Desi menghela napas tertahan. Ia berusaha keras merangkai sensasi menjadi sebuah kenikmatan, mendorong pinggulnya membalas gerakan Dana, menenggelamkan diri dalam setiap sentuhan. Namun, dinding tak terlihat itu selalu ada. Keintiman yang seharusnya membakar, bagi Desi hanyalah sebuah ritual rutin yang ia jalani tanpa perasaan. Hampa. Seolah ia sedang memerankan sebuah adegan, bukan merasakannya.
Sesaat kemudian, gerakan itu melambat, lalu terhenti. Dana mendesah pelan, suara puas yang tak Desi pahami. Ia memiringkan tubuh, membelakangi Desi, napasnya mulai teratur.
"Kamu baik-baik saja?" suara Dana serak, lebih terdengar seperti pertanyaan formalitas dari sisa-sisa kantuk.
Desi diam sejenak, menatap punggung suaminya yang menghadapnya. "Ya, baik," jawabnya pelan, nyaris berbisik. Kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. Ia merasakan kelembaban di antara pahanya, bukti bahwa 'kewajiban' telah terlaksana, tapi hatinya kering kerontangan, lebih dingin dari udara dini hari.
Tak lama, dengkuran halus mulai terdengar dari sampingnya. Dana tertidur pulas. Desi bergeser sedikit, menjauh dari kehangatan tubuh Dana yang kini terasa asing, bahkan memberinya rasa dingin. Ia meraih ponsel di nakas, menatap layar yang menunjukkan pukul empat lebih lima belas menit pagi. Hujan masih setia mengguyur.
Ia bangkit perlahan, melilitkan selimut tipis ke tubuh telanjangnya. Langkah kakinya membawa Desi ke balkon kecil kamar mereka. Udara pagi yang dingin menusuk kulit, namun Desi tak peduli. Ia menatap deretan rumah di kompleks sederhana mereka, diselimuti kabut tipis dan rintik hujan yang tak kunjung reda. Hening, damai. Tapi di dalam dirinya, ada badai yang tak kunjung reda, pusaran kekosongan yang mengancam menelannya.
Wajahnya memang cantik, dengan mata almond yang menyimpan banyak rahasia, hidung mancung, dan bibir penuh yang sering kali tak terucap. Tubuhnya proporsional, lekuknya indah, bahkan setelah tiga tahun menikah. Desi tahu ia menarik. Ia sering kali menangkap tatapan kagum dari pria lain saat berbelanja di pasar atau saat membantu Dana di bengkel. Tapi untuk apa semua itu jika gairah di ranjang tak pernah bersemi? Jika suaminya sendiri seolah tak melihat, tak merasakan dalamnya kehampaan itu?
"Mau kopi?" Suara Dana mengejutkan Desi. Ia menoleh, melihat Dana sudah duduk di tepi ranjang, mengucek matanya.
"Belum," jawab Desi singkat. Ia masih enggan kembali ke sana, ke kasur yang menyimpan kehampaannya.
Dana bangkit, berjalan ke kamar mandi. Suara gemericik air terdengar tak lama kemudian, seolah mengusir sisa-sisa malam. Desi kembali menatap keluar, merasa terjebak dalam lingkaran rutinitas yang monoton. Dana adalah pria baik, pekerja keras di bengkelnya yang kecil. Ia tak pernah kasar, selalu berusaha menafkahi walau sering pas-pasan. Tapi kebaikan saja tidak cukup untuk mengisi lubang besar di dada Desi. Ia mendambakan sesuatu yang lebih, percikan yang membuat jantung berdebar, sentuhan yang membakar, tatapan yang mengunci jiwa.
Sambil menunggu Dana selesai mandi, Desi mulai menyiapkan sarapan seadanya di dapur kecil mereka. Nasi goreng dengan telur ceplok. Aroma bawang dan cabai mulai memenuhi ruangan. Dana keluar dari kamar mandi, sudah mengenakan kaos lusuh dan celana pendek andalannya. Ia duduk di meja makan, meraih ponselnya.
"Hari ini bengkel sepi kayaknya," keluh Dana, matanya terpaku pada layar. "Belum ada telepon sama sekali."
Desi hanya mengangguk, meletakkan piring nasi goreng di hadapan Dana. "Ya, semoga nanti siang ramai," ucapnya, datar. Ia duduk di seberang Dana, menyendokkan nasi goreng untuk dirinya sendiri, namun nafsu makannya hilang entah ke mana.
Hening kembali menyelimuti mereka, hanya diselingi bunyi sendok yang beradu dengan piring. Desi mencuri pandang pada Dana. Suaminya fokus pada ponselnya, sesekali menggaruk kepala. Tak ada tatapan hangat, tak ada pertanyaan tentang perasaannya. Rutinitas ini, kehampaan ini, seolah telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sarapan pagi mereka.
Ponsel Dana berdering. "Halo, Bang!" Suara Dana langsung bersemangat. "Oh, siap, siap! Beres itu!" Ia tertawa kecil. "Oke, Bang. Nanti jam sembilan aku ke sana."
Wajah Dana langsung cerah. "Ada proyek kecil dari Pak RT, Des. Lumayan buat tambah-tambah," katanya, senyumnya mengembang. "Sepertinya hari ini akan sibuk."
Desi membalas senyum tipis. Hatinya sedikit lega melihat Dana senang, namun kekosongan di dadanya masih berdenyut. Ia tahu, setelah ini, Dana akan disibukkan dengan bengkelnya, dan ia akan kembali sendirian, ditemani pikirannya yang tak tenang. Ia menatap piring nasi gorengnya, yang kini terasa semakin hambar.
Malam itu, Desi tahu, Dana mungkin akan kembali memeluknya. Melakukan ritual yang sama. Dan Desi akan kembali bertanya-tanya, apakah ini memang yang ia inginkan seumur hidupnya? Sebuah keintiman tanpa nyala, sebuah cinta tanpa gairah? Pertanyaan itu menggantung, berat, memenuhi benaknya seperti gumpalan awan mendung.