Tama, suaminya, bergerak di atasnya. Gerakannya ritmis, fokus, namun tanpa koneksi yang berarti. Tidak ada tatapan mata yang mendalam, tidak ada sentuhan yang memilin jiwa, hanya desahan napas yang teratur dan keringat yang mulai membasahi dahi. Maya memejamkan mata, berusaha keras menemukan sensasi yang hilang, mencari percikan api yang entah kapan padam. Dulu, di awal pernikahan mereka, ada denyut yang menjanjikan, percikan kecil yang kadang muncul. Tapi kini, yang tersisa hanya sisa-sisa bara yang dingin.
Tubuh Maya, yang dulu selalu dipuji teman-temannya sebagai "sempurna", terasa seperti cangkang kosong di bawah sentuhan Tama. Lekuk pinggangnya yang ramping, pinggulnya yang berisi, dan payudaranya yang penuh-semuanya terasa mati rasa. Dia tahu Tama menikmati tubuhnya, bahkan mungkin merasa beruntung memilikinya. Mata Tama sering memindai lekuk-lekuk itu saat dia mengenakan daster tipis atau saat mereka mandi bersama. Tapi menikmati secara visual dan memberi kepuasan sejati adalah dua hal yang berbeda, sesuatu yang Maya pahami dengan pahit.
"Ah, Maya..." desah Tama, suaranya serak. Ia mempercepat tempo, seolah berpacu menuju garis akhir yang sudah pasti ia raih sendirian. Maya menggigit bibir bawahnya. Ia ingin membalas desahan itu dengan desahan gairah, bukan kepura-puraan. Ia ingin merasakan gelombang kenikmatan yang menampar, bukan hanya riak kecil yang segera surut. Ia ingin orgasme yang membuat otot-ototnya menegang, bukan hanya pelepasan sepihak yang meninggalkan kekosongan.
Pikirannya melayang. Mengapa begitu sulit? Apakah ada yang salah dengannya? Dia sudah mencoba segalanya-dari lingerie yang menggoda, sentuhan yang lebih berani, hingga ajakan-ajakan halus untuk mencoba posisi baru yang ia baca di majalah lama. Tapi Tama, entah polos atau memang tak peduli, selalu merespons dengan anggukan singkat, lalu kembali ke rutinitas yang sama. Posisi misionaris, cepat, dan senyap. Selesai.
Malam ini pun sama. Tama mendesah keras untuk terakhir kalinya, tubuhnya menegang, lalu luruh menimpa Maya. Berat tubuhnya menekan, namun yang terasa bukan kehangatan atau rasa puas, melainkan beban. Ia memeluk Maya sebentar, mengecup keningnya tanpa gairah, lalu berguling ke samping, napasnya mulai teratur menandakan ia akan segera terlelap.
Maya berbaring telentang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Jantungnya masih berdetak cepat, bukan karena ekstase, tapi karena frustrasi yang terpendam. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ada rasa getir yang perlahan menyebar di lidahnya. Tubuhnya terasa tegang, seluruh syarafnya seperti berteriak, menginginkan lebih. Ingin ditenangkan, ingin dipuaskan. Tapi Tama sudah terlelap, dengkurannya mulai terdengar samar.
Ia pelan-pelan melepaskan diri dari selimut, melangkah tanpa suara ke kamar mandi. Pancuran dingin tidak banyak membantu mendinginkan gejolak dalam dirinya. Ia menatap pantulannya di cermin. Wanita berusia 28 tahun, dengan tubuh yang masih kencang dan proporsional. Payudara yang masih montok, perut rata, dan pinggul yang melengkung indah. "Apa gunanya semua ini jika tidak ada yang benar-benar menikmatinya?" bisiknya pada pantulan dirinya sendiri. Matanya berkaca-kaca. Air mata yang terasa asin, seperti sisa-sisa harapan yang mengering.
Ketika Maya kembali ke ranjang, ia berbaring di sisi paling tepi, membelakangi Tama. Ada jurang menganga di antara mereka, jurang yang bukan hanya tercipta oleh ruang fisik, melainkan oleh kekosongan emosional dan fisik yang tak terucapkan. Ia mendesah pelan, suara itu tenggelam dalam dengkuran Tama.
***
Pagi menjelang. Cahaya matahari masuk perlahan dari celah gorden, menerangi debu yang menari di udara. Rutinitas kembali. Tama akan bangun, pergi ke bengkelnya yang kecil, berkutat dengan oli dan mesin, sementara Maya akan kembali ke pekerjaan rumah tangga yang tak pernah ada habisnya. Hidup mereka sederhana, kadang terasa cukup, kadang terasa sangat kurang.
Tapi kekurangan yang paling menyiksa bagi Maya bukanlah soal uang, meskipun itu juga sering menjadi masalah. Kekurangan itu adalah gairah yang padam, hasrat yang tak terpenuhi, dan perasaan bahwa ia hanyalah sebuah objek, bukan seorang wanita yang utuh dan berhak merasakan puncak kenikmatan. Ia merindukan sensasi damba, sentuhan yang membakar, dan bisikan yang menggoda. Ia merindukan *rasa hidup* di dalam dirinya.
Maya bangkit dari ranjang, kaki jenjangnya menyentuh lantai dingin. Ia melirik Tama yang masih pulas. Pria baik, pekerja keras, tapi... ia tahu ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang ia butuhkan lebih dari sekadar materi. Sesuatu yang mulai bergolak, perlahan, mencari jalan keluar, mencari pelabuhan yang bisa menawarkan apa yang suaminya tak bisa berikan. Ia hanya belum tahu di mana atau kapan ia akan menemukannya. Namun, ia tahu, jauh di lubuk hatinya, ia akan mencarinya.