Putri adalah definisi keindahan yang anggun dan kecerdasan yang memukau. Dengan rambut hitam panjangnya yang selalu tergerai indah, kulit seputih pualam, dan mata cokelat gelap yang memancarkan kehangatan, ia sering kali menjadi pusat perhatian tanpa harus berusaha. Namun, lebih dari sekadar fisik, Putri dikenal karena hatinya yang lembut, empatinya yang dalam, dan kecerdasannya yang terasah. Ia seorang arsitek muda yang sedang meniti karier di salah satu firma desain terkemuka di Jakarta, pekerjaan yang ia cintai dan kuasai dengan sepenuh hati. Setiap detail, setiap garis, setiap konsep yang ia tuangkan di atas kertas adalah cerminan dari ketelitian dan passion-nya.
Suaminya, Dimas Satria, adalah kebanggaan dan cinta sejatinya. Seorang pria gagah dengan postur atletis, rahang tegas, dan tatapan mata yang tajam namun penuh kehangatan saat memandang Putri. Dimas adalah CEO muda yang sukses memimpin sebuah perusahaan teknologi swasta yang sedang berkembang pesat. Sejak mereka bertemu di sebuah seminar bisnis lima tahun lalu, Putri sudah tahu bahwa Dimas adalah belahan jiwanya. Ada koneksi instan, percikan yang tak terbantahkan, dan janji-janji masa depan yang terukir dalam setiap tatapan dan sentuhan mereka. Cinta mereka mekar dengan indah, berujung pada sebuah pernikahan impian yang diadakan di tepi pantai, disaksikan oleh orang-orang terkasih.
Empat tahun pernikahan telah mereka jalani dengan tawa, canda, dan dukungan tak terbatas. Dimas adalah suami yang ideal di mata Putri dan orang-orang di sekitar mereka. Ia romantis, selalu mengingat tanggal-tanggal penting, tak pernah lupa membawakan bunga mawar merah setiap pulang kerja, dan selalu menyempatkan diri untuk makan malam berdua di tengah jadwalnya yang padat. Ia adalah pendengar yang baik, selalu ada di sisi Putri saat ia menghadapi kesulitan, dan tak pernah ragu memberikan pujian atas setiap pencapaian Putri. Mereka adalah pasangan sempurna, cemburu sosial bagi banyak teman dan kerabat. Rumah mereka di kawasan elit Jakarta Selatan adalah istana kecil yang penuh kehangatan, menjadi saksi bisu setiap ciuman pagi, pelukan hangat, dan bisikan cinta di malam hari.
Namun, kebahagiaan yang telah mereka rajut dengan begitu hati-hati itu, yang Putri yakini sekuat karang dan setenang laut, ternyata tidak seindah dan sesempurna yang ia harapkan. Bahtera rumah tangga mereka yang kokoh kini diterjang badai hebat, badai yang muncul tiba-tiba dari arah yang tak pernah Putri duga.
Pagi itu, yang seharusnya biasa, tiba-tiba berubah menjadi neraka. Putri sedang menyelesaikan sarapannya-roti panggang dengan selai stroberi kesukaannya-sambil sesekali melirik Dimas yang sedang sibuk dengan laptopnya di meja makan. Ia tersenyum tipis melihat Dimas yang begitu fokus, betapa beruntungnya ia memiliki suami yang begitu pekerja keras dan berdedikasi. Namun, senyum itu perlahan memudar ketika ponselnya bergetar di samping piring. Sebuah notifikasi pesan masuk dari Lisa, teman kuliahnya yang kini bekerja di kota yang berbeda.
"Putri, apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja," begitu bunyi pesan pembuka Lisa. Nada pesan itu sudah terasa aneh, sedikit tegang, tidak seperti Lisa yang biasanya ceria. Putri mengerutkan kening, menggeser layar untuk membaca pesan selanjutnya.
"Aku minta maaf sebelumnya karena harus mengirimkan ini, tapi aku merasa ini penting. Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahumu, Put..."
Hati Putri mulai berdebar tak karuan. Ada firasat buruk yang merayapi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dimas sempat melirik, "Ada apa, Sayang? Kelihatannya tegang sekali."
Putri hanya tersenyum tipis, menggeleng, "Bukan apa-apa, mungkin cuma masalah pekerjaan." Ia berbohong, padahal ia tahu ada yang tidak beres.
Kemudian, pesan selanjutnya muncul. Sebuah tautan video dan beberapa foto. Putri menelan ludah, jarinya gemetar saat ia menekan tautan video itu. Layar ponselnya menampilkan adegan yang langsung membekukan darahnya, membuat jantungnya seolah berhenti berdetak.
Sebuah pernikahan. Bukan pernikahan biasa. Pernikahan yang sangat mewah, dengan dekorasi megah, bunga-bunga indah, dan kerumunan tamu yang bersuka cita. Dan di tengah keramaian itu, berdiri dua sosok yang sangat Putri kenal.
Sosok pria gagah dengan setelan jas pengantin putih bersih, tersenyum lebar, memancarkan aura kebahagiaan yang tak tertahankan. Itu Dimas. Suaminya. Dimas Satria.
Di sampingnya, dengan gaun pengantin menjuntai anggun, adalah seorang wanita yang juga tersenyum bahagia, memegang lengan Dimas dengan mesra. Rambut panjangnya terurai indah, riasan wajahnya sempurna, dan matanya memancarkan binar kebahagiaan yang sama. Wanita itu adalah Rina, adik sepupu Putri, yang selama ini Putri anggap seperti adiknya sendiri. Rina, yang sering datang ke rumah mereka, makan malam bersama, dan bahkan kadang menginap. Rina, yang Putri kenalkan pada Dimas di sebuah acara keluarga setahun yang lalu.
Dunia Putri seolah runtuh dalam sekejap. Suara tawa Dimas di video itu, suara janji pernikahan yang diucapkan dengan mantap, suara riuh tepuk tangan para tamu, semuanya berputar-putar di kepalanya, bercampur menjadi satu simfoni kehancuran yang memekakkan telinga. Ia mencoba bernapas, tapi rasanya paru-parunya tak mau bekerja. Tangannya gemetar hebat, ponsel nyaris terlepas dari genggamannya.
"Tidak... tidak mungkin," bisiknya, suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia memutar video itu lagi, hanya untuk memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Tapi tidak, setiap adegan, setiap senyuman, setiap sentuhan mesra antara Dimas dan Rina adalah kenyataan yang mengerikan. Ada adegan di mana Dimas mengecup kening Rina dengan penuh kasih sayang, seperti yang sering ia lakukan pada Putri. Ada adegan mereka berpegangan tangan saat memotong kue pernikahan, tangan yang sama yang selalu menggenggam tangan Putri dengan janji kesetiaan.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Putri, lalu mengalir deras membasahi pipinya. Satu tetes, lalu dua, dan akhirnya menjadi aliran tak terbendung. Ia tak lagi peduli pada Dimas yang kini menatapnya dengan heran. Ia tak lagi peduli pada sarapan yang dingin di depannya. Yang ada hanyalah rasa sakit yang luar biasa, seolah ada pedang tajam yang menembus jantungnya, merobek setiap sel hatinya.
"Putri, kamu kenapa? Ada apa?" Suara Dimas kini terdengar khawatir, ia sudah berdiri di samping Putri, mencoba memegang bahunya.
Putri menepis tangan Dimas, tatapannya kosong, tertuju pada layar ponsel yang masih memutar adegan pernikahan itu. Ia tak bisa bicara. Lidahnya kelu. Pikirannya kosong, namun pada saat yang sama dipenuhi ribuan pertanyaan yang menjerit.
Bagaimana ini bisa terjadi? Kapan? Mengapa?
Ia mengingat kembali setiap detail interaksinya dengan Rina selama setahun terakhir. Rina sering berkunjung, terkadang dengan alasan "mampir saja", terkadang "kebetulan lewat". Putri tidak pernah curiga. Rina adalah gadis manis, polos, dan selalu ceria. Mereka sering berbagi cerita, bahkan Rina pernah meminta saran Putri tentang hubungannya dengan seorang pria yang sedang ia dekati-sebuah kebohongan yang kini terasa sangat menyakitkan. Putri bahkan pernah memuji Dimas di depan Rina, mengatakan betapa beruntungnya ia memiliki suami seperti Dimas. Dan Rina, dengan senyum manisnya, hanya mengiyakan.
Kilasan memori lain datang. Dimas yang belakangan ini sering pulang terlambat dengan alasan pekerjaan menumpuk. Dimas yang seringkali menerima panggilan telepon rahasia di luar kamar. Dimas yang terkadang bersikap lebih dingin, lalu tiba-tiba kembali menjadi romantis berlebihan, seolah ingin menutupi sesuatu. Putri selalu percaya. Ia selalu memaafkan setiap keterlambatan, setiap alasan, karena ia sangat mencintai Dimas. Ia tidak pernah membayangkan bahwa di balik semua itu, ada pengkhianatan yang begitu kejam.
Dan Rina. Rina. Sosok yang selama ini ia anggap seperti adiknya sendiri. Mereka tumbuh besar bersama, berbagi rahasia masa remaja, bahkan Putri pernah membela Rina saat ia dimarahi orang tuanya. Putri tidak pernah membayangkan bahwa "adiknya" sendiri akan menjadi duri dalam dagingnya, merobek kebahagiaannya dengan begitu keji.
Video itu terus berputar, dan setiap kali ia melihat senyum Dimas dan Rina, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Pengkhianatan ini bukan hanya datang dari suaminya, tapi juga dari keluarganya sendiri. Rasa dibohongi, ditipu, dan dikhianati membuncah dalam dirinya, bercampur aduk dengan kesedihan yang tak terhingga.
Dimas kini mencoba meraih ponsel Putri, mungkin sudah menyadari apa yang sedang ia lihat. "Putri, itu tidak seperti yang kamu pikirkan! Biar aku jelaskan..."
Namun, Putri sudah terlalu hancur untuk mendengarkan. Ia menjauhkan ponselnya dari Dimas, tatapannya kini bukan lagi kosong, melainkan penuh amarah dan kepedihan yang mendalam. Matanya yang biasanya hangat kini berkilat tajam, menatap Dimas dengan tatapan yang belum pernah Dimas lihat sebelumnya. Tatapan seorang wanita yang hatinya telah hancur berkeping-keping.
"Kenapa, Dimas? Kenapa kau tega melakukan ini padaku?" Suara Putri pecah, air mata mengalir semakin deras. Ia tak sanggup lagi menahan tangisnya. Isakan pilu mulai keluar dari bibirnya yang bergetar.
Dimas mencoba mendekat lagi, wajahnya pucat pasi. "Putri, Sayang... Dengarkan aku dulu."
"Dengarkan apa?!" Putri berteriak, suaranya serak karena tangis. Ia bangkit dari kursi, menjauh dari Dimas. "Apa yang harus kudengar? Penjelasan tentang pernikahan kedua yang kau lakukan di belakangku? Dengan Rina?! Adik sepupuku sendiri?!"
Ia menunjuk layar ponselnya dengan jari gemetar, memperlihatkan video itu pada Dimas. Dimas terdiam, tak bisa berkata-kata. Wajahnya menunjukkan campuran rasa bersalah, panik, dan ketakutan.
"Aku tidak percaya ini. Ini pasti mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi." Putri menggelengkan kepala berulang kali, mencoba menyangkal kenyataan yang begitu pahit di depan matanya. "Bagaimana kau bisa, Dimas? Setelah semua yang kita lalui? Setelah semua janji yang kau ucapkan padaku?"
Ia teringat janji Dimas di hari pernikahan mereka, janji untuk setia sehidup semati, janji untuk selalu ada untuknya, janji untuk tidak pernah menyakitinya. Semua janji itu kini terasa seperti kebohongan manis yang menghancurkan.
Dan Rina. Oh, Rina. Sosok yang selalu ia sayangi. Sosok yang pernah ia peluk saat Rina menangis karena nilai ujian yang buruk. Sosok yang pernah ia belikan hadiah ulang tahun istimewa. Mengapa Rina tega? Mengapa ia menikam Putri dari belakang, dengan pisau yang paling tajam-mengambil suaminya?
"Kenapa Ayu..?? Apa salahku hingga kamu tega merebut suamiku?" Bisikan itu keluar dari bibir Putri, meskipun ia telah mengganti nama Ayu menjadi Rina dalam pikirannya, rasa sakitnya tetap sama. Rasa dikhianati oleh orang terdekat.
Putri tak bisa lagi berdiri tegak. Lututnya lemas. Ia merosot ke lantai, ponsel masih tergenggam erat di tangannya. Air matanya terus mengalir, tak peduli berapa banyak yang ia coba seka. Tangisan itu kini berubah menjadi isakan pilu, jeritan hati yang hancur. Rumah yang tadinya adalah surga baginya, kini terasa seperti neraka yang dingin dan sepi, meskipun Dimas masih berdiri beberapa langkah di depannya. Kehadiran Dimas kini hanya menambah rasa sakit dan jijik.
Pernikahan harmonis yang ia banggakan, kebahagiaan yang ia rasakan setiap hari, semua itu hanyalah fatamorgana. Sebuah ilusi yang indah, yang kini pecah berkeping-keping di depan matanya, meninggalkan luka yang menganga lebar di hatinya. Putri tidak tahu bagaimana ia akan melewati ini. Dunia yang ia kenal telah lenyap. Dan ia, Putri Wijaya, kini harus menghadapi kenyataan pahit bahwa suaminya, cinta sejatinya, adalah seorang pengkhianat. Dan pengkhianat itu berselingkuh dengan adik sepupunya sendiri.