Unduh Aplikasi panas
Beranda / Fantasi / Bisikan Abu
Bisikan Abu

Bisikan Abu

5.0

Di sebuah kekaisaran yang menganggap api sebagai hukum dan abu menyimpan rahasia terlarang, Asha, seorang wanita muda yang berpura-pura bisu, ditawarkan sebagai upeti untuk melayani di kuil suci Ezen. Diberkahi dengan kemampuan aneh untuk membaca kenangan yang tersembunyi di dalam abu, ia menemukan bahwa kekuatannya melampaui apa yang diizinkan: ia dapat menghidupkan kembali fragmen masa lalu yang terlupakan, bahkan yang terkubur dalam perang yang tidak tercatat. Di bawah pengawasan ketat Kael, seorang pejuang yang menyembunyikan iblisnya sendiri, Asha mulai mengungkap kebenaran tentang garis keturunannya dan takdir gelap yang menantinya. Saat ketegangan dan ketertarikan tumbuh di antara mereka, kekaisaran diguncang oleh konspirasi dan pemberontakan yang membara. Namun, api yang menyala di dalam diri Asha mungkin menjadi penyelamat sekaligus malapetaka. Ujian ritual, aliansi yang tak terduga, dan pelarian yang putus asa menandai dimulainya petualangan yang menantang aturan kekuasaan dan mengungkapkan bahwa, di dalam abu, semuanya dapat terlahir kembali... atau mati selamanya.

Konten

Bab 1 Persembahan abu

Fajar di Dataran Tinggi Nareth tidak membawa harapan. Ia membawa asap.

Gunung-gunung terbakar tanpa suara di kejauhan, kobaran api abadi yang tak seorang pun coba padamkan. Itu adalah penghormatan kepada Api Besar, kata mereka. Tak seorang pun tahu kapan itu dimulai. Tak seorang pun ingat masa tanpa asap.

Asha berlutut di samping ranjang ibunya, yang desahannya serapuh abu yang dibawa angin melalui gubuk. Wajah wanita itu, yang layu karena demam dan usia, masih cantik bagi Asha, bukan karena apa yang ditunjukkannya, tetapi karena apa yang diingatnya: tawa yang kuat, tangan yang tahu cara menyembuhkan, suara yang bercerita di dekat api.

"Kau tidak harus melakukannya," bisik ibunya. Bibirnya nyaris tak bergerak.

"Ya, Ibu. Aku harus melakukannya." Asha memegang tangannya, menggigil dan lembap. Ia telah mengompresnya sepanjang malam, tetapi panasnya tidak kunjung reda. Bukan karena ramuan herbal. Bukan karena doa. Tidak ada yang cukup. "Itu satu-satunya cara untuk menyelamatkan kami. Untuk menyelamatkanmu." Ibunya ingin menangis, tetapi dia tidak meneteskan air mata. Hanya abu di tenggorokannya, seperti semua orang di Nareth.

Di luar, terompet ritual mulai dibunyikan.

Asha menggigil.

"Mereka datang," gumam ibunya. Dia memejamkan mata. Matahari hampir tidak muncul di atas puncak-puncak gunung, tetapi asap mewarnainya dengan warna merah darah.

Dia berdiri dengan tangan yang teguh. Dia bukan anak-anak. Tetapi dia juga belum sempat menjadi wanita. Kemiskinan di Dataran Tinggi melahap tahun-tahun seperti bara api melahap kayu-kayu tua.

Dia mengambil jubah cokelat milik para penyembah. Itu tidak cantik. Itu tidak dimaksudkan untuk menjadi seperti itu. Jubah dimaksudkan untuk menutupi tubuh, menghapus bentuk, dan menghapus identitas. Api Besar tidak mengambil individu. Itu mengambil abu manusia.

Ibunya membuka matanya dengan susah payah. Dia mengangkat tangan kurusnya, dan di dalamnya dia memegang kepang rambut. Tua. Cokelat. Ditenun dengan kawat tembaga.

"Pita gadismu," katanya. Suaranya lebih seperti asap daripada suara.

Asha mengambilnya. Dia mengikatkannya di lehernya. Merasakan luka bakar yang tak terlihat. Beban yang tak terukur.

"Jangan lupa siapa dirimu. Bahkan jika mereka mengambil namamu."

Asha tidak menjawab. Dia mencium dahi yang panas itu dan pergi. Tidak ada waktu untuk menangis.

Di alun-alun, penduduk desa sudah berkumpul. Seratus orang muda, semuanya berusia tepat, semuanya diam. Anak-anak kelaparan, asap, ketakutan.

Setiap tahun, Kekaisaran mengirim salah satu Penjaganya untuk memilih upeti. Seorang pemuda. Atau seorang wanita muda. Tidak seorang pun tahu mengapa mereka diambil. Beberapa mengatakan mereka diubah menjadi pelayan api. Yang lain, bahwa mereka dibakar hidup-hidup sebagai persembahan untuk menyalakan api suci yang membuat dunia terus berputar. Asha tidak mempercayai semua cerita itu. Dia hanya percaya pada satu kebenaran: siapa pun yang pergi, tidak akan pernah kembali.

Dan jika dia mempersembahkan, keluarganya menerima roti. Rempah-rempah. Arang. Obat-obatan. Selama setahun penuh.

Itu bukan pengorbanan. Itu adalah sebuah tawaran.

Terompet berhenti berbunyi. Sebuah kolom api melintasi langit seperti luka yang menyala-nyala. Dan dari langit turunlah sosok Sang Penjaga.

Dia tinggi, mengesankan, mengenakan jubah hitam berhias tembaga. Wajahnya ditutupi oleh topeng obsidian. Tidak ada mulut. Tidak ada mata. Tidak ada jiwa.

Dia berjalan tanpa berbicara. Para tetua desa membungkuk hingga mereka menyentuh tanah. Sang Penjaga berhenti di hadapan pemuda itu. Udara menjadi pekat. Suhu meningkat seolah-olah matahari tiba-tiba terbenam.

Satu per satu, dia menatap mereka. Atau begitulah kelihatannya. Meskipun tidak seorang pun tahu apa yang ada di balik topeng itu. Beberapa orang mengatakan bahwa para Penjaga itu bukan lagi manusia. Bahwa mereka telah dikonsumsi oleh kenangan akan api.

Ketika dia mencapai tengah barisan, Asha melangkah maju.

"Aku menawarkan diriku," katanya. Suaranya membelah udara seperti pisau. Suaranya tidak bergetar. Dia tidak ragu-ragu.

Sang Penjaga berhenti. Perlahan, dia mengangkat tangan dan menunjuk ke arahnya. Orang-orang itu mengembuskan napas bersamaan. Bergumam. Hening. Desahan.

Asha terkesima.

Dia tidak tahu apakah dia merasa lega atau sedih. Dia hanya berjalan, mengikutinya. Batu-batu itu terasa panas di bawah kakinya yang telanjang. Dia tidak menoleh ke belakang. Jika dia menoleh, batu itu akan hancur.

Sang Penjaga mengulurkan bola api di hadapannya. Bola itu melayang. Bola itu bergetar. Dan tanpa sepatah kata pun, dia mendorongnya ke dalam.

Asha melewati ambang pintu yang berapi-api itu. Tidak ada rasa sakit. Hanya kilatan, dengungan dalam, dan kekosongan di perutnya.

Ketika dia membuka matanya lagi, dia tidak lagi berada di Nareth.

Dia berada di perut Kekaisaran.

Udara terasa berat, dipenuhi resin dan asap manis. Mereka berada di ruang bawah tanah, diterangi oleh urat magma yang mengalir di dinding seperti sungai yang hidup. Sel-sel obsidian melayang di udara, bergetar dengan bahasa yang tidak dia mengerti.

Sang Penjaga berjalan melintasi jembatan batu, dan dia mengikutinya. Tubuhnya mulai berkeringat, jantungnya berdebar kencang. Namun, dia tidak bisa bicara. Dia seharusnya tidak bertanya.

Di ujung jembatan, tiga sosok menunggunya. Dua wanita dengan wajah tertutup cadar merah tua, dan seorang pria tua dengan kulit terbakar, matanya seperti bara api yang padam.

"Ini dia yang menawarkan," kata salah satu wanita, seolah membaca sebuah syair kuno.

Sang Penjaga mengangguk dan pergi tanpa sepatah kata pun.

Asha berdiri sendirian di hadapan mereka.

"Nama," perintah pria tua itu.

Dia membuka mulutnya, tetapi teringat kata-kata ibunya. Dan dia menutup bibirnya.

"Diamlah," kata lelaki tua itu. "Kau akan digolongkan sebagai "F-921."

F. Untuk api. Atau untuk persembahan. Atau untuk dilupakan.

Asha tidak protes. Ia tidak gemetar. Ia kuat. Ia pasti kuat.

Para wanita menanggalkan tuniknya. Mereka membasuh tubuhnya dengan abu harum dan menandai punggungnya dengan simbol bercahaya yang tidak dapat dilihatnya. Sakit. Namun, ia tidak menangis.

Ia menerima pakaian baru: linen gelap, dan kerah besi. Tanpa perhiasan. Tanpa jiwa.

Malam itu, ia tidur di sel batu. Bersama tiga wanita muda lainnya. Tak seorang pun berbicara. Semua gemetar.

Tidak Asha.

Ia memikirkan ibunya. Tentang roti yang akan tiba di gubuk. Tentang ramuan yang akan meredakan demamnya.

Ia pikir penderitaan ini ada artinya.

Di luar, api abadi menyala di atas Kuil Kenangan.

Dan Asha, putri asap, mulai memahami apa artinya menjadi kenangan yang hidup.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Abu yang mengingat   06-28 19:50
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY