Sebuah janji yang entah mengapa, setelah beberapa generasi, justru kembali mengemuka melalui orang tua mereka.
Kirana masih ingat betul sore itu. Aroma melati dari vas bunga di ruang tamu terasa terlalu kuat, seolah ingin menyamarkan ketegangan yang menggantung di udara. Ayah dan ibunya duduk berhadapan dengan orang tua Arya. Arya sendiri duduk di sofa tunggal, ekspresinya sulit dibaca. Kirana, yang baru saja menyelesaikan kuliah S2-nya di luar negeri dan berencana membangun karier impiannya, merasa seperti boneka yang dipajang.
"Nak Kirana, Arya," suara Ayah Arya, Pak Danang, memecah keheningan. "Kami ingin membicarakan sesuatu yang penting."
Kirana menunduk, jantungnya berdebar tak karuan. Ini pasti tentang bisnis keluarga, pikirnya. Atau mungkin, tentang kerja sama yang lebih besar antara perusahaan ayah mereka. Pikiran itu terasa jauh lebih masuk akal daripada kemungkinan yang tiba-tiba melintas di benaknya: perjodohan.
"Kami, para orang tua, sudah sepakat," lanjut Ibu Arya, Bu Santi, nadanya lembut namun tegas. "Kami ingin kalian berdua menikah."
Dunia Kirana seolah berhenti berputar. Melati di vas bunga kini terasa mencekik. Ia melirik Arya, mencari reaksi. Lelaki itu hanya diam, tatapan kosong menatap ke depan. Tidak ada penolakan, tidak ada persetujuan yang antusias. Hanya keheningan yang membingungkan.
"Tunggu, maksudnya... menikah?" Kirana akhirnya memberanikan diri bersuara, suaranya sedikit bergetar.
Ayah Kirana, Pak Wijaya, mengangguk. "Ya, Nak. Ini untuk kebaikan kalian. Untuk keluarga kita."
Kebaikan? Kirana ingin tertawa, atau mungkin menangis. Ia baru saja kembali. Rencananya sudah tersusun rapi: mencari pekerjaan yang sesuai dengan jurusannya, mandiri, dan perlahan meniti karier. Menikah? Apalagi dengan seseorang yang nyaris tidak dikenalnya, hanya sebatas pertemuan formal di acara keluarga besar.
"Tapi... kenapa?" tanya Kirana lagi, kali ini lebih ke arah rengekan.
"Karena kami melihat potensi yang baik pada kalian berdua," jawab Ibu Kirana, Bu Rina, mencoba menenangkan. "Kalian sama-sama cerdas, dari keluarga yang baik-baik. Kami yakin kalian akan bisa membangun rumah tangga yang harmonis."
Arya akhirnya membuka suara, nadanya datar, tanpa emosi. "Jika itu memang keinginan para orang tua, saya tidak keberatan."
Satu kalimat itu, diucapkan tanpa sedikit pun gairah, sudah cukup untuk menghancurkan sisa-sisa harapan Kirana. Bagaimana bisa seseorang menerima keputusan sebesar ini tanpa perasaan apa pun? Apakah ia memang seobjek itu? Sebuah alat untuk menyatukan dua keluarga?
Malam itu, Kirana menangis hingga matanya bengkak. Ia merasa dikhianati oleh takdirnya sendiri. Di sisi lain, ada rasa ingin tahu yang samar tentang Arya. Siapa sebenarnya lelaki ini? Mengapa ia begitu patuh pada keinginan orang tuanya?
Pernikahan itu pun terjadi, tiga bulan kemudian. Semua berjalan seperti mimpi, sebuah mimpi yang tidak Kirana inginkan. Pesta megah, tamu-tamu penting, senyum-senyum palsu, dan janji suci yang diucapkan di hadapan Tuhan. Kirana mengucapkannya dengan berat hati, separuh jiwanya masih berteriak menolak. Arya mengucapkannya dengan nada yang sama datar, seolah sedang membaca naskah.
Awalnya, kehidupan pernikahan mereka terasa canggung. Sebuah perjanjian bisnis yang berbalut gaun pengantin dan jas. Mereka tinggal di rumah yang disiapkan orang tua Arya, sebuah rumah minimalis modern di pusat kota. Kirana berusaha keras membangun suasana. Ia memasak, membersihkan rumah, dan sesekali mencoba mengajak Arya berbicara tentang hal-hal ringan. Namun, Arya selalu merespons seadanya. Ia sibuk dengan pekerjaannya, sering pulang larut, dan terkadang menghabiskan akhir pekan di luar kota untuk urusan bisnis.
Kirana berusaha memahami. Mungkin Arya juga sama tidak nyamannya dengan perjodohan ini. Mungkin ini adalah caranya mengatasi situasi. Jadi, Kirana mencoba bersabar, berharap seiring waktu, hati Arya akan terbuka. Ia percaya bahwa cinta bisa tumbuh karena kebersamaan, karena pembiasaan.
Satu tahun berlalu, dan kehangatan itu mulai tumbuh, perlahan tapi pasti. Arya mulai sedikit terbuka. Sesekali, ia akan menceritakan tentang hari-harinya di kantor. Sesekali, ia akan tertawa kecil mendengar lelucon Kirana. Mereka bahkan pernah berlibur bersama, dan di sana, Kirana melihat sisi lain Arya yang lebih santai, lebih manusiawi. Ia mulai merasa sedikit lega, sedikit bahagia. Mungkin, ini memang takdir baiknya. Mungkin, Arya memang ditakdirkan untuknya.
Kirana, dengan sepenuh hati, mencoba mencintai Arya. Ia tahu itu tidak mudah, terutama karena cinta itu tidak bersemi secara alami. Namun, Kirana adalah orang yang setia. Sekali ia berkomitmen, ia akan memberikannya yang terbaik. Ia percaya bahwa ikrar pernikahan mereka di hadapan Tuhan adalah hal yang sakral. Sebuah janji yang tidak boleh dilanggar.
"Arya, pulang telat lagi?" suara Kirana terdengar di telepon, ada sedikit nada khawatir. Malam itu hujan deras dan Arya belum juga tiba di rumah.
"Iya, Kirana. Ada meeting mendadak. Kamu tidur duluan saja, ya," jawab Arya, suaranya terdengar lelah.
"Aku tunggu, ya. Aku buatkan sup hangat," kata Kirana.
"Tidak usah repot-repot," balas Arya.
"Tidak merepotkan kok. Hati-hati di jalan ya," Kirana menutup telepon.
Ia menggantungkan ponselnya, dan menatap sup ayam yang mengepul di atas kompor. Hati Kirana menghangat. Sedikit demi sedikit, Arya menunjukkan perhatian padanya, meskipun itu hanya berupa ucapan terima kasih atas sup yang ia buat, atau senyum kecil saat Kirana menceritakan sesuatu yang lucu. Cukup, pikir Kirana. Itu sudah lebih dari cukup baginya.
Namun, kebahagiaan itu rapuh, seperti kaca yang tipis. Retakan pertama muncul entah dari mana. Kirana mulai menyadari kejanggalan. Arya semakin sering pulang larut, bahkan di hari-hari yang sebelumnya ia habiskan di rumah. Alasan yang diberikan semakin beragam: meeting mendadak, pekerjaan yang menumpuk, klien dari luar kota. Kirana ingin percaya, tapi naluri perempuannya mulai berteriak.
Ponsel Arya. Itu yang paling mencurigakan. Arya selalu meletakkannya dengan posisi layar menghadap ke bawah. Dan terkadang, Kirana mendengar nada notifikasi pesan masuk di tengah malam, nada yang tidak biasa. Ia mencoba mengabaikannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia terlalu curiga.
Sampai suatu sore, saat Kirana sedang merapikan kamar, ponsel Arya berdering di meja samping tempat tidur. Arya sedang mandi. Kirana melihat nama penelepon: "Zia". Sebuah nama yang tidak pernah Arya sebutkan sebelumnya. Entah mengapa, tangannya terulur. Ia tahu ini salah, mengintip privasi suaminya. Tapi rasa penasaran dan kecemasan itu sudah terlalu besar.
Ia mengangkat telepon.
"Halo?" suara Kirana terdengar sedikit serak.
Hening di seberang sana. Lalu, sebuah suara perempuan, lembut tapi terdengar kaget. "Maaf, ini siapa?"
"Saya istrinya Arya," Kirana menahan napas.
Keheningan yang lebih lama. Lalu, suara itu lagi, kali ini lebih dingin. "Oh. Maaf, saya salah sambung."
Panggilan terputus.
Dunia Kirana runtuh. Kata-kata "salah sambung" itu terdengar seperti kebohongan paling klise di muka bumi. Mengapa ada nada kaget? Mengapa ia langsung memutus telepon? Otak Kirana berputar, mencari penjelasan lain, apa pun yang bisa menenangkan hatinya. Tapi tidak ada.
Ketika Arya keluar dari kamar mandi, handuk melilit pinggangnya, Kirana sudah duduk di tepi ranjang, ponsel Arya tergeletak di sampingnya. Wajahnya pucat pasi.
"Ada apa, Kirana?" Arya bertanya, melihat ekspresi istrinya.
"Siapa Zia?" Kirana bertanya balik, suaranya bergetar.
Wajah Arya langsung berubah. Dari santai menjadi tegang. Ia menatap ponselnya, lalu menatap Kirana. "Itu... klien. Klien baru."
"Klien baru yang telepon tengah malam?" Kirana membalas, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Klien baru yang langsung memutuskan sambungan begitu tahu saya istrinya?"
Arya menghela napas. Ia berjalan mendekat, mencoba meraih tangan Kirana. "Bukan seperti yang kamu pikirkan, Kirana."
"Lalu seperti apa?" Kirana menarik tangannya. "Jelaskan padaku, Arya! Jujur!"
Arya terdiam sejenak, tatapannya menghindar. Lalu, ia duduk di sebelah Kirana, mengusap wajahnya dengan kasar. "Dia... memang bukan klien."
Napas Kirana tertahan. "Siapa dia?"
"Dia... seseorang dari masa laluku," Arya mulai berbicara, suaranya pelan, nyaris berbisik. "Zia adalah kekasihku sebelum kita menikah."
Boom. Sebuah bom meledak di dada Kirana. Sakitnya luar biasa, menusuk hingga ke tulang. Kekasih? Selama ini? Setelah satu tahun menikah?
"Kekasih?" Kirana mengulang kata itu, hampa. "Lalu kenapa kamu menikahiku, Arya? Kenapa kamu mengatakan janji suci di hadapan Tuhan jika hatimu masih untuk orang lain?"
Arya mengangkat kepalanya, menatap Kirana. Ada keputusasaan di matanya, atau setidaknya, itulah yang Kirana lihat. "Pernikahan ini... kamu tahu kan, ini perjodohan. Aku tidak bisa menolaknya. Orang tuaku... mereka sangat ingin kita menikah."
"Dan karena itu, kamu tega mengkhianati ikrar kita?" suara Kirana meninggi, air matanya tumpah ruah. "Kamu tega menjadikan aku alat untuk memenuhi keinginan orang tuamu?"
"Bukan begitu, Kirana!" Arya mencoba menjelaskan. "Aku berusaha. Aku sungguh berusaha untuk melupakannya. Aku berusaha mencintaimu. Aku berusaha membangun rumah tangga ini bersamamu."
"Berusaha?" Kirana tertawa pahit, tawa yang bercampur isak tangis. "Berusaha dengan masih berhubungan dengan dia? Berusaha dengan membohongiku setiap hari? Berusaha dengan membuatku percaya bahwa kita baik-baik saja?"
"Aku tidak bermaksud membohongimu," Arya tampak putus asa. "Awalnya, kami hanya sesekali berkomunikasi. Tapi kemudian... dia kembali hadir dalam hidupku. Dia butuh bantuanku. Dan... perasaan itu kembali muncul."
Kirana menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak percaya. Bagaimana bisa seseorang yang ia cintai, yang ia coba bangun kebersamaan dengannya, begitu tega menyembunyikan kebenaran sekejam ini?
"Jadi, selama ini, saat kamu pulang telat, saat kamu bilang meeting mendadak, kamu bersamanya?" Kirana bertanya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Arya menunduk. "Tidak selalu. Tapi ya... terkadang."
Jawabannya sudah cukup. Hati Kirana hancur berkeping-keping. Satu tahun kebersamaan, satu tahun perjuangan Kirana untuk membuka hatinya, satu tahun ia berusaha mencintai Arya, semua terasa sia-sia. Sebuah kebohongan besar yang dibalut janji suci.
"Aku tidak bisa menerima ini," Kirana bangkit dari ranjang, air mata terus mengalir di pipinya. "Bagaimana bisa kamu begitu teganya, Arya?"
"Aku minta maaf, Kirana," Arya mencoba meraih tangannya lagi, tapi Kirana mundur. "Aku tahu aku salah. Aku bingung. Aku tidak tahu harus berbuat apa."
"Bingung?" Kirana menatap Arya dengan tatapan terluka. "Pilihanmu jelas, Arya. Setia pada istrimu, atau selingkuh dengan kekasihmu. Kamu memilih yang kedua!"
"Aku mencintaimu, Kirana," Arya tiba-tiba berkata, suaranya serak. "Aku sungguh-sungguh."
Kirana membeku. Mencintai? Setelah semua ini? Setelah pengakuan yang menghancurkan hatinya? Kata-kata itu terdengar seperti pisau yang menusuk lukanya lebih dalam.
"Jangan bohong lagi, Arya," Kirana berkata pelan. "Jika kamu mencintaiku, kamu tidak akan pernah melakukan ini."
Malam itu terasa sangat panjang. Kirana mengurung diri di kamar tamu, menangis hingga kelelahan. Arya mencoba mengetuk pintu, memohon untuk berbicara, tapi Kirana tidak membuka. Ia terlalu sakit, terlalu kecewa.
Keesokan paginya, Kirana memutuskan untuk menemui orang tuanya. Ia tidak bisa lagi menanggung beban ini sendiri. Ibunya terkejut mendengar ceritanya, Ayahnya terdiam, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
"Arya harus bertanggung jawab!" Ayah Kirana berkata dengan suara berat. "Ini tidak bisa dibiarkan."
"Tidak, Ayah," Kirana menggeleng. "Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini. Aku hanya ingin... kejelasan."
Namun, kejelasan itu tidak datang semudah yang diharapkan. Arya bersikeras bahwa ia tidak ingin berpisah. Ia meminta maaf berkali-kali, mengatakan bahwa ia akan memutuskan hubungan dengan Zia. Tapi kepercayaan Kirana sudah hancur. Bagaimana ia bisa percaya lagi setelah semua kebohongan itu?
"Aku butuh waktu, Arya," Kirana berkata suatu malam, saat Arya terus berusaha berbicara dengannya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu."
"Aku akan menunggumu, Kirana," Arya menjawab. "Aku akan membuktikan padamu bahwa aku serius."
Hari-hari berlalu dalam keheningan yang mencekam. Kirana dan Arya hidup di bawah satu atap, namun terasa seperti dua orang asing. Kirana mencoba fokus pada dirinya sendiri, pada rencana-rencana yang dulu ia miliki. Ia mulai mengirimkan lamaran kerja lagi, mencoba mencari celah untuk mandiri secara finansial.
Di tengah kekacauan emosi itu, tubuh Kirana mulai menunjukkan gejala aneh. Mual di pagi hari, mudah lelah, dan nafsu makan yang berubah. Awalnya ia mengira itu hanya efek stres. Tapi setelah beberapa minggu, nalurinya mulai berbisik, bisikan yang perlahan menjadi teriakan.
Ia membeli alat tes kehamilan secara diam-diam. Dengan tangan gemetar, ia melakukannya. Dan hasilnya... dua garis. Positif.
Kirana terpaku. Kehamilan. Di tengah badai rumah tangganya, sebuah kehidupan baru hadir dalam rahimnya. Perasaan campur aduk menyerbu dirinya. Antara kebahagiaan yang samar, ketakutan yang mencekik, dan keputusasaan yang mendalam.
Bagaimana bisa? Bagaimana ia bisa menghadapi ini sendirian? Apakah ia harus memberitahu Arya? Lelaki yang sudah menghancurkan hatinya itu?
Malam itu, Kirana tidak bisa tidur. Ia meraba perutnya yang masih rata. Ada janin di sana, buah cintanya dengan Arya, terlepas dari segala kekacauan yang ada. Sebuah ikatan yang tidak bisa ia pungkiri.
Ia teringat kata-kata dokter kandungan yang pernah ia dengar dari teman-temannya. Beberapa kehamilan berisiko tinggi. Terutama jika ibu memiliki kondisi kesehatan tertentu. Kirana selalu memiliki riwayat anemia kronis dan tekanan darah rendah. Ia tahu, dengan kondisi tubuhnya, kehamilan ini akan menjadi perjalanan yang berat, bahkan mungkin berbahaya. Risiko kematian. Kata-kata itu berputar di benaknya.
Namun, di antara ketakutan itu, ada secercah harapan. Harapan untuk menimang seorang anak, harapan untuk memiliki seseorang yang bisa ia cintai sepenuh hati tanpa syarat. Sebuah bagian dari dirinya yang murni, yang tidak terkontaminasi oleh kebohongan dan pengkhianatan.
Kirana memutuskan. Ia akan menyembunyikan kehamilannya dari Arya. Untuk sementara. Ia butuh waktu untuk berpikir, untuk merencanakan langkah selanjutnya. Ia tidak ingin Arya mengetahui ini sekarang, di tengah keretakan yang belum tertutup. Ia ingin melindungi dirinya, melindungi bayinya, dari drama yang mungkin akan terjadi.
Ia akan mencari tahu tentang kondisi kesehatannya, tentang bagaimana ia bisa menjalani kehamilan ini dengan aman. Ia akan mencari kekuatan dari dalam dirinya sendiri. Ia harus kuat, demi kehidupan kecil yang kini bergantung padanya.
Sementara itu, Arya, yang masih mencoba memperbaiki hubungannya dengan Kirana, sama sekali tidak menyadari badai yang lebih besar sedang datang. Ia tidak tahu bahwa ada sebuah rahasia yang kini disimpan rapat-rapat oleh istrinya, rahasia yang akan mengubah segalanya. Ia masih sibuk dengan pekerjaannya, sesekali melamun tentang Zia, mencoba memutuskan apakah ia harus benar-benar melepaskan masa lalunya demi Kirana. Ia masih percaya bahwa ia memiliki waktu untuk memperbaiki semuanya. Ia tidak tahu, bahwa waktu itu mungkin sudah sangat terbatas.
Apakah Kirana dan bayinya akan selamat melewati masa sulit ini? Apakah cinta yang Kirana simpan untuk Arya akan benar-benar pupus, atau akan ada keajaiban yang menyatukan mereka kembali dalam sebuah ikatan yang tulus? Dan bagaimana nasib Arya, yang kini berada di persimpangan jalan antara masa lalu dan masa depan yang ia sendiri tak yakin bisa ia gapai?