pat mendera kini lenyap, digantikan oleh gelombang rasa penasaran yang aneh. Siapa tetangga baru itu? Pria yang tadi terlihat, dengan postur tinggi dan aura ber
knya. Tama lembur. Ranjang mereka akan kosong di satu sisi. Maya menghela napas, kepa
a bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup lambat, seolah ikut merasakan irama hidupnya yan
, membangun fondasi kebahagiaan yang kokoh. Tapi bagi Maya, lima tahun itu terasa seperti lembaran-lembaran
ang suaminya dengan mata berbinar. "Suamiku romantis sekali, May. Semalam dia bawakan bunga waktu pulang kerja," atau "Kami baru saja pulang dari Danau Toba, berdua saja, serasa pacaran lagi!" Cerita-cerita itu, yang sehar
endong bayinya, pipinya gembil dan matanya jernih. Maya dan Tama belum dikaruniai anak. Mereka sudah mencoba, tentu saja. Setiap bulan, ada harapan kecil yang tumbuh, lalu layu la
pasrah. Tapi di dalam hatinya, ada kekecewaan yang menggunung. Ia ingin merasakan tendangan kecil di perutnya, ia i
h sempurna, seperti yang dulu sering ia dengar. Pinggulnya yang berisi, pinggangnya yang ramping, dan payudaranya yang penuh, semuanya
Hanya kekosongan. Sebuah ironi yang kejam. Tubuh yang sempurna, namun merasa tidak dihargai, tidak di
sendiri. Tapi cara itu tidak cukup. Ia butuh lebih dari sekadar keberadaan fisik di sampingnya. Ia butuh gairah yang membara, percak
asa dingin, meskipun di luar masih terasa hangat. Kekosongan itu meremas dadanya. Rasa iri pada kebahagiaan Santi dan pasangan lain, kekecewaan karen
ngga baru tadi. Sosoknya tinggi, tegap, dan cara ia keluar dari mobil mewah itu memancarkan aura kemapanan yang sangat b
ya yang kosong. Sebuah benih harapan, atau mungkin, sebuah benih godaan. Ia tidak tahu. Yang jelas, kehadiran tetangga baru itu, mesk