Adara tersenyum. Selama tiga tahun pernikahan, Garen tak pernah berhenti memuja dirinya. Ia selalu mengatakan Adara adalah kesempurnaan, sebuah mahakarya yang menawan. Bagi Garen, Adara bukan hanya seorang istri; ia adalah inti dari setiap mimpinya, inspirasi di balik setiap garis arsitektur yang ia ciptakan. Ia adalah permata paling berharga, perwujudan dari anggunnya seorang penari balet yang ia cintai sejak lama.
Adara membelai rambut Garen yang acak-acakan. Dulu, ia adalah seorang penari balet yang menjanjikan, hidup di antara alunan musik klasik, keringat, dan disiplin yang ketat. Namun, sebuah cedera lutut mengakhiri kariernya. Saat itulah Garen datang, tidak hanya menyembuhkan luka fisiknya, tetapi juga luka di dalam hatinya. Garen melihatnya bukan sebagai penari yang gagal, melainkan sebagai Adara yang utuh, sempurna dalam dirinya sendiri.
Adara bangkit, melangkah ringan ke dapur. Garen akan bangun sebentar lagi, dan aroma kopi hangat adalah sapaan terbaik untuk memulai hari. Saat air mendidih, ia kembali ke kamar, membangunkan Garen dengan sebuah kecupan lembut di kening.
"Pagi, Sayang," bisik Garen, suaranya serak namun penuh cinta. Ia menarik Adara ke pelukannya, menciumnya dalam-dalam. "Aku tidak pernah bosan bangun di sampingmu."
"Sudah, nanti kopimu dingin," Adara menggoda, meskipun ia sangat menyukai pelukan pagi itu. "Kau harus berangkat kerja. Bukankah hari ini ada jadwal pengecekan terakhir di proyek Menara Kencana?"
Wajah Garen yang tadinya rileks, kini terlihat serius. Proyek Menara Kencana adalah proyek terbesar dalam kariernya sebagai arsitek. Ia adalah arsitek utama yang ditunjuk oleh pengembangnya, seorang konglomerat kenamaan yang dikenal sangat perfeksionis. Garen telah mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya pada proyek itu, sering pulang larut malam, bahkan tidur di kantor.
"Ya. Pengecekan terakhir sebelum peresmian. Aku harus memastikan semuanya sempurna," Garen berkata, tatapannya menyiratkan ambisi yang membara. Ia adalah seorang yang berdedikasi tinggi, yang percaya bahwa setiap goresan pensil dan setiap susunan bata harus sempurna.
Setelah sarapan dan percakapan ringan penuh canda, Garen berpamitan. Ia memeluk Adara erat, menciumnya lama, seolah ia akan pergi untuk waktu yang sangat lama.
"Aku mencintaimu, Adara," bisik Garen, menatap mata istrinya lekat-lekat.
"Aku juga mencintaimu, Mas," jawab Adara, membalas tatapan tulus Garen. "Hati-hati di jalan, ya."
Ia melambaikan tangan, melihat mobil Garen melaju meninggalkan halaman. Adara kembali ke dalam, memulai hari dengan rutinitasnya. Ia tidak tahu, bahwa pelukan itu adalah perpisahan yang akan mengubah segalanya.
Di sudut lain kota, di puncak sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, Rian Kusuma sedang memulai harinya dengan pemandangan kota yang terbentang luas di hadapannya. Ia adalah seorang pengusaha properti kenamaan, dengan kekayaan yang tak terbatas dan reputasi yang tak terbantahkan. Rian adalah seorang pria yang terbiasa mendapatkan apa yang ia inginkan, dan ia selalu mendapatkannya.
Di sampingnya, duduk seorang gadis dengan aura yang sangat berbeda darinya. Kirana Senja. Ia adalah kekasih Rian, seorang gadis lugu dan sederhana yang berasal dari sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Kirana tidak terbiasa dengan kemewahan, dan ia sering merasa seperti orang asing di tengah-tengah dunia Rian. Namun, kesederhanaan dan kemurnian hatinya adalah hal yang membuat Rian jatuh cinta.
"Bang Rian, apa benar abang mau beli rumah di desa?" tanya Kirana, suaranya lembut, matanya menatap Rian penuh harap. Ia tidak menyukai gemerlapnya kota. Ia merindukan ketenangan dan kesederhanaan.
Rian tersenyum, mengacak rambut Kirana. "Ya. Nanti kalau proyek-proyek ini sudah selesai, kita akan beli rumah di desa. Kita akan tinggal di sana, jauh dari keramaian ini."
Kirana tersenyum lebar. Ia percaya pada janji Rian. Ia tidak tahu bahwa di balik janji-janji manis itu, ada dunia yang tak ia pahami, dunia yang penuh dengan intrik dan persaingan. Kirana hanyalah titik terang di tengah-tengah kegelapan dunia Rian, dan ia sangat berharap cahaya itu tidak akan padam.
"Hari ini aku harus ke proyek Menara Kencana. Ada sedikit masalah di sana," Rian berkata, suaranya kembali ke nada profesional. "Ada arsitek yang terlalu ambisius dan keras kepala. Aku harus mengurusnya."
Kirana tidak bertanya lebih jauh. Ia tahu, dunia Rian terlalu rumit untuknya. Ia hanya bisa berdoa agar semuanya berjalan lancar, agar mereka bisa segera membangun rumah impian mereka di desa, jauh dari semua masalah ini. Ia tidak tahu, bahwa proyek yang Rian sebut-sebut itu adalah benang takdir yang akan menghubungkan hidupnya dengan Adara dan Garen.
Siang hari itu, Adara sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan malam istimewa untuk Garen. Ia ingin merayakan kesuksesan proyek Menara Kencana. Ia akan memasak pasta kesukaan Garen dan membuat kue coklat. Semuanya sempurna, seperti kehidupan mereka.
Namun, di tengah-tengah kegiatannya, ponselnya berdering. Nama yang tidak dikenal muncul di layar. Adara mengangkatnya, suara di ujung sana terdengar dingin dan profesional.
"Apakah Anda Nyonya Adara Wijaya?" tanya suara itu.
"Ya, saya sendiri. Ada apa, ya?" Adara menjawab, hatinya tiba-tiba diliputi firasat buruk.
"Kami dari Rumah Sakit Bhakti Mulia. Suami Anda, Tuan Garen Wijaya, mengalami kecelakaan di lokasi proyek Menara Kencana. Beliau dalam kondisi kritis."
Dunia Adara hancur seketika. Gelas di tangannya jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping. Ia tidak bisa berpikir, tidak bisa bernapas. Suara di ujung telepon terdengar seperti dengungan yang jauh. Ia hanya bisa mendengar kata-kata kunci: kecelakaan, kritis, rumah sakit.
Adara segera mematikan kompor, meraih kunci mobilnya, dan berlari keluar. Ia mengemudi dengan panik, melewati kemacetan yang terasa seperti neraka. Air mata membasahi pipinya, dan rasa takut mencekiknya. Garen, tidak... tidak mungkin...
Setibanya di rumah sakit, ia berlari ke meja informasi. Seorang perawat menuntunnya ke ruang Unit Gawat Darurat. Di sana, ia melihat Garen terbaring tak berdaya di atas ranjang, selang infus menempel di tangannya, perban menutupi kepalanya. Wajahnya pucat, dan monitor di sampingnya berbunyi dengan ritme yang menakutkan.
Seorang dokter datang menghampirinya, wajahnya serius. "Nyonya Wijaya, suami Anda mengalami pendarahan otak, patah tulang di beberapa bagian, dan cedera serius di sumsum tulang belakang. Kondisinya sangat kritis. Kami sudah melakukan yang terbaik. Namun, pengobatan dan operasi yang ia butuhkan sangat mahal, dan kemungkinan ia akan lumpuh total jika tidak ditangani dengan segera."
Adara merasakan kakinya lemas. Semua yang ia dengar terasa seperti mimpi buruk. Pengobatan yang mahal? Ia dan Garen memiliki tabungan, tetapi tidak akan cukup untuk menutupi biaya yang disebutkan dokter. Ia merasakan keputusasaan yang luar biasa. Ia tidak bisa kehilangan Garen, cinta dalam hidupnya. Ia rela melakukan apa saja untuk menyelamatkan suaminya.
Ia duduk di kursi tunggu, tubuhnya gemetar. Ia mencoba menghubungi keluarga dan teman-temannya, namun tidak ada yang bisa membantunya dengan jumlah uang sebanyak itu. Ia merasa sendiri, putus asa, dan tak berdaya. Ia menatap Garen dari balik kaca, air mata mengalir tak henti-hentinya.
Tiba-tiba, sebuah tangan yang hangat menyentuh bahunya. Adara tersentak, menoleh. Seorang pria tinggi dengan setelan mahal berdiri di sampingnya. Matanya yang tajam menatapnya lekat-lekat, namun ekspresinya sulit ditebak. Pria itu memiliki aura kekuasaan yang tak bisa disembunyikan.
"Apakah Anda istri dari Garen Wijaya?" tanya pria itu, suaranya tenang dan dalam, namun memiliki otoritas yang luar biasa.
Adara mengangguk, masih terkejut.
Pria itu mengulurkan tangannya, sebuah kartu nama tersemat di sana. Adara membacanya: Rian Kusuma, CEO PT Kencana Properti. Nama yang familiar. Nama yang terkait dengan proyek Menara Kencana.
"Saya Rian," pria itu memperkenalkan diri, tatapannya tak beranjak dari Adara. "Saya pengembang proyek itu. Saya bertanggung jawab atas insiden ini."
Jantung Adara berdebar kencang. Pria inilah yang menyebabkan suaminya berada di sini. Pria inilah yang memiliki kekuasaan dan uang yang ia butuhkan.
"Saya akan menanggung seluruh biaya pengobatan suami Anda," Rian melanjutkan, suaranya datar. "Asalkan... Anda bersedia bertemu dengan saya nanti malam. Ada hal lain yang ingin saya bicarakan."
Adara menatapnya, bingung. Tatapan Rian tidak hanya menunjukkan rasa tanggung jawab, tetapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang gelap dan tidak bisa ia mengerti. Itu adalah tatapan seorang pria yang menginginkan sesuatu, dan ia tidak akan berhenti sampai mendapatkannya. Sebuah penawaran yang luar biasa, namun juga mengandung ancaman tersembunyi. Adara tahu, ia telah terperangkap dalam jerat takdir yang tak terduga.