malam sebelumnya selama lima tahun terakhir, ranjang mereka terasa seperti medan perang bisu. Ranjang yang sama, di kamar yang sama, dengan aroma lembap khas Sura
, hanya desahan napas yang teratur dan keringat yang mulai membasahi dahi. Maya memejamkan mata, berusaha keras menemukan sensasi yang hilang, mencari percikan api yang en
dan payudaranya yang penuh-semuanya terasa mati rasa. Dia tahu Tama menikmati tubuhnya, bahkan mungkin merasa beruntung memilikinya. Mata Tama sering memindai lekuk-lekuk itu saat di
bibir bawahnya. Ia ingin membalas desahan itu dengan desahan gairah, bukan kepura-puraan. Ia ingin merasakan gelombang kenikmatan yang menampar, buka
han yang lebih berani, hingga ajakan-ajakan halus untuk mencoba posisi baru yang ia baca di majalah lama. Tapi Tama, entah polos atau mema
tubuhnya menekan, namun yang terasa bukan kehangatan atau rasa puas, melainkan beban. Ia memeluk Maya sebentar, me
yang terpendam. Keringat dingin membasahi punggungnya. Ada rasa getir yang perlahan menyebar di lidahnya. Tubuhnya terasa tegang, seluruh sya
di cermin. Wanita berusia 28 tahun, dengan tubuh yang masih kencang dan proporsional. Payudara yang masih montok, perut rata, dan pinggul yang melengkung indah. "Apa gunanya semua
anga di antara mereka, jurang yang bukan hanya tercipta oleh ruang fisik, melainkan oleh kekosongan
*
. Tama akan bangun, pergi ke bengkelnya yang kecil, berkutat dengan oli dan mesin, sementara Maya akan kembali ke pekerj
ang padam, hasrat yang tak terpenuhi, dan perasaan bahwa ia hanyalah sebuah objek, bukan seorang wanita yang utuh dan berhak merasakan punc
lang dari hidupnya. Sesuatu yang ia butuhkan lebih dari sekadar materi. Sesuatu yang mulai bergolak, perlahan, mencari jalan keluar, mencari pelabuhan yang bisa me