Bukan karena Rifky tak mencintainya lagi. Bukan karena Salma tak mampu memenuhi kewajibannya sebagai istri. Ini semua tentang satu kata yang menganga seperti jurang di antara mereka: keturunan. Ironis, bukan? Setelah segala perjuangan, segala obat-obatan yang pahitnya tak seberapa dibanding pahitnya harapan yang selalu pupus, setelah jarum suntik yang menembus kulitnya berulang kali, setelah doa-doa yang dipanjatkan hingga suaranya serak, takdir seolah menertawakan mereka. Rifky, yang sempat divonis memiliki masalah kesuburan, kini dinyatakan pulih. Pulih, dan siap memberikan keturunan. Tapi bukan dengannya.
Salma masih ingat dengan jelas hari itu. Hari ketika dokter menyatakan Rifky sepenuhnya sehat. Sebuah kelegaan yang seharusnya menjadi awal dari babak baru, justru menjadi penutup dari kisah mereka yang lama. Rifky pulang dengan wajah cerah, senyum yang tak pernah Salma lihat selama bertahun-tahun. Salma ikut bahagia, memeluk suaminya erat, membayangkan masa depan yang akhirnya akan lengkap dengan tangisan bayi. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan semalam. Keesokan paginya, Ibu mertua datang.
Hajah Fatma, dengan wajah yang selalu tenang namun sorot mata tajam, duduk di ruang tamu mereka. Ia tidak basa-basi. "Rifky sudah sehat, Salma," katanya dengan nada datar. Salma mengangguk, jantungnya berdebar-debar penuh harap. "Artinya, tidak ada lagi alasan untuk menunda." Salma tersenyum tipis, "Iya, Bu. Kami akan terus berusaha." Hajah Fatma menggeleng pelan, "Berusaha saja tidak cukup, Nak. Waktu terus berjalan. Rifky butuh anak. Pewaris."
Salma menelan ludah. Kata 'pewaris' selalu menjadi momok baginya. Seolah-olah nilai dirinya hanya terletak pada kemampuannya melahirkan. "Kami sudah berobat, Bu. Kata dokter, Rifky sekarang sudah normal. Tinggal menunggu waktu saja," Salma mencoba membela diri, juga membela harapan kecil yang masih bersemayam.
Hajah Fatma menghela napas panjang, tatapannya beralih pada Rifky yang duduk membisu di samping Salma. "Rifky, kamu setuju dengan Ibu, kan?" Rifky mengangkat wajahnya. Mata mereka bertemu. Di mata Rifky, Salma melihat konflik, rasa bersalah, dan juga sedikit keputusasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. Rifky menunduk. "Iya, Bu."
Jawabannya sesingkat napas, namun cukup untuk menghentikan detak jantung Salma. "Setuju apa, Mas?" Salma bertanya, suaranya tercekat. Rifky tak menjawab, hanya menggenggam tangannya erat, seolah meminta maaf tanpa kata. Hajah Fatma melanjutkan, "Rifky akan menikah lagi. Dengan Siti Aisyah. Dia gadis baik-baik, solehah, dan yang terpenting, dia sehat dan subur. Dari keluarga yang baik-baik juga."
Dunia Salma runtuh. Benar-benar runtuh, seperti istana pasir yang dihantam ombak. Kepalanya berdengung, telinganya berdenging, dan matanya berkunang-kunang. Siti Aisyah. Nama itu asing, namun kini terukir jelas dalam memorinya sebagai simbol kehancuran. Salma menarik tangannya dari genggaman Rifky, berdiri dengan gemetar. "Mas, apa ini benar?"
Rifky akhirnya mendongak, matanya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Salma. Ini... ini untuk Ibu. Untuk keluarga. Mereka butuh pewaris. Dan aku... aku tidak bisa mengecewakan Ibu."
"Lalu aku?" Suara Salma bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak terdengar. "Aku bagaimana? Lima tahun, Mas! Lima tahun kita berjuang bersama! Semua rasa sakit, semua harapan, semua air mata... apa itu semua tidak berarti apa-apa?"
"Berarti, Salma. Tentu saja berarti," Rifky mencoba meraih tangannya lagi, namun Salma mundur. "Tapi ini berbeda. Ini masa depan. Ini... ini amanah keluarga."
Hajah Fatma berdeham, "Salma, kamu harus berpikir jernih. Ini demi kebaikan bersama. Kamu tetap istri pertama Rifky. Kamu akan tetap mendapatkan hak-hakmu. Rifky tidak akan meninggalkanmu. Dia hanya akan... menambahkan."
Menambahkan. Kata itu terasa begitu dingin, begitu kejam. Seolah-olah Salma adalah sebuah benda, dan Rifky akan menambahkan benda lain di sampingnya. Salma menatap ibu mertuanya, lalu beralih pada Rifky yang kini terlihat begitu asing baginya. Apakah ini Rifky yang sama, yang dulu bersumpah akan mencintainya selamanya, dalam suka maupun duka, kaya maupun miskin, sehat maupun sakit? Apakah ini Rifky yang pernah berbisik di telinganya bahwa ia tak peduli seberapa banyak anak yang mereka miliki, asalkan Salma selalu bersamanya?
Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya tumpah, mengalir deras membasahi pipinya. "Aku tidak mau, Mas. Aku tidak mau dimadu," ucapnya lirih, namun penuh penekanan. Prinsip itu telah tertanam jauh di lubuk hatinya. Sejak kecil, Salma selalu memimpikan keluarga yang utuh, cinta yang tak terbagi. Ia tidak pernah membayangkan dirinya berada dalam situasi seperti ini.
Hajah Fatma mendengus. "Jangan egois, Salma. Ini bukan hanya tentangmu. Ini tentang kelanjutan silsilah keluarga. Ini tentang memenuhi takdir Tuhan. Kalau kamu tidak bisa memberikan anak, maka kamu harus merelakan Rifky mencari dari yang lain."
"Tapi kami sudah berusaha, Bu! Berobat! Dokter bilang... dokter bilang aku tidak ada masalah! Mas Rifky juga sudah sembuh!" Salma meninggikan suaranya, rasa putus asa dan marah bercampur aduk.
"Sudah berapa lama kalian berusaha? Sudah berapa tahun? Lima tahun, Salma! Lima tahun itu bukan waktu sebentar! Apa kamu mau menunggu sampai Rifky tua, sampai dia tidak sanggup lagi? Apa kamu mau keluarga ini tidak punya pewaris?" Hajah Fatma balas meninggikan suaranya, sedikit menyinggung nada jengkel.
Rifky akhirnya mengangkat kepala, menatap Salma dengan tatapan memohon. "Salma, tolong. Pikirkan lagi. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan tetap bertanggung jawab padamu. Aku hanya... aku hanya ingin memiliki seorang anak."
"Kenapa harus dengan cara ini, Mas? Kenapa tidak kita coba lagi? Atau kita bisa adopsi? Ada banyak anak yang membutuhkan kasih sayang, Mas!" Salma menawarkan alternatif, sekuat tenaga mencari celah.
Rifky menggeleng. "Ibu tidak setuju dengan adopsi. Beliau ingin keturunan darah daging sendiri. Lagipula, Ibu sudah memilihkan Aisyah. Pernikahannya akan dilaksanakan tiga bulan lagi."
Tiga bulan. Hanya tiga bulan. Waktu yang terasa begitu singkat untuk Salma menata hatinya, namun begitu panjang untuk membayangkan neraka yang akan ia alami. Hati Salma mencelos. Jadi, ini bukan sekadar tawaran atau permintaan. Ini adalah keputusan yang telah bulat, yang telah disetujui, dan yang kini dihadapkan padanya sebagai sebuah ultimatum. Menerima, atau pergi.
Air mata Salma semakin deras. Ia menatap Rifky, mencari setitik harapan, setitik penyesalan yang lebih dalam, tapi yang ia temukan hanyalah kelelahan dan pasrah. Rifky memang mencintainya, Salma tahu itu. Tapi cinta itu kini terasa begitu rapuh di hadapan tuntutan keluarga dan keinginan untuk memiliki keturunan. Salma tiba-tiba merasa sangat kecil, sangat tak berdaya. Ia telah berjuang. Ia telah memberikan segalanya. Tapi seolah-olah, 'segalanya' itu tidak cukup.
Salma berbalik, berjalan gontai menuju kamar tidur mereka. Setiap langkah terasa berat, seolah kakinya terbebani timah. Punggungnya tegap, mencoba menyembunyikan kerapuhan yang merajalela di dalam. Ia mendengar suara Rifky memanggil namanya, namun ia tidak berhenti. Ia hanya ingin menghilang, ingin tenggelam dalam kesendirian, jauh dari tatapan penuh belas kasihan Hajah Fatma dan wajah bersalah Rifky.
Di dalam kamar, Salma mengunci pintu. Ia menjatuhkan diri ke lantai, memeluk lutut, dan membiarkan isakan pilu membanjiri ruangan. Ia tidak peduli jika Rifky atau Hajah Fatma mendengarnya. Ia hanya ingin meluapkan semua rasa sakit, semua amarah, semua kekecewaan yang kini menguasai dirinya.
Selama lima tahun ini, Salma selalu berusaha menjadi istri yang sempurna. Ia mengurus rumah dengan baik, selalu mendukung karier Rifky, dan selalu ada di sampingnya dalam suka dan duka. Ketika mereka divonis memiliki masalah kesuburan, Salma adalah yang pertama mencari informasi, mencari dokter terbaik, mencoba segala macam pengobatan. Ia bahkan rela mengubah pola makannya, menjalani terapi yang tidak nyaman, semua demi satu tujuan: memiliki anak dengan Rifky. Ia tidak pernah berpikir untuk menyerah. Ia tidak pernah berpikir untuk mencari jalan pintas. Ia percaya pada proses, pada takdir, dan pada kekuatan cinta mereka.
Tapi sekarang, semua itu terasa sia-sia. Semua pengorbanan itu terasa tak dihargai. Seolah-olah, semua usahanya hanyalah angin lalu, tidak cukup kuat untuk membendung badai yang kini menerpa rumah tangganya. Hati Salma terasa hancur berkeping-keping. Rasa sakit itu begitu nyata, menusuk hingga ke ulu hati.
Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan Siti Aisyah. Siapa dia? Bagaimana rupanya? Apa yang dia miliki yang tidak Salma miliki, selain rahim yang subur? Sebuah pertanyaan kejam yang terus-menerus muncul, menggerogoti harga dirinya. Salma selalu bangga dengan dirinya. Ia adalah wanita mandiri, berpendidikan, dan memiliki karier yang cukup menjanjikan sebelum ia memutuskan untuk lebih fokus pada rumah tangga. Ia tidak pernah merasa kurang. Sampai hari ini. Sampai ia merasa bahwa dirinya kini hanyalah cangkang kosong, tak berguna karena tidak bisa memenuhi ekspektasi utama sebuah pernikahan dalam pandangan banyak orang: melahirkan keturunan.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan pahitnya. "Salma... buka pintunya, sayang..." Suara Rifky terdengar parau dari balik pintu.
Salma tidak menjawab. Ia hanya terus menangis dalam diam.
"Salma, kumohon... kita bicara baik-baik."
Bicara baik-baik? Bagaimana bisa bicara baik-baik ketika hatinya sedang diremukkan seperti ini? Bagaimana bisa bicara baik-baik ketika ia baru saja diberitahu bahwa suaminya akan berbagi ranjang dengan wanita lain?
"Salma..." Suara Rifky terdengar lebih dekat, seolah ia menyandarkan keningnya di pintu. "Aku tahu ini berat. Aku tahu kamu marah. Tapi tolong... jangan seperti ini. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Salma. Percayalah."
Salma mendengus. Janji itu terdengar begitu hampa sekarang. Bagaimana mungkin ia percaya pada janji itu, ketika janji untuk setia dan mencintainya seorang telah terkoyak? Poligami, bagi Salma, adalah bentuk pengkhianatan. Sebuah pengkhianatan yang dilegalkan, mungkin, tapi tetap saja pengkhianatan terhadap hati dan perasaannya.
Ia teringat kata-kata ibunya dulu, sebelum menikah. "Nak, pernikahan itu bukan cuma tentang cinta. Tapi juga tentang komitmen, kesetiaan, dan kemampuan untuk menghadapi badai bersama. Kamu harus kuat, Nak." Salma dulu mengira ia sudah cukup kuat. Tapi ternyata, badai ini terlalu besar. Badai ini mengancam untuk menenggelamkan seluruh kapalnya.
Beberapa saat kemudian, ketukan di pintu berhenti. Salma mendengar langkah kaki Rifky menjauh. Mungkin ia menyerah. Mungkin ia pergi. Atau mungkin ia pergi untuk melaporkan pada ibunya bahwa Salma masih keras kepala. Pikiran-pikiran negatif berpacu di benaknya, menambah beban yang sudah tak tertahankan.
Salma bangkit perlahan, berjalan ke jendela. Malam telah tiba. Bintang-bintang berserakan di langit Jakarta yang mendung. Lampu-lampu kota berkelip, seolah menertawakan kegelapan dalam hatinya. Ia melihat ke bawah, ke jalanan yang ramai. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tak ada yang tahu, di balik jendela ini, ada seorang wanita yang hatinya sedang hancur lebur.
Apakah ia harus menerima ini? Haruskah ia mengkhianati prinsipnya sendiri demi mempertahankan sebuah rumah tangga yang kini terasa seperti kerangkeng? Apakah kebahagiaannya akan ada jika ia harus berbagi suami, berbagi cinta, berbagi semua yang pernah ia anggap miliknya sendiri? Salma merasa mual membayangkannya.
Ataukah ia harus melepaskan? Meminta cerai? Memulai hidup baru, sendiri, tanpa Rifky? Gagasan itu sama menakutkannya. Lima tahun. Lima tahun ia telah menaruh semua harapannya pada pernikahan ini, pada Rifky. Ia telah membangun hidupnya di sekeliling pria itu. Bagaimana ia bisa membongkarnya, meruntuhkannya, dan membangunnya kembali dari nol, sendirian? Rasa sakit perpisahan, rasa malu karena 'gagal' mempertahankan rumah tangga, pandangan masyarakat... semua itu terasa seperti tembok besar yang menghalanginya.
Tapi, bisakah ia hidup dalam bayang-bayang istri kedua? Bisakah ia melihat Rifky membagi kasih sayangnya, membagi perhatiannya, membagi waktunya dengan wanita lain? Bisakah ia tidur di ranjang yang sama, sementara ia tahu suaminya baru saja bersama wanita lain? Pertanyaan-pertanyaan itu menusuknya, memuntahkan rasa jijik dan penolangan yang kuat. Tidak. Hatinya menjerit, tidak akan bisa.
Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Ia membuka galeri foto. Foto-foto pernikahan mereka, foto-foto liburan, foto-foto konyol mereka berdua. Senyum Rifky yang tulus, pelukan erat yang menenangkan. Semua kenangan indah itu kini terasa seperti pisau yang mengiris hatinya. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa takdir seolah mempermainkannya?
Salma ingin berteriak. Ingin membanting semua yang ada di ruangan ini. Tapi ia hanya bisa menangis. Isakannya kini tak lagi tertahan, memilukan, memenuhi keheningan kamar. Ia meremas ponselnya, jari-jarinya memutih.
Malam itu, Salma tidak tidur. Ia menghabiskan malamnya dengan merenung, menimbang, dan mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tak ada habisnya. Haruskah ia mengorbankan harga dirinya demi bertahan? Atau haruskah ia berani melangkah pergi, meski itu berarti menghadapi ketidakpastian yang mengerikan?
Pertanyaan itu berputar-putar di benaknya, seolah menjadi lagu pengantar tidur yang tak pernah berakhir.
"Akankah Salma menerima untuk dipoligami? Atau Salma meminta bercerai karena prinsip Salma tidak mau dimadu?"
Malam itu, di antara gugusan lara yang memenuhi pelupuk matanya, Salma tahu, keputusan besar ada di tangannya. Sebuah keputusan yang akan mengubah seluruh jalan hidupnya. Dan ia sama sekali tidak tahu, apakah ia memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan yang benar.