening. Mungkin itu pengantar bunga atau salah satu pemasoknya. Ia membuka pesan itu, dan seketika, jantungnya mencelos.

Bukan teks. Itu adalah gambar.

Gambar itu menunjukkan Adrian. Jelas Adrian. Wajahnya, senyumnya yang familiar, meskipun sedikit... berbeda. Lebih santai, lebih intim dari yang biasa Bianca lihat di hadapan umum. Dan di sampingnya, seorang wanita. Rambutnya pirang cerah, punggungnya sedikit terbuka, lengan wanita itu melingkar di pinggang Adrian. Mereka duduk di sebuah kafe outdoor yang tidak dikenali Bianca, cangkir kopi mengepul di meja. Itu terlihat seperti foto candid, mungkin diambil dari kejauhan, tapi tidak ada keraguan sedikit pun bahwa itu adalah Adrian dan wanita itu sangat dekat, terlalu dekat untuk sekadar teman.

Pesan itu disertai teks singkat: "Suamimu. Kebahagiaanmu, atau miliknya?"

Napas Bianca tercekat. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa dingin, meskipun studio itu hangat. Aroma bunga yang sebelumnya menyenangkan kini terasa menyesakkan. Tangannya bergetar, menjatuhkan tangkai lili yang sedang dipegangnya. Lili itu jatuh ke lantai, kelopaknya yang putih bersih sedikit lecek, kontras dengan lantai kayu.

Tidak. Ini pasti salah paham. Ini tidak mungkin. Adrian tidak akan pernah-

Tapi gambar itu begitu jelas. Detail kecil pada kemeja Adrian, jam tangan yang ia kenakan, bahkan cara rambutnya jatuh di dahi-semuanya sangat akurat. Dan senyum wanita itu, tawa samar yang terlihat di wajahnya, menunjukkan kedekatan yang membuat perut Bianca mual.

Pesan kedua menyusul. Kali ini, sebuah video pendek. Durasi hanya beberapa detik, diambil dari sudut yang sama, menunjukkan Adrian dan wanita itu tertawa. Adrian meraih tangan wanita itu, meremasnya lembut, dan kemudian mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. Gestur yang sama persis dengan yang Adrian lakukan pada Bianca pagi itu. Gestur yang Bianca pikir hanya miliknya.

Video itu tidak memiliki suara, tapi Bianca bisa merasakan gema tawa mereka memenuhi ruang kepalanya, mengoyak keheningan. Ia merasa pening, seolah-olah dunia di sekelilingnya berputar. Ia mencengkeram ponselnya erat-erat, buku-buku jarinya memutih.

Pengkhianatan. Kata itu berputar-putar di benaknya, sebuah bayangan hitam yang menutupi semua cahaya. Adrian, suaminya, belahan jiwanya. Mengapa? Bagaimana?

Ia berusaha mencari alasan. Mungkin itu rekan kerja? Mungkin itu hanya pertemuan bisnis? Tapi gestur-gestur intim itu, tawa yang lepas itu, sentuhan di tangan-itu bukan perilaku profesional. Dan pesan anonim itu... itu adalah pukulan telak yang disengaja.

Air mata mulai menggenang di mata Bianca, tapi ia tidak membiarkannya jatuh. Ada sesuatu yang lebih kuat dari kesedihan yang mulai mendidih di dalam dirinya: kemarahan. Kemarahan dingin yang membakar, membekukan semua emosi lainnya. Bagaimana Adrian bisa melakukan ini padanya? Pada mereka? Setelah semua janji, semua cinta, semua kepercayaan?

Ia teringat semua momen yang mereka bagi. Malam-malam yang dihabiskan berpelukan di sofa, mimpi-mimpi yang mereka bangun bersama, candaan-candaan kecil yang hanya mereka berdua pahami. Adrian adalah fondasinya. Jika fondasi itu retak, maka seluruh bangunan akan runtuh.

Ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan lagi. Kali ini, sebuah alamat dan tanggal.

"Minggu depan, pukul 7 malam. Kita bisa bertemu di sana."

Bianca menatap alamat itu. Itu adalah sebuah restoran mewah di pusat kota, tempat yang Adrian pernah sebutkan ingin mereka kunjungi suatu hari nanti. Restoran yang sangat eksklusif, sulit mendapatkan reservasi. Apakah ini... apakah ini kencan Adrian dengan wanita itu? Atau apakah ini jebakan?

Ia tidak tahu. Pikirannya kalut, seolah-olah ribuan pecahan kaca beterbangan di dalam kepalanya. Rasa sakit yang tajam menusuk dadanya. Seolah-olah sebuah bagian dari dirinya telah mati.

Sore itu, Adrian pulang ke rumah seperti biasa, senyum cerah di wajahnya, aura kelelahan yang menyenangkan setelah seharian bekerja. Ia melemparkan tas kerjanya ke sofa, melonggarkan dasinya, dan mencari Bianca.

"Sayang, aku pulang!" serunya, suaranya memenuhi rumah.

Bianca sudah menunggu di dapur, pura-pura sibuk menyiapkan makan malam. Ia telah menghapus semua jejak air mata, mengumpulkan sisa-sisa dirinya yang hancur, dan memasang topeng. Topeng yang sempurna.

"Hai," jawabnya, mencoba agar suaranya terdengar normal. Ia berbalik, tersenyum padanya, senyum yang terasa seperti topeng di wajahnya.

Adrian menghampirinya, memeluknya dari belakang, dagunya bersandar di bahu Bianca. "Harimu bagaimana?" bisiknya, mencium aroma rambut Bianca.

Bianca menegang sesaat. Aroma Adrian, sentuhannya, yang biasanya begitu menenangkan, kini terasa asing, bahkan menjijikkan. Sebuah kebohongan besar menyelimuti mereka.

"Baik," jawab Bianca singkat, mencoba melepaskan diri dengan halus. "Aku sibuk dengan pesanan karangan bunga. Kamu?"

Adrian tidak melepaskannya. "Cukup melelahkan, tapi berhasil. Ada kemajuan besar di proyek Klien Jaya."

Bianca mengangguk, tidak berani menatap matanya. Ia takut Adrian akan melihat bayangan kekecewaan dan kemarahan yang membara di matanya. Ia takut topengnya akan runtuh.

"Oh ya, Sayang," Adrian melanjutkan, suaranya riang. "Aku berhasil mendapatkan reservasi di Restoran Serenity minggu depan. Ingat yang kita bicarakan? Untuk merayakan proyek ini."

Jantung Bianca berhenti berdetak. Restoran Serenity. Alamat yang sama. Tanggal yang sama.

Jadi, Adrianlah yang membuat reservasi itu. Untuk mereka berdua. Dan juga... untuk wanita itu? Otaknya berputar, mencoba menyatukan kepingan-kepingan informasi. Apakah ini semacam kencan ganda yang Adrian rencanakan tanpa sepengetahuannya? Atau apakah Adrian memiliki dua reservasi di tempat yang sama, pada waktu yang sama? Keduanya terdengar absurd, tapi tidak ada yang masuk akal sekarang.

Rasa mual kembali menyerang Bianca. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Oh, benarkah? Itu bagus," katanya, mencoba terdengar antusias. "Kapan?"

"Rabu depan, pukul 7 malam," jawab Adrian, akhirnya melepaskan pelukannya dan berjalan ke lemari es untuk mengambil minuman. "Aku tahu kamu sudah lama ingin ke sana."

Bianca memaksakan senyum, yang terasa begitu dingin di wajahnya. Adrian tidak menyadarinya. Ia terlalu sibuk dengan kegembiraannya sendiri. Atau mungkin ia hanya terlalu pandai menyembunyikan sesuatu.

"Ya, aku sangat antusias," kata Bianca, suaranya nyaris berbisik.

Makan malam itu terasa seperti teater. Bianca memainkan peran istri yang penuh kasih, mendengarkan cerita Adrian tentang hari kerjanya, sesekali tertawa di tempat yang tepat, bahkan memberikan masukan yang cerdas. Namun di dalam dirinya, badai bergejolak. Setiap senyum Adrian terasa seperti tusukan, setiap sentuhannya terasa seperti pengkhianatan. Ia merasa kotor, seolah-olah kebohongan Adrian telah mencemarinya juga.

Setelah Adrian tertidur lelap, Bianca menyelinap keluar dari kamar. Ia duduk di ruang tamu yang gelap, memandangi foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Adrian memeluknya erat, senyumnya begitu tulus, matanya penuh cinta. Apakah itu semua hanya kebohongan? Apakah ia selama ini buta?

Ia mengeluarkan ponselnya lagi. Membuka galeri dan menatap foto dan video itu berulang kali. Tidak ada keraguan. Itu adalah Adrian. Dan sentuhan itu... sentuhan yang Bianca kira hanya miliknya.

Keesokan harinya, Bianca tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Pikirannya terus-menerus kembali pada gambar-gambar itu, pada pesan-pesan anonim itu. Siapa pengirimnya? Mengapa mereka mengirimkannya padanya? Dan bagaimana mereka mendapatkan informasi tentang Adrian?

Ia merasakan dorongan kuat untuk mengonfrontasi Adrian. Untuk menamparnya dengan foto-foto itu, untuk menuntut penjelasan, untuk berteriak sampai pita suaranya putus. Tapi sesuatu menahannya. Suatu insting yang lebih dalam, lebih dingin.

Apa gunanya berteriak? Apa gunanya menangis? Adrian telah menyakitinya. Adrian telah mengkhianatinya. Membiarkan dirinya terlihat hancur di hadapan Adrian hanya akan memberinya kepuasan, atau mungkin belas kasihan. Dan Bianca tidak menginginkan belas kasihan. Ia menginginkan keadilan.

Ia teringat cerita ibunya tentang seorang wanita yang dikhianati suaminya. Wanita itu memilih untuk diam, untuk pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Pada awalnya, semua orang mengira wanita itu pengecut. Tapi seiring berjalannya waktu, suami itu menyadari bahwa kesunyian istrinya jauh lebih menyakitkan daripada ledakan kemarahan apa pun. Ia tidak mendapatkan penutup, tidak ada permohonan maaf yang bisa ia berikan. Ia dibiarkan dengan kebingungan dan penyesalan yang membayangi.

Pikiran itu berakar kuat di benak Bianca. Membalas dendam tidak harus selalu bising. Itu bisa berupa keheningan yang memekakkan.

Adrian telah memilih untuk menyembunyikan kebenaran darinya. Maka Bianca akan membalas dengan kebohongan juga. Ia akan menjadi lebih pandai dari Adrian dalam permainan ini. Ia akan membiarkan Adrian merasakan kehilangan secara perlahan, setetes demi setetes, sampai ia menyadari betapa hancurnya semua yang telah ia bangun.

Ini bukan tentang membalas rasa sakit dengan rasa sakit yang setara. Ini tentang membiarkan Adrian menghadapi konsekuensi dari tindakannya sendiri, perlahan tapi pasti.

Beberapa hari berikutnya adalah siksaan bagi Bianca. Ia melanjutkan hidupnya seperti biasa, seperti tidak ada yang berubah. Ia tersenyum pada Adrian, mendengarkan ceritanya, menyiapkan makan malam, bahkan kadang-kadang berinisiatif untuk memeluknya. Setiap sentuhan terasa seperti duri, setiap kata cinta yang keluar dari mulut Adrian terasa seperti racun.

Adrian, di sisi lain, tampak seperti dirinya yang dulu. Bahagia, perhatian, dan sama sekali tidak menyadari badai yang sedang terjadi di dalam diri Bianca. Atau setidaknya, itulah yang Bianca pikirkan. Kadang-kadang, Bianca menangkap tatapan Adrian yang sekilas, ekspresi yang tidak bisa ia baca. Apakah Adrian menyembunyikan sesuatu dengan sangat baik, atau apakah ia benar-benar polos?

Keraguan itu menggerogoti Bianca. Apakah ia salah? Apakah ia terlalu cepat menyimpulkan? Tapi foto dan video itu... tidak ada ruang untuk keraguan. Bukti itu ada di sana, dingin dan nyata.

Bianca mulai memperhatikan hal-hal kecil. Adrian terkadang terlambat pulang dari kantor, dengan alasan rapat dadakan. Ia sering memeriksa ponselnya, dan terkadang, ia tampak sedikit gelisah saat Bianca ada di dekatnya. Hal-hal yang sebelumnya Bianca abaikan sebagai "kesibukan pekerjaan" atau "stres", kini terlihat seperti potongan-potongan teka-teki yang jatuh ke tempatnya.

Pada suatu malam, saat Adrian mandi, ponselnya berdering. Bianca, dengan jantung berdebar kencang, melihat nama penelepon: "Klien Jaya". Panggilan itu berlangsung singkat, dan Adrian bergegas keluar dari kamar mandi, handuk melilit pinggangnya, dengan cepat menjawab panggilan itu di ruang tamu. Ia berbicara dengan nada rendah, sesekali melirik ke arah kamar tidur. Bianca berpura-pura membaca buku, tapi setiap kata yang Adrian ucapkan terasa seperti palu yang menghantam kepalanya.

"Ya, ini Adrian," kata Adrian. "Oke, baiklah. Aku akan menemuimu di sana. Tidak, tidak masalah. Aku akan urus."

Bianca tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Adrian kembali ke kamar tidur, senyum di wajahnya. "Rapat mendadak, Sayang," katanya, suaranya sedikit terlalu keras. "Harus ke kantor sebentar."

Bianca mengangguk, dadanya terasa sesak. "Tentu," katanya, suaranya tenang. "Hati-hati di jalan."

Adrian mencium keningnya, dan Bianca harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk tidak menarik diri. Setelah Adrian pergi, Bianca menunggu beberapa menit, memastikan ia benar-benar pergi. Lalu, dengan tangan gemetar, ia mengambil ponsel Adrian yang tertinggal di meja samping tempat tidur. Ia tahu itu salah, ia tahu ia melanggar kepercayaan Adrian. Tapi kepercayaan itu sudah Adrian hancurkan lebih dulu.

Dengan cepat, ia mencari riwayat panggilan. Panggilan terakhir adalah dari "Klien Jaya". Bianca membuka kontak itu. Itu adalah nomor telepon, bukan nama perusahaan. Dan di sana, di bawah nama "Klien Jaya", ada ikon kecil yang menunjukkan foto profil.

Foto seorang wanita dengan rambut pirang cerah. Wanita yang sama di foto dan video yang dikirim kepadanya.

Bianca merasakan seluruh kekuatannya terkuras. Ia ambruk di tempat tidur, ponsel Adrian masih di tangannya. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah, mengalir deras di pipinya. Ia tidak mengeluarkan suara, hanya isak tangis tanpa suara yang mengguncang tubuhnya.

"Klien Jaya" adalah kode. Wanita itu. Selama ini Adrian bersamanya, di balik punggungnya.

Rasa sakit itu begitu nyata, begitu tajam, seolah-olah ada pisau yang menusuk jantungnya berulang kali. Tapi di tengah rasa sakit yang luar biasa itu, ada juga kejelasan yang mengerikan. Keraguan terakhirnya telah lenyap.

Adrian telah memilih. Dan Bianca pun akan memilih.

Tidak ada teriakan. Tidak ada tangisan histeris. Hanya keheningan. Keheningan yang akan menghantui Adrian jauh lebih lama daripada ledakan amarah apa pun. Bianca akan membiarkan Adrian merasakan kehampaan yang ia ciptakan, perlahan-lahan. Hingga ia menyadari, kehilangan cinta perlahan-lahan jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan segalanya sekaligus.

Rabu malam tiba. Bianca telah mengenakan gaun malam favorit Adrian, gaun sutra berwarna biru laut yang memeluk lekuk tubuhnya dengan anggun. Ia berdandan dengan hati-hati, memastikan setiap detail sempurna-rambutnya ditata elegan, riasannya flawless, senyumnya... senyumnya adalah mahakarya penipuan.

Adrian menatapnya dengan kekaguman yang jelas di matanya. "Kamu cantik sekali, Sayang," bisiknya, meraih tangannya dan mengecupnya. "Aku pria paling beruntung di dunia."

Kata-kata itu, yang dulunya adalah melodi paling indah bagi Bianca, kini terdengar seperti ejekan. Ia hanya tersenyum tipis, membiarkan tatapan Adrian terpaku pada dirinya, tidak pada kegelapan di matanya.

Perjalanan menuju Restoran Serenity terasa panjang. Bianca membayangkan skenario terburuk. Apakah wanita itu akan muncul? Apakah Adrian akan memperkenalkan mereka? Atau apakah ini adalah perpisahan yang manis, sebuah kencan terakhir sebelum Adrian mengakui perselingkuhannya?

Ketika mereka tiba, suasana restoran terasa begitu romantis-cahaya lilin, musik lembut, gemerincing sendok garpu. Pelayan mengantar mereka ke meja yang nyaman di sudut, dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Adrian tampak begitu antusias, menunjuk-nunjuk pemandangan dan menceritakan detail tentang arsitektur bangunan di sekitarnya. Bianca mengangguk, tersenyum, memainkan perannya dengan sempurna.

Mereka memesan makanan, dan Adrian membuka botol anggur mahal yang sudah mereka simpan untuk acara spesial. Bianca membiarkan Adrian menuangkan anggur untuknya, membiarkan gelembung-gelembung champagne memantul di bibirnya. Ia menyesapnya perlahan, merasakan pahitnya anggur itu meniru pahitnya hatinya.

"Adrian," kata Bianca, suaranya tenang, tiba-tiba.

Adrian mendongak, matanya bertemu dengan mata Bianca. "Ya, Sayang?"

"Aku... aku sangat menghargai semua yang telah kamu lakukan untuk kita," lanjut Bianca, setiap kata terasa seperti pasir di lidahnya. "Kamu adalah segalanya bagiku."

Adrian tersenyum, meraih tangan Bianca di atas meja. "Kamu juga segalanya bagiku, Bintangku. Kamu tahu itu."

Bianca membiarkan tangannya berada di genggaman Adrian, tapi hatinya terasa seperti batu. Kata-kata itu, kebohongan itu, menyiksanya.

Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Ia tidak akan membuat keributan. Ia tidak akan memohon. Ia tidak akan memberi Adrian kepuasan untuk melihatnya hancur. Ia akan pergi, dan ia akan pergi dalam keheningan.

Tapi tidak malam ini. Malam ini, ia akan membiarkan Adrian merayakan kemenangan palsunya. Ia akan membiarkan Adrian menikmati momen ini, tidak menyadari bahwa di balik senyum Bianca, sebuah keputusan telah dibuat.

Malam itu, Bianca tertawa, berbicara, dan bertindak seperti istri paling bahagia di dunia. Adrian tidak pernah tahu bahwa setiap tawa adalah racun, setiap sentuhan adalah perpisahan, dan setiap tatapan adalah janji pembalasan yang dingin.

Ketika mereka pulang, Adrian memeluknya erat di tempat tidur, mencium rambutnya, dan membisikkan kata-kata cinta. Bianca membiarkan dirinya dipeluk, tapi jiwanya terasa jauh. Ia sudah melangkah pergi.

Keesokan harinya, Bianca bangun lebih awal. Ia menatap Adrian yang masih tertidur pulas di sampingnya. Wajahnya begitu damai, begitu polos. Sebuah kemarahan baru menyengat Bianca. Bagaimana Adrian bisa tidur begitu nyenyak setelah semua yang ia lakukan?

Dengan hati-hati, Bianca bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan ke lemari, mengeluarkan sebuah koper kecil, dan mulai mengisinya. Hanya beberapa barang penting: pakaian, dokumen, beberapa perhiasan, laptopnya. Ia tidak ingin mengambil terlalu banyak, tidak ingin meninggalkan jejak yang terlalu besar.

Ia menulis sebuah catatan singkat. Hanya beberapa kata. Ia meletakkannya di meja samping tempat tidur Adrian, di samping ponselnya.

Ia menatap Adrian sekali lagi, untuk terakhir kalinya. Rasa sakitnya begitu dalam, begitu menghancurkan, sehingga ia tidak bisa bernapas. Tapi ia tidak akan membiarkan rasa sakit itu mengendalikannya. Ia akan menggunakannya sebagai bahan bakar.

Bianca berbalik, keluar dari kamar tidur, dan menutup pintu di belakangnya dengan lembut. Ia berjalan melewati ruang tamu, melewati dapur, dan keluar dari pintu depan rumah mereka. Ia tidak melihat ke belakang.

Meninggalkan Adrian dalam kebingungan... sampai akhirnya pria itu menyadari, kehilangan cinta perlahan-lahan jauh lebih menyakitkan daripada kehilangan segalanya sekaligus.

Bianca tidak memilih berteriak atau menangis. Ia memilih diam. Dan keheningan itu akan menjadi senjata paling mematikan yang pernah Adrian hadapi.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY