k kota yang tak pernah tidur, Maya berdiri di depan jendela, menatap ke bawah. Gemerlap lampu kota mulai menyala, menciptakan lautan cahaya yang menipu mata. Dari si
ah dengan Reza, ia tahu hidupnya tidak akan sama. Ia mencintai Reza, mencintainya dengan segenap jiwa, bahkan ketika logika berteriak untuk berhenti. Reza adalah pria impian bany
u bahkan sekadar kehadiran Reza. Namun, kursi di sampingnya di meja makan tetap kosong. Lilin-lilin di atas kue tart stroberi yang ia buat sendiri, yan
egalanya, bahwa kesabaran akan berbuah manis. Ia percaya bahwa ia bisa mengubah Reza, meluluhkan ha
mencoba menggenggam tangannya. Namun, Reza segera menariknya, seolah sentuhan Maya adalah sesuatu yang menjijikkan. "Jangan berlebihan, Maya," bisiknya tajam, tanpa ekspresi. "Kita di depan teman-temanku
jika ada orang lain di sekitar. Tidak pernah ia menyebut "istriku". Tidak pernah. Maya selalu menemukan alasan untuk membenarkan perlakuan Reza. Mungkin Reza tidak ingin
ncoba mencari perhatian Reza dengan berbagai cara. Ia memasak makanan kesukaannya, ia menemaninya di mana pun ia pergi, ia bahkan berusaha tampil sempurna setiap saa
amun tak pernah terjawab. Ia pernah mencoba bertanya langsung, di awal pernikahan mereka. Reza hanya menatapnya datar, lalu berbalik dan pergi.
lin lagi, berharap api kecil itu bisa menghangatkan hatinya yang membeku. Namun, api itu hanya menyoroti kesendiriannya. Ia memejamkan mata, memb
h titik terang di tengah kegelapan rumah tangganya. Ia membayangkan Reza akan berubah, akan menjadi lebih lembut, lebih perhatia
ada pelukan, tidak ada pertanyaan tentang bagaimana perasaan Maya. Hanya keheningan yang memekakkan telinga setelah itu. Reza tidak pernah lagi membahas kehamilan Maya. Ia tidak pernah me
ta. Ia akan memberikan semua yang ia miliki untuk makhluk kecil yang tumbuh di rahimnya. Bayinya
eponnya jarang berdering, dan jika pun berdering, itu bukan Reza. Maya mencoba mengisi kekosongan dengan persiapan menyambut bayi. Ia membeli pakaian bayi mungil, mendekorasi kamar bayi dengan warna-
njalar dari punggung hingga ke perut. Ia berusaha menghubungi Reza, tetapi ponselnya tidak aktif. Ia mencoba menghubungi kera
hu ia harus segera ke rumah sakit. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia menyeret tubuhnya ke pintu, mencoba meraih kumuncul seperti pahlawan dalam dongeng. Tapi tidak ada siapa
enuhnya sendirian. Di ambang kesadaran dan kegelapan, ia teringat semua pengabaian Reza, semua kebohongan yang ia tela
emua insting keibuannya, untuk melahirkan bayinya. Rasa sakit itu tak terlukiskan, namun ia fokus pada satu ha
ndekapnya erat ke dada. Tangannya gemetar, air mata membasahi pipinya. Ini adalah bayinya, buah hatinya, satu-satunya yang ia miliki. Ia mencium k
emula kemerahan mulai memudar. Maya panik. "Nak... nak, jangan tinggalkan Ibu," bisiknya, suaranya tercekat. Ia mencoba
Maya r
emas tubuh mungil itu, tak percaya. Ini tidak mungkin. Ini adalah mimpi buruk. Ia berteriak, meraung,
ematian seorang bayi, itu adalah kematian harapan, kematian cinta, kematian dirinya sendiri. Pengabaian Reza, semua rasa sakit yang selama ini ia tahan, semua keteguhan yang ia paks
h yang membakar. Pikirannya kosong, namun sekaligus dipenuhi oleh gambaran mengerikan tentang apa yang baru saja terjadi. Ia melihat wajah Reza, w
a hanya menatap Reza dengan tatapan kosong, matanya merah dan bengkak. Reza terkejut melihat kekacauan
?" tanyanya, suara
tih yang menutupi tubuh mungil di pelukannya. Reza menatapnya, lalu pandangannya jatuh pada gya, suaranya nya
an... menyesal? Tapi bagi Maya, itu sudah terlambat. Jauh terlambat.
yaris tak dikenali. "Aku melahirkannya sendirian.
eralih dari jasad bayinya ke Maya, lalu kembali lagi ke bayi itu. Ada gejolak di matanya yang selama i
oba meraih tangannya, teta
aranya dingin, tanpa emosi. "Janga
Wanita yang kini menatapnya dengan kebencian yang mendalam. Ia melihat kekosongan di mata Maya, sebuah jurang yang lebih
meminta maaf. "Aku tidak tahu.
? Untuk mengabaikanku selama bertahun-tahun? Untuk tidak pernah menganggapku ada? Untuk
pada tragedi sebesar ini. Ia selalu berpikir bahwa Maya akan selalu ada, akan selalu memaafkannya, akan s
uk menekan emosinya sendiri. Ia menganggap bahwa menyediakan kebutuhan materi adalah bentuk cinta yang paling penting. Ia percaya bahwa selama ia memberikan kenyamanan finansial, semua akan baik-baik saja. Ia tidak pernah men
akan terlihat lemah. Ia takut jika ia terlalu terlibat, ia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia memilih untuk tetap menjaga jarak, bersembunyi di balik kesibukannya, berp
nyayangi wanita itu, wanita yang selalu menemaninya, wanita yang selalu ada di sisinya meskipun ia abaikan. Ia selalu tahu bahwa Maya adalah wanita yang baik, setia, dan penuh kasih. Namun,
dengan apa yang dirasakan Maya. Ia telah kehilangan sosok Starla, ya, Starla adalah nama yang pernah mereka sepakati untuk bayi perempuan mereka, jika itu peremp
rtama kalinya Maya melihat Reza menangis. Air mata penyesalan. Air mata kesedihan
, tidak ada lagi kebencian. Hanya kehampaan yang tak terbat
n yang pernah ia genggam. Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Reza. Ia
ng mendalam, Maya meninggalkan apartemen. Ia tidak membawa banyak barang, hanya tas kecil berisi
an berubah. Aku akan memperbaiki semuanya,
, tak ada lagi jejak-jejak emosi yang tersisa. "Terlam
. Reza merasa seperti ada lubang menganga di dadanya. Ia telah kehilangan wanita yang ia cintai, da
sakannya, tanpa tawa yang sesekali keluar dari bibirnya, apartemen itu terasa seperti makam. Reza menyadari, betapa ia membutuhkan Maya. Wani
alam kegelapan. Ia telah kehilangan segalanya, dan ia tahu itu adalah kesalaha
untuk mengubah seorang Reza, yang selama ini tertutup dan acuh tak acuh? Atau apakah kehancuran ini akan menjadi akhir dari segalanya? Hanya waktu yang bisa menjawabnya, tetapi satu hal yang pasti, jalan yang terbentang