Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Aku Kehilangan Bayiku
Aku Kehilangan Bayiku

Aku Kehilangan Bayiku

5.0

Ketika suaminya, Reza, mengabaikannya, Maya tetap bertahan dan tersenyum. Bahkan, saat Reza tidak mengakui statusnya di depan umum, Maya tetap mencintai dan mengasihinya. Ia menjadi penguat Reza selama ini. Pengabaian yang selama ini ia terima, kali ini membuat Maya sadar bahwa ia sudah berada di batas cinta. Cinta dan keteguhannya luluh lantak di saat ia harus melahirkan tanpa bantuan satu orang pun. Sang bayi yang masih berlumuran darah itu harus meregang nyawa tepat di depan matanya. Kali ini Maya menyerah. Menyerah akan cintanya, dan menyerah akan rumah tangganya. Namun, tak sekalipun ia berpikir jika pengabaian itu membuatnya kehilangan sang bayi yang menjadi penguatnya selama ini. Jika kehilangan sang anak membuat cinta Maya menghilang, tapi tidak dengan Reza, sang suami. Laki-laki itu merasa kehilangan akan sosok Maya dan sang bayi yang diam-diam ia sayangi. Reza juga sadar satu hal, ia mencintai wanita itu. Wanita yang selalu menemaninya, meskipun ia abaikan. Bisakah Reza kembali mendapatkan cinta dari sang istri? Sementara sang istri sudah jauh berbeda. Wanita itu bahkan terlihat tidak lagi membutuhkan sosoknya dalam hidup.

Konten

Bab 1 Enam tahun

Senja merangkak perlahan, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga dan ungu yang memukau. Di sebuah apartemen mewah yang menjulang tinggi, di tengah hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur, Maya berdiri di depan jendela, menatap ke bawah. Gemerlap lampu kota mulai menyala, menciptakan lautan cahaya yang menipu mata. Dari sini, semua terlihat indah, damai, seolah tak ada beban yang menindih. Namun, bagi Maya, pemandangan itu terasa hambar, cerminan dari kekosongan yang merayapi hatinya.

Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir sesak yang terasa di dada. Sudah berapa lama ia hidup dalam kepura-puraan ini? Lima tahun? Enam tahun? Sejak ia memutuskan untuk menikah dengan Reza, ia tahu hidupnya tidak akan sama. Ia mencintai Reza, mencintainya dengan segenap jiwa, bahkan ketika logika berteriak untuk berhenti. Reza adalah pria impian banyak wanita: tampan, sukses, berkarisma. Tapi di balik semua itu, ada jurang dalam yang tak pernah Maya pahami, sebuah dinding tak terlihat yang selalu Reza bangun di antara mereka.

Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, adalah hari ulang tahun pernikahan mereka. Tahun keenam. Seharusnya ada kejutan, setidaknya ucapan selamat, atau bahkan sekadar kehadiran Reza. Namun, kursi di sampingnya di meja makan tetap kosong. Lilin-lilin di atas kue tart stroberi yang ia buat sendiri, yang dulunya menyala penuh harapan, kini terasa seperti bara yang perlahan padam. Makanan yang ia siapkan dengan penuh cinta, kini dingin dan tak tersentuh.

Maya masih ingat, dulu, ia selalu percaya akan dongeng. Percaya bahwa cinta sejati akan mengatasi segalanya, bahwa kesabaran akan berbuah manis. Ia percaya bahwa ia bisa mengubah Reza, meluluhkan hatinya yang beku dengan kehangatan cintanya. Ia tersenyum tipis, senyum yang getir. Betapa naifnya ia.

Reza memang selalu begitu. Acuh tak acuh. Dingin. Seolah Maya adalah bayangan yang tak kasat mata di dalam rumah mereka sendiri. Pernah suatu ketika, saat mereka menghadiri acara reuni kampus Reza, Maya mencoba menggenggam tangannya. Namun, Reza segera menariknya, seolah sentuhan Maya adalah sesuatu yang menjijikkan. "Jangan berlebihan, Maya," bisiknya tajam, tanpa ekspresi. "Kita di depan teman-temanku." Maya saat itu hanya bisa menunduk, menahan perih yang mencengkeram. Ia memaksakan senyum, berpura-pura baik-baik saja di depan teman-teman Reza yang sesekali meliriknya dengan tatapan penuh tanda tanya.

Bahkan di depan keluarganya sendiri, Reza tidak pernah mengakui Maya sebagai istrinya dengan bangga. Ia selalu memperkenalkan Maya sebagai "teman dekat" atau "rekan kerja" jika ada orang lain di sekitar. Tidak pernah ia menyebut "istriku". Tidak pernah. Maya selalu menemukan alasan untuk membenarkan perlakuan Reza. Mungkin Reza tidak ingin hubungannya terlalu terekspos karena pekerjaannya. Mungkin ia hanya pribadi yang tertutup. Mungkin... mungkin ada seribu alasan yang ia karang demi menjaga secercah harapan.

Namun, pengabaian itu lebih dari sekadar ketidakpedulian. Pengabaian itu adalah racun yang merayap perlahan, mengikis jiwanya. Ia merasa transparan, tidak ada. Ia mencoba mencari perhatian Reza dengan berbagai cara. Ia memasak makanan kesukaannya, ia menemaninya di mana pun ia pergi, ia bahkan berusaha tampil sempurna setiap saat, berharap Reza akan meliriknya, setidaknya sekali saja. Tapi tidak ada. Tatapan mata Reza selalu kosong ketika melihatnya, seolah Maya adalah perabot tak bernyawa.

Maya sering bertanya pada dirinya sendiri, mengapa? Mengapa Reza menikahinya jika ia tidak mencintainya? Pertanyaan itu selalu menghantuinya, namun tak pernah terjawab. Ia pernah mencoba bertanya langsung, di awal pernikahan mereka. Reza hanya menatapnya datar, lalu berbalik dan pergi. Sejak saat itu, Maya berhenti bertanya. Ia memilih untuk memendam semuanya sendiri, tersenyum, dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Malam itu, setelah berjam-jam menunggu yang sia-sia, Maya memutuskan untuk memotong kue ulang tahun pernikahan mereka sendirian. Ia menyalakan lilin lagi, berharap api kecil itu bisa menghangatkan hatinya yang membeku. Namun, api itu hanya menyoroti kesendiriannya. Ia memejamkan mata, membiarkan setetes air mata jatuh. Ini adalah batasnya. Ia merasa telah mencapai ujung jurang, tempat di mana cinta dan keteguhannya akan hancur lebur.

Beberapa bulan kemudian, kehidupan Maya mengalami perubahan drastis. Ia hamil. Kabar ini seharusnya menjadi kabar bahagia, sebuah titik terang di tengah kegelapan rumah tangganya. Ia membayangkan Reza akan berubah, akan menjadi lebih lembut, lebih perhatian. Ia membayangkan keluarga kecil yang bahagia, tawa anak-anak yang memenuhi rumah, sebuah kehangatan yang selama ini ia rindukan.

Namun, reaksi Reza jauh dari yang ia bayangkan. Saat Maya memberanikan diri memberitahunya, Reza hanya menatapnya dingin. "Benarkah?" tanyanya datar, tanpa emosi. Tidak ada senyum, tidak ada pelukan, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaan Maya. Hanya keheningan yang memekakkan telinga setelah itu. Reza tidak pernah lagi membahas kehamilan Maya. Ia tidak pernah menanyakan kesehatan Maya, tidak pernah mengelus perutnya yang membuncit, bahkan tidak pernah ikut ke pemeriksaan rutin. Maya pergi sendiri, membawa harapan dan ketakutan yang bercampur aduk.

Ia memutuskan untuk tetap tegar. Demi bayinya. Ia akan menjadi ibu yang kuat, ibu yang penuh cinta. Ia akan memberikan semua yang ia miliki untuk makhluk kecil yang tumbuh di rahimnya. Bayinya adalah satu-satunya alasan ia masih bertahan di rumah itu, satu-satunya alasan ia masih bernapas.

Masa kehamilan adalah masa yang penuh tantangan bagi Maya. Mual di pagi hari, sakit punggung, kaki bengkak – semua ia lalui sendiri. Reza selalu pulang larut malam, atau tidak pulang sama sekali. Teleponnya jarang berdering, dan jika pun berdering, itu bukan Reza. Maya mencoba mengisi kekosongan dengan persiapan menyambut bayi. Ia membeli pakaian bayi mungil, mendekorasi kamar bayi dengan warna-warna cerah, dan membaca buku-buku tentang perawatan bayi. Setiap kali ia menyentuh barang-barang mungil itu, ia merasa ada sedikit kebahagiaan yang meresap, sebuah kebahagiaan yang rapuh namun nyata.

Hari itu tiba, lebih cepat dari perkiraan. Pagi buta, Maya merasakan kontraksi yang hebat. Rasa sakit itu tak tertahankan, menjalar dari punggung hingga ke perut. Ia berusaha menghubungi Reza, tetapi ponselnya tidak aktif. Ia mencoba menghubungi kerabat, tetapi tidak ada yang bisa dihubungi secepat itu. Panik mulai menyerang, bercampur dengan rasa sakit yang semakin intens.

Ia mencoba bangkit, melangkah ke kamar mandi, tetapi kakinya gemetar. Air ketubannya pecah, membanjiri lantai. Maya tahu ia harus segera ke rumah sakit. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia menyeret tubuhnya ke pintu, mencoba meraih kunci mobil. Namun, rasa sakit itu seperti cakar yang meremasnya. Ia ambruk di lantai dingin, napasnya tersengal-sengal.

"Reza..." desisnya lemah, berharap suaminya akan tiba-tiba muncul seperti pahlawan dalam dongeng. Tapi tidak ada siapa pun. Hanya keheningan yang menjadi saksi bisu perjuangannya.

Rasa sakit itu semakin memuncak, tak tertahankan. Maya tahu ia tidak akan bisa mencapai rumah sakit. Ia sendirian. Sepenuhnya sendirian. Di ambang kesadaran dan kegelapan, ia teringat semua pengabaian Reza, semua kebohongan yang ia telan, semua air mata yang ia sembunyikan. Dan kini, di saat yang paling krusial dalam hidupnya, Reza tidak ada di sisinya.

Dengan sisa kekuatan terakhir, Maya mencoba melakukan apa yang ia bisa. Ia mengumpulkan semua keberaniannya, semua insting keibuannya, untuk melahirkan bayinya. Rasa sakit itu tak terlukiskan, namun ia fokus pada satu hal: bayinya harus selamat. Ia mengejan, mengerahkan seluruh tenaganya, melawan rasa sakit yang mengoyak tubuhnya.

Beberapa saat kemudian, tangisan lemah memecah keheningan. Bayinya lahir. Seorang bayi mungil, berlumuran darah, menangis pilu. Maya meraihnya, mendekapnya erat ke dada. Tangannya gemetar, air mata membasahi pipinya. Ini adalah bayinya, buah hatinya, satu-satunya yang ia miliki. Ia mencium kening mungil itu, merasakan kehangatan kulitnya. Sekilas, semua rasa sakit dan kepedihan hilang, digantikan oleh gelombang cinta yang tak terbatas.

Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Tangisan bayinya semakin melemah, napasnya tersengal-sengal. Warna kulitnya yang semula kemerahan mulai memudar. Maya panik. "Nak... nak, jangan tinggalkan Ibu," bisiknya, suaranya tercekat. Ia mencoba mengguncangnya pelan, berharap bayi itu akan kembali menangis keras. Namun, napas bayi itu berhenti. Matanya terpejam.

Dunia Maya runtuh.

Bayi yang masih berlumuran darah itu, yang baru saja ia peluk, kini tak bergerak di tangannya. Ia meremas tubuh mungil itu, tak percaya. Ini tidak mungkin. Ini adalah mimpi buruk. Ia berteriak, meraung, memanggil nama bayinya berulang kali, berharap keajaiban akan terjadi. Namun, keajaiban tidak datang.

Di lantai dingin apartemennya, dikelilingi oleh darah dan air mata, Maya mendekap erat tubuh tak bernyawa bayinya. Dingin. Kaku. Hati Maya hancur berkeping-keping. Itu bukan hanya kematian seorang bayi, itu adalah kematian harapan, kematian cinta, kematian dirinya sendiri. Pengabaian Reza, semua rasa sakit yang selama ini ia tahan, semua keteguhan yang ia paksa, kini memuncak pada satu titik kehancuran yang tak terperikan. Ia telah melewati batas. Batas di mana cinta berubah menjadi kebencian, di mana harapan berubah menjadi keputusasaan.

Jam demi jam berlalu. Maya tidak tahu berapa lama ia tergeletak di sana, memeluk jasad bayinya. Air matanya telah mengering, hanya menyisakan perih yang membakar. Pikirannya kosong, namun sekaligus dipenuhi oleh gambaran mengerikan tentang apa yang baru saja terjadi. Ia melihat wajah Reza, wajah acuh tak acuh yang selalu menghantuinya. Jika saja Reza ada di sana, jika saja ia tidak mengabaikannya, mungkin bayinya akan selamat. Mungkin.

Ketika pintu apartemen terbuka, dan Reza masuk dengan wajah lelah seperti biasa, Maya tidak bereaksi. Ia hanya menatap Reza dengan tatapan kosong, matanya merah dan bengkak. Reza terkejut melihat kekacauan di apartemen dan Maya yang tergeletak di lantai. Ia bergegas mendekat, ekspresi kebingungan di wajahnya.

"Maya? Ada apa ini?" tanyanya, suaranya sedikit panik.

Maya tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya yang gemetar, menunjukkan gumpalan kain putih yang menutupi tubuh mungil di pelukannya. Reza menatapnya, lalu pandangannya jatuh pada gumpalan kain itu. Perlahan, ia meraih kain itu, membukanya. Wajahnya memucat. Matanya melebar.

"Bayi..." bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.

Maya melihat perubahan ekspresi di wajah Reza. Terkejut. Sedih. Bahkan... menyesal? Tapi bagi Maya, itu sudah terlambat. Jauh terlambat. Ia tidak merasakan apa-apa lagi. Hanya mati rasa yang menusuk tulang.

"Dia... dia meninggal," suara Maya keluar serak, nyaris tak dikenali. "Aku melahirkannya sendirian. Dia... dia kedinginan. Dia... dia menunggu ayahnya."

Kata-kata itu menghantam Reza seperti palu godam. Ia mundur selangkah, seolah terpukul. Pandangannya beralih dari jasad bayinya ke Maya, lalu kembali lagi ke bayi itu. Ada gejolak di matanya yang selama ini selalu dingin. Gejolak yang tidak pernah Maya lihat sebelumnya. Penyesalan. Kesedihan. Rasa bersalah.

"Maya... aku..." Reza mencoba meraih tangannya, tetapi Maya menariknya menjauh.

"Jangan sentuh aku," kata Maya, suaranya dingin, tanpa emosi. "Jangan sentuh aku dan jangan sentuh dia."

Reza terpaku. Ia menatap Maya, wanita yang dulu selalu tersenyum padanya, wanita yang selalu mencintainya tanpa syarat. Wanita yang kini menatapnya dengan kebencian yang mendalam. Ia melihat kekosongan di mata Maya, sebuah jurang yang lebih dalam dari jurang di hatinya sendiri. Ia melihat bahwa cahaya di mata Maya telah padam, dan ia tahu, dialah penyebabnya.

Ia mencoba menjelaskan, mencoba meminta maaf. "Aku tidak tahu... aku... aku minta maaf, Maya."

"Minta maaf?" Maya tertawa getir, tawa yang tak ada nada bahagia di dalamnya. "Untuk apa? Untuk mengabaikanku selama bertahun-tahun? Untuk tidak pernah menganggapku ada? Untuk membiarkanku melahirkan anak kita sendirian? Untuk membiarkan dia meninggal di tanganku?"

Setiap kata adalah tusukan tajam bagi Reza. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pengabaiannya akan berujung pada tragedi sebesar ini. Ia selalu berpikir bahwa Maya akan selalu ada, akan selalu memaafkannya, akan selalu mencintainya. Ia telah menganggap Maya sebagai sesuatu yang sudah pasti, seperti udara yang ia hirup.

Di masa lalu, Reza memang seorang pria yang ambisius, fokus pada pekerjaannya, dan kurang peka terhadap perasaan orang lain. Ia tumbuh dalam keluarga yang kurang menunjukkan kasih sayang secara verbal, sehingga ia belajar untuk menekan emosinya sendiri. Ia menganggap bahwa menyediakan kebutuhan materi adalah bentuk cinta yang paling penting. Ia percaya bahwa selama ia memberikan kenyamanan finansial, semua akan baik-baik saja. Ia tidak pernah menyadari betapa Maya haus akan perhatian, sentuhan, dan kata-kata cinta. Ia selalu menganggap bahwa kesabaran Maya adalah hal yang tak terbatas, dan bahwa senyum Maya adalah tanda kebahagiaan sejati, bukan topeng yang ia kenakan.

Ketika Maya hamil, Reza merasakan sedikit gejolak di hatinya. Ada rasa haru, bahkan kebanggaan. Tapi ia terlalu takut untuk menunjukkannya. Ia takut jika ia menunjukkan kelembutan, ia akan terlihat lemah. Ia takut jika ia terlalu terlibat, ia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia memilih untuk tetap menjaga jarak, bersembunyi di balik kesibukannya, berpura-pura bahwa kehamilan itu tidak ada. Ia mengira Maya akan baik-baik saja, seperti biasanya. Ia tidak tahu, atau tidak mau tahu, bahwa Maya membutuhkan dirinya lebih dari sebelumnya.

Melihat jasad bayinya yang mungil, dan tatapan mata Maya yang kosong, menyadarkan Reza betapa besar kesalahannya. Selama ini, ia telah mencintai Maya dengan caranya sendiri yang cacat. Ia menyayangi wanita itu, wanita yang selalu menemaninya, wanita yang selalu ada di sisinya meskipun ia abaikan. Ia selalu tahu bahwa Maya adalah wanita yang baik, setia, dan penuh kasih. Namun, ia terlalu sombong, terlalu egois, untuk mengakui perasaannya. Ia terlalu sibuk mengejar ambisi dan menjaga citra yang ia bangun, sehingga ia lupa akan hal terpenting dalam hidupnya: keluarga.

Kini, semua terlambat. Maya telah hancur. Bayi mereka telah tiada. Rasa sakit yang membanah di hati Reza, rasa kehilangan yang mendalam, tidak bisa dibandingkan dengan apa yang dirasakan Maya. Ia telah kehilangan sosok Starla, ya, Starla adalah nama yang pernah mereka sepakati untuk bayi perempuan mereka, jika itu perempuan. Nama yang pernah ia dengar Maya bisikkan saat mengelus perutnya. Dan ia diam-diam menyayangi nama itu, sama seperti ia diam-diam menyayangi Starla, dan Maya.

Reza berlutut di samping Maya, air mata mulai mengalir dari matanya. Ini adalah pertama kalinya Maya melihat Reza menangis. Air mata penyesalan. Air mata kesedihan yang mendalam. "Aku minta maaf, Maya. Aku tahu aku salah. Aku sungguh minta maaf."

Maya hanya menatapnya, tanpa ekspresi. Tidak ada lagi cinta, tidak ada lagi kebencian. Hanya kehampaan yang tak terbatas. "Cukup, Reza," katanya, suaranya datar. "Aku menyerah."

Menyerah akan cintanya. Menyerah akan rumah tangganya. Menyerah akan semua harapan yang pernah ia genggam. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Reza. Ia tahu, kata-kata itu bukan hanya sekadar kalimat. Itu adalah akhir dari segalanya.

Beberapa hari kemudian, setelah proses pemakaman yang dilakukan dalam kesunyian dan kesedihan yang mendalam, Maya meninggalkan apartemen. Ia tidak membawa banyak barang, hanya tas kecil berisi beberapa pakaian. Reza mencoba menahannya, memohon agar ia tetap tinggal, berjanji akan berubah.

"Aku akan melakukan apa saja, Maya. Aku akan berubah. Aku akan memperbaiki semuanya," pinta Reza, suaranya penuh keputusasaan.

Maya hanya menatapnya. Matanya kini benar-benar kosong, tak ada lagi jejak-jejak emosi yang tersisa. "Terlambat, Reza," katanya pelan. "Terlambat untuk segalanya."

Ia berjalan pergi, meninggalkan Reza yang terpaku di ambang pintu, menatap punggungnya yang menjauh. Reza merasa seperti ada lubang menganga di dadanya. Ia telah kehilangan wanita yang ia cintai, dan ia telah kehilangan bayinya. Semua karena kebodohannya, karena keangkuhannya, karena pengabaiannya.

Rumah yang dulu selalu ia anggap sebagai tempat kembali, kini terasa dingin dan kosong. Tanpa kehadiran Maya, tanpa senyumnya, tanpa aroma masakannya, tanpa tawa yang sesekali keluar dari bibirnya, apartemen itu terasa seperti makam. Reza menyadari, betapa ia membutuhkan Maya. Wanita yang selalu menemaninya, wanita yang selalu ada di sana, wanita yang selalu mencintainya bahkan ketika ia memperlakukannya seperti sampah.

Penyesalan itu datang menghantamnya seperti ombak raksasa, menenggelamkannya dalam kegelapan. Ia telah kehilangan segalanya, dan ia tahu itu adalah kesalahannya sendiri. Ia telah menghancurkan satu-satunya hal berharga yang ia miliki.

Bisakah Reza kembali mendapatkan cinta dari sang istri? Sementara sang istri sudah jauh berbeda. Wanita itu bahkan terlihat tidak lagi membutuhkan sosoknya dalam hidup. Apakah penyesalan yang begitu dalam ini akan cukup untuk mengubah seorang Reza, yang selama ini tertutup dan acuh tak acuh? Atau apakah kehancuran ini akan menjadi akhir dari segalanya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, tetapi satu hal yang pasti, jalan yang terbentang di depan Reza adalah jalan yang panjang dan penuh rintangan, jalan yang mungkin tidak akan pernah berakhir dengan kebahagiaan yang ia impikan. Maya, bagi Reza, kini telah menjadi bayangan yang sulit untuk digapai kembali.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 24 selamanya   Kemarin lusa08:30
img
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY