Penyakitnya adalah musuh tak kasat mata yang menggerogoti tubuhnya perlahan, merenggut tenaganya, dan, yang paling parah, merenggut masa depannya.
Sejak usia muda, Arga didiagnosis mengidap penyakit langka yang menyebabkan sistem kekebalan tubuhnya menyerang dirinya sendiri. Para dokter terbaik dari seluruh dunia telah didatangkan, berbagai pengobatan eksperimental telah dicoba, namun hasilnya nihil. Arga seringkali merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuh, demam tinggi yang tak kunjung turun, dan kelelahan kronis yang membuatnya sulit menjalani kehidupan normal. Penyakit ini telah merenggut mimpinya untuk menjelajahi dunia, untuk membangun perusahaan multinasional yang ia impikan, bahkan untuk sekadar menikmati secangkir kopi di pagi hari tanpa rasa nyeri yang menusuk.
Kini, di usianya yang ke-32, penyakit itu telah mencapai stadium yang mengkhawatirkan. Dokternya, Profesor Wijaya-seorang ahli imunologi terkemuka dengan puluhan tahun pengalaman-telah menyarankan pilihan terakhir yang terdengar absurd: pernikahan. Bukan pernikahan biasa, melainkan pernikahan yang didasarkan pada tujuan medis.
"Arga, saya tahu ini terdengar gila," ujar Profesor Wijaya saat mereka bertemu di ruang kerja pribadi Arga yang mewah, dengan pemandangan cakrawala Jakarta yang membentang luas di balik dinding kaca anti-peluru. "Tapi ada beberapa kasus langka di mana perubahan hormon yang drastis, terutama pada pria, dapat memicu respons kekebalan tubuh yang berbeda. Kehamilan, misalnya, seringkali memengaruhi sistem imun wanita. Ada hipotesis bahwa ikatan emosional dan fisik yang kuat dalam pernikahan, khususnya yang berujung pada kehamilan, bisa memicu semacam 'reset' pada sistem imun Anda. Ini bukan jaminan, tentu saja, tapi... ini adalah satu-satunya hipotesis yang tersisa yang belum kita coba."
Arga mendengarkan dengan tatapan kosong. Pernikahan? Untuk apa? Ia nyaris tidak bisa membayangkan dirinya menjalin hubungan yang intim dengan seseorang ketika ia sendiri tidak yakin berapa lama lagi bisa bertahan. Rasa putus asa seringkali menyergapnya, terutama di malam-malam tanpa tidur ketika rasa sakit merangkak di sekujur tubuhnya.
"Maksud Anda, saya harus menikah, lalu... memiliki anak?" Arga bertanya, suaranya serak.
Profesor Wijaya mengangguk ragu. "Itu hipotesis utamanya. Namun, faktor kunci di sini adalah stabilitas emosional dan fisik dari pasangan. Jika Anda bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa membawa ketenangan dan kenyamanan, yang bisa berbagi beban ini dengan Anda, mungkin saja ada perubahan positif."
Kata-kata "istri bayaran" pertama kali terlintas di benak Arga beberapa hari setelah percakapan itu. Ide itu begitu tak masuk akal, begitu merendahkan, namun di sisi lain... itu adalah satu-satunya cara ia bisa melihatnya. Ia tidak ingin membebani wanita mana pun dengan kondisinya. Ia tidak ingin ada yang mencintainya hanya untuk menyaksikan tubuhnya hancur perlahan. Pernikahan kontrak akan menghilangkan kerumitan emosional, menjaga jarak, dan memungkinkan ia fokus pada satu-satunya tujuan: kesembuhan.
Ia mendiskusikan idenya ini dengan Adrian, sahabat sekaligus tangan kanannya dalam mengelola perusahaan, Wijaya Group. Adrian adalah satu-satunya orang yang tahu persis seberapa parah kondisi Arga.
"Kau gila, Arga?" Adrian memijat pelipisnya. "Menikah kontrak? Seperti apa yang terjadi di film-film murahan? Ini hidupmu, Arga, bukan skenario drama."
"Lalu apa alternatifnya, Adrian?" Arga menatap Adrian dengan mata lelah. "Aku sudah mencoba segalanya. Aku sudah menghabiskan jutaan dolar untuk pengobatan yang tidak berhasil. Aku sudah melihat dunia dari balik jendela rumah sakit. Apa lagi yang bisa kulakukan selain mencoba ini?"
Adrian terdiam. Ia tahu bahwa Arga benar. Keputusasaan memang bisa membuat seseorang melakukan hal-hal ekstrem. "Baiklah," kata Adrian akhirnya, menghela napas panjang. "Jika kau bersikeras, aku akan membantumu. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Kita tidak bisa sembarangan memilih seseorang. Kita butuh seseorang yang bisa dipercaya, yang profesional, dan yang bisa menjaga rahasia."
Pencarian pun dimulai. Adrian menggunakan koneksinya yang luas, mencoba mencari "agen" atau "perantara" yang bisa menyediakan layanan semacam itu tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia bahkan sempat menemui beberapa pengacara spesialis yang menangani perjanjian pra-nikah yang sangat ketat, untuk memastikan bahwa semua aspek hukum terlindungi.
Setelah berminggu-minggu pencarian yang melelahkan dan seringkali membuat Adrian merasa seperti sedang menenggelamkan diri dalam rawa-rawa dunia hitam, mereka akhirnya menemukan sebuah biro yang mengklaim menyediakan layanan "pendamping profesional" untuk berbagai acara, termasuk acara keluarga dan sosial. Biro itu dipimpin oleh seorang wanita paruh baya bernama Nyonya Anggoro, yang memiliki reputasi sebagai sosok yang sangat tertutup namun efektif.
Pertemuan pertama Arga dan Nyonya Anggoro berlangsung di sebuah kafe terpencil yang tidak mencolok, jauh dari hiruk pikuk pusat kota. Arga datang dengan Adrian, sementara Nyonya Anggoro datang sendirian, mengenakan gaun sederhana namun elegan, dengan tatapan mata tajam yang seolah bisa membaca pikiran.
"Tuan Wicaksana, Tuan Adrian," sapa Nyonya Anggoro dengan suara tenang namun tegas. "Saya dengar Anda mencari sesuatu yang... tidak biasa."
Arga langsung pada intinya. "Saya membutuhkan seorang istri. Seorang istri kontrak. Untuk jangka waktu tertentu. Semua biaya akan ditanggung sepenuhnya, ditambah kompensasi yang sangat besar."
Nyonya Anggoro tidak menunjukkan ekspresi terkejut. Ia hanya menyesap tehnya. "Apa spesifikasinya?"
"Dia harus sehat secara fisik dan mental," Arga menjelaskan. "Tidak memiliki riwayat penyakit serius, tidak terlibat dalam masalah hukum, dan yang paling penting, bisa menjaga rahasia dengan sangat baik. Dia harus bersedia menjalani pemeriksaan medis menyeluruh. Dan dia harus bersedia untuk... menjalani peran seorang istri dalam semua aspeknya, kecuali yang tidak saya inginkan." Arga menelan ludah, merasa sedikit canggung mengucapkan kalimat terakhir itu. "Tentu saja, akan ada batasan yang jelas dan kesepakatan tertulis mengenai semua hal."
Nyonya Anggoro mengangguk perlahan. "Saya mengerti. Ini bukan permintaan yang mudah, Tuan Wicaksana. Wanita yang saya rekomendasikan adalah wanita-wanita dengan latar belakang bersih, berpendidikan, dan memiliki alasan kuat untuk menerima tawaran semacam ini. Mereka tidak akan menerima begitu saja karena uang semata. Mereka mencari stabilitas, keamanan, atau mungkin, kesempatan untuk memulai hidup baru."
"Saya tidak peduli apa motifnya, selama ia memenuhi kriteria saya," jawab Arga dingin. Ia merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Ia merasa seperti sedang membeli seseorang, sebuah perasaan yang sangat menjijikkan. Namun, ini adalah satu-satunya harapannya.
"Baiklah. Saya akan menyaring beberapa kandidat untuk Anda. Prosesnya akan memakan waktu. Saya akan mengirimkan profil mereka setelah saya yakin mereka memenuhi kriteria dasar Anda. Anda akan berinteraksi langsung dengan mereka, dan keputusan akhir ada di tangan Anda." Nyonya Anggoro mengeluarkan sebuah tablet dan mulai mencatat sesuatu. "Apakah ada persyaratan khusus mengenai penampilan, usia, atau latar belakang?"
Arga berpikir sejenak. "Tidak ada preferensi khusus untuk penampilan. Usia... mungkin antara 25 hingga 30 tahun. Latar belakang pendidikan minimal sarjana. Yang paling penting adalah dia bisa bersikap dewasa, bertanggung jawab, dan profesional."
Setelah pertemuan itu, Arga kembali ke rutinitasnya yang monoton, diselingi dengan kunjungan rutin ke rumah sakit dan sesi terapi. Kondisinya semakin memburuk. Ada hari-hari di mana ia bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Rasa sakitnya semakin intens, dan ia seringkali merasa mual dan pusing. Profesor Wijaya terus memberinya semangat, namun Arga bisa melihat kekhawatiran di mata sang profesor.
Beberapa minggu kemudian, Adrian datang dengan setumpuk berkas. "Ini tiga kandidat terbaik dari Nyonya Anggoro," katanya, meletakkan berkas-berkas itu di meja Arga. "Mereka semua sudah melalui pemeriksaan latar belakang yang ketat, dan Nyonya Anggoro menjamin privasi dan kerahasiaan mereka."
Arga mengambil berkas pertama. Nama: Kirana Dewi Santoso. Usia: 28. Pekerjaan: Konsultan Keuangan. Latar Belakang: Lulusan Universitas terkemuka, punya hutang keluarga yang besar. Arga membaca profil itu dengan saksama. Kirana tampak cerdas, fotonya menunjukkan wanita dengan rambut panjang hitam dan senyum ramah.
Berkas kedua: Nama: Tania Putri Kusuma. Usia: 26. Pekerjaan: Desainer Interior Freelance. Latar Belakang: Merupakan tulang punggung keluarga setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Tania memiliki wajah manis, terlihat lebih muda dari usianya.
Berkas ketiga: Nama: Maya Indah Lestari. Usia: 29. Pekerjaan: Penulis Lepas. Latar Belakang: Terlibat dalam kasus hukum yang kompleks terkait sengketa tanah keluarga yang membutuhkan biaya besar. Maya memiliki mata yang terlihat sendu namun cerdas.
Arga menghabiskan berjam-jam mempelajari profil mereka. Ia mencari celah, mencari alasan untuk menolak mereka. Namun, mereka semua tampak sempurna untuk peran yang ia butuhkan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bertemu dengan mereka satu per satu. Ia ingin melihat mereka secara langsung, mengamati gerak-gerik mereka, mendengar suara mereka.
Pertemuan pertama adalah dengan Kirana Dewi Santoso. Mereka bertemu di sebuah restoran mewah yang sengaja dipesan seluruhnya untuk memastikan privasi. Kirana datang tepat waktu, mengenakan setelan bisnis yang rapi. Ia cantik, cerdas, dan terlihat sangat profesional.
"Terima kasih sudah datang, Nona Kirana," sapa Arga, suaranya sedikit serak. Ia merasa lemah hari itu.
"Sama-sama, Tuan Wicaksana," jawab Kirana dengan suara tenang. "Saya sudah membaca proposal dari Nyonya Anggoro. Saya mengerti sifat kesepakatan ini."
Arga menjelaskan lebih detail mengenai kondisinya, mengenai tujuannya mencari seorang istri kontrak, dan mengenai ekspektasinya. Kirana mendengarkan dengan saksama, sesekali mengangguk, tanpa menunjukkan ekspresi terkejut atau jijik.
"Saya mengerti. Jadi, peran saya adalah untuk menjadi 'istri' Anda di mata publik, merawat Anda, dan mendampingi Anda di saat-saat diperlukan. Semua ini dengan batasan yang jelas, tanpa kewajiban emosional yang nyata, kecuali yang disepakati bersama," ujar Kirana menyimpulkan.
"Betul," Arga membalas. "Dan kompensasinya akan sangat signifikan. Cukup untuk melunasi semua hutang keluarga Anda dan memberikan Anda modal untuk memulai hidup baru."
Kirana menarik napas. Ada kilatan kesedihan di matanya sesaat, sebelum kembali ke ekspresi netralnya. "Saya setuju. Saya bersedia menjalani peran ini, asalkan semua persyaratan dan batasan jelas tertulis dalam kontrak. Saya juga meminta jaminan privasi penuh setelah kontrak berakhir."
Arga terkesan dengan ketenangan dan profesionalisme Kirana. Namun, ada sesuatu yang kurang. Ia tidak tahu apa itu, tapi ia tidak merasakan 'kecocokan' yang entah bagaimana ia harapkan.
Pertemuan kedua adalah dengan Tania Putri Kusuma. Tania adalah wanita yang lebih muda, dengan aura yang lebih lembut. Ia tampak gugup, namun mencoba bersikap tegar. Ketika Arga menjelaskan kondisinya, Tania menunjukkan sedikit rasa simpati di matanya.
"Saya turut prihatin, Tuan Wicaksana," kata Tania dengan suara pelan. "Saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjalani hidup dengan kondisi seperti itu."
Simpati Tania membuat Arga sedikit lengah. Ia sudah terbiasa dengan tatapan iba atau rasa jijik. Simpati yang tulus adalah hal yang langka. Namun, ia juga merasakan bahwa Tania mungkin terlalu rapuh untuk beban semacam ini. Tania memiliki beban keluarganya sendiri, dan Arga tidak ingin menambahkannya.
"Saya mengapresiasi simpati Anda, Nona Tania," kata Arga. "Tapi pekerjaan ini akan sangat menuntut. Anda harus kuat secara mental dan fisik. Apakah Anda yakin bisa?"
Tania mengangguk, mencoba meyakinkan Arga dan dirinya sendiri. "Saya akan berusaha, Tuan Wicaksana. Saya sangat membutuhkan uang ini untuk adik-adik saya."
Pertemuan dengan Tania berakhir dengan Arga yang merasa sedikit tidak nyaman. Ia tidak ingin memanfaatkan kerapuhan seseorang.
Akhirnya, tiba giliran Maya Indah Lestari. Pertemuan ini diatur di sebuah galeri seni kecil yang sepi, tempat Maya sering menghabiskan waktu luangnya. Maya mengenakan gaun sederhana berwarna gelap, dengan rambut dikepang longgar. Matanya, seperti yang terlihat di foto, memiliki kedalaman yang menarik.
Ketika Arga mulai menjelaskan kondisinya dan kesepakatan yang diusulkan, Maya mendengarkan dengan intens. Tidak ada ekspresi terkejut, tidak ada rasa iba, hanya perhatian yang tenang. Ia tidak menyela, bahkan ketika Arga harus berhenti sejenak karena batuk yang mendadak menyerang.
"Jadi, Anda ingin saya menjadi seorang istri," kata Maya setelah Arga selesai berbicara. Suaranya rendah, agak serak, namun jelas. "Seorang istri yang bukan istri, tapi harus terlihat seperti istri. Sebuah peran, sebuah sandiwara yang panjang."
"Ya, kurang lebih begitu," jawab Arga, merasa sedikit lega karena Maya langsung mengerti.
"Dan imbalannya, tentu saja, sangat besar. Cukup untuk mengatasi masalah hukum keluarga saya, mungkin?" Mata Maya menatap Arga lurus. Tidak ada keserakahan, hanya kepraktisan.
"Lebih dari itu," Arga memastikan. "Anda tidak perlu khawatir tentang keuangan setelah ini."
Maya bersandar di kursi, menyilangkan tangannya. "Saya tidak punya ilusi, Tuan Wicaksana. Saya tahu ini bukan tentang cinta atau romansa. Ini adalah transaksi. Sebuah solusi untuk masalah Anda, dan solusi untuk masalah saya."
Ada kejujuran yang menohok dalam kata-kata Maya. Arga tidak merasa direndahkan. Sebaliknya, ia merasa ada semacam pengertian yang aneh. Maya tidak mencoba berpura-pura, tidak mencoba bersimpati berlebihan. Ia melihat situasi ini apa adanya.
"Apakah Anda keberatan dengan... aspek fisik dari peran ini?" tanya Arga, merasa harus bertanya.
Maya sedikit tersenyum, senyum tipis yang tidak mencapai matanya. "Saya seorang penulis, Tuan Wicaksana. Saya memahami nuansa emosi dan interaksi manusia. Selama ada batasan yang jelas, saya bisa berakting. Tubuh saya adalah milik saya, dan saya bisa mengendalikan diri saya. Saya tidak akan pernah membiarkan diri saya terlarut dalam peran ini melebihi yang seharusnya."
Arga merasakan sesuatu yang berbeda dengan Maya. Ada kekuatan tersembunyi di balik ketenangannya. Ada kecerdasan yang tajam. Dan ada kejujuran yang brutal, yang ia hargai.
"Dan bagaimana dengan... kemungkinan kehamilan?" Arga akhirnya mengucapkan kata-kata yang paling sulit.
Maya menatapnya lurus. Matanya yang gelap memancarkan ketegasan. "Jika itu adalah bagian dari kesepakatan yang Anda inginkan, dan jika itu adalah bagian dari solusi medis Anda, saya akan mempertimbangkannya. Dengan syarat semua risiko dan konsekuensi dijelaskan secara transparan, dan ada jaminan masa depan yang jelas untuk anak tersebut jika memang itu terjadi."
Arga mengangguk. Ia tidak menyangka Maya akan bersikap begitu terbuka. Ini adalah hal yang paling sulit dibicarakan, dan Maya menghadapinya dengan kepala dingin.
"Saya akan mempertimbangkan Anda, Nona Maya," kata Arga.
"Terserah Anda, Tuan Wicaksana," Maya menjawab dengan tenang. "Saya hanya menawarkan kemampuan saya untuk menjalankan peran ini. Keputusan ada di tangan Anda."
Setelah ketiga pertemuan itu, Arga menghabiskan waktu sendirian di rumah, memikirkan pilihannya. Kirana profesional dan cerdas, tapi terasa terlalu kaku. Tania terlalu rapuh, dan Arga tidak ingin membebani wanita itu lebih jauh. Maya... Maya berbeda. Ia memiliki kekuatan, kejujuran, dan pemahaman yang dalam tentang situasi ini. Ia tidak berpura-pura. Ia melihat Arga apa adanya, dan ia melihat kesepakatan ini apa adanya.
Ia akhirnya memutuskan. Maya Indah Lestari.
Ia menelepon Adrian. "Aku sudah memutuskan. Maya. Maya Indah Lestari."
Adrian sedikit terkejut. "Maya? Kenapa dia? Dia terlihat... paling tidak konvensional di antara ketiganya."
"Itu sebabnya," jawab Arga. "Dia jujur. Dia tidak akan berpura-pura kasihan padaku, atau mencoba mencari cinta. Dia melihat ini sebagai sebuah transaksi, dan aku juga begitu. Itu yang kubutuhkan sekarang."
"Baiklah," Adrian menghela napas. "Aku akan segera menghubungi Nyonya Anggoro untuk memulai persiapan kontrak. Pastikan semuanya rinci dan jelas, Arga. Ini bukan permainan."
"Aku tahu, Adrian," Arga menjawab. "Ini adalah satu-satunya harapanku."
Beberapa hari kemudian, Arga dan Maya duduk di meja besar di kantor pengacara Arga, bersama Adrian dan Nyonya Anggoro, serta seorang pengacara yang mewakili Maya. Kontrak itu tebal, terdiri dari puluhan halaman yang merinci setiap aspek kesepakatan mereka.
Perjanjian Pernikahan Kontrak. Demikian judulnya.
Kontrak itu menjelaskan masa berlaku pernikahan – tiga tahun dengan opsi perpanjangan, atau sampai kondisi Arga membaik secara signifikan. Maya akan tinggal di kediaman Arga, berperan sebagai istri di hadapan publik, menghadiri acara sosial yang diperlukan, dan merawat Arga selama masa-masa sulit akibat penyakitnya. Ada klausul khusus mengenai keintiman fisik, yang secara jelas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban untuk hubungan seksual kecuali jika diperlukan untuk tujuan medis (yaitu, kehamilan, jika disetujui bersama oleh kedua belah pihak dan dokter Arga). Kompensasi finansial untuk Maya sangat besar, dibayarkan di muka sebagian dan sisanya secara bertahap. Ada juga klausul kerahasiaan yang ketat, yang mengikat kedua belah pihak seumur hidup.
Maya membaca setiap pasal dengan teliti, sesekali mengajukan pertanyaan yang cerdas dan relevan. Ia tidak ragu untuk meminta klarifikasi atau modifikasi pada beberapa poin, terutama yang berkaitan dengan privasi dan kebebasannya di luar peran "istri". Arga menghargai ketelitiannya. Ia tahu bahwa ia tidak berhadapan dengan seseorang yang naif.
Akhirnya, dengan pena di tangan, Arga melihat ke arah Maya. Maya juga menatapnya. Ada ketegangan yang aneh di udara. Ini adalah titik balik dalam hidup mereka berdua.
"Siap, Nona Maya?" tanya Arga, suaranya sedikit bergetar.
"Siap, Tuan Wicaksana," jawab Maya, tanpa emosi yang terlihat.
Mereka berdua menandatangani kontrak itu, satu per satu, di bawah pengawasan para pengacara. Tanda tangan itu terasa berat, seperti segel nasib.
Mulai sekarang, Maya Indah Lestari adalah istri bayaran Arga Satria Wicaksana. Sebuah kesepakatan yang lahir dari keputusasaan, sebuah sandiwara yang entah bagaimana diharapkan akan membawa kesembuhan.
Setelah kontrak ditandatangani, Arga merasa campuran antara kelegaan dan kecemasan. Lega karena ia telah mengambil langkah ini, kecemasan karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Jadi, Nona Maya, mulai besok Anda akan pindah ke rumah saya," kata Arga. "Adrian akan mengurus semua detailnya. Anda akan diperkenalkan sebagai tunangan saya dalam waktu dekat, dan pernikahan akan diselenggarakan dalam sebulan."
Maya mengangguk. "Baiklah. Saya akan siap."
Ia berdiri, menjabat tangan Arga dengan kuat, namun tanpa kehangatan. Ini adalah kesepakatan bisnis murni.
Ketika Maya pergi bersama pengacaranya, Arga bersandar di kursi, memejamkan mata. Ia telah membeli seorang istri. Konsep itu masih terasa asing, bahkan menjijikkan. Namun, bayangan kesembuhan, bayangan kehidupan normal, adalah satu-satunya hal yang mendorongnya maju.
Adrian menepuk bahu Arga. "Kau yakin dengan ini, Arga? Tidak ada jalan kembali setelah ini."
Arga membuka matanya. Ia menatap Adrian, lalu melihat ke luar jendela, ke arah cakrawala kota yang padat. "Aku tidak punya pilihan lain, Adrian. Ini adalah pertaruhan terakhirku. Jika ini tidak berhasil... maka aku tidak tahu lagi apa yang akan kulakukan."
Maya kembali ke apartemen kecilnya, memegang salinan kontrak yang tebal itu. Jantungnya berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan karena perpaduan antara rasa takut dan harapan. Uang itu-jumlah yang sangat besar itu-akan menyelesaikan semua masalahnya. Hutang keluarga, sengketa tanah yang menguras tenaga dan pikiran, masa depan adik-adiknya yang ia tanggung sendirian. Semua akan terselesaikan.
Tapi apa harga yang harus ia bayar? Menjadi istri bayaran seorang pria kaya yang sakit-sakitan. Berpura-pura mencintai, berpura-pura peduli, berpura-pura menjadi bagian dari keluarga yang asing.
Ia melihat pantulan dirinya di cermin. Seorang wanita berusia 29 tahun, dengan impian menulis yang harus ia kesampingkan demi mencari nafkah. Ia selalu berpikir bahwa ia akan menikah karena cinta, membangun keluarga dengan seorang pria yang ia pilih sendiri. Namun, hidup punya caranya sendiri untuk menghancurkan rencana.
Ayahnya meninggal setahun yang lalu, meninggalkan beban hutang dan sengketa tanah yang rumit. Ibunya menderita depresi parah setelah itu, dan adik-adiknya masih sekolah. Maya, sebagai anak tertua, harus memikul semua beban itu di pundaknya. Ia bekerja sebagai penulis lepas, mengambil pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang, namun itu tidak pernah cukup. Saat itulah Nyonya Anggoro mendekatinya, menawarkan "kesempatan yang unik."
Awalnya Maya menolak mentah-mentah. Ide itu terlalu tidak masuk akal, terlalu merendahkan. Tapi Nyonya Anggoro sangat persuasif. Ia menjelaskan detailnya, prospeknya, dan yang paling penting, jumlah kompensasinya. Maya menghitung-hitung. Ini adalah satu-satunya cara ia bisa menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial.
Ia telah membaca artikel tentang Arga Satria Wicaksana. Pria yang dikenal sebagai 'Pangeran Es' di dunia bisnis karena sikapnya yang dingin dan tegas. Ia tahu tentang penyakitnya, meskipun detailnya tidak pernah dipublikasikan. Berita-berita selalu menyebutnya sebagai "pewaris yang sakit-sakitan".
Sekarang, ia akan menikah dengan Arga. Seorang pria yang ia temui hanya beberapa kali, seorang pria yang kesepian dan putus asa. Ia tahu bahwa ia harus menjadi seorang aktris ulung. Setiap gerak-gerik, setiap kata, setiap tatapan mata harus diperhitungkan. Ia harus menjaga jarak emosional, melindungi hatinya dari keterlibatan yang tidak perlu.
Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika Arga tidak sembuh? Apa yang akan terjadi padanya setelah kontrak berakhir? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di benaknya. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia telah menandatangani. Ia telah membuat kesepakatan dengan iblis, atau setidaknya, dengan pria yang putus asa.
Maya menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya. Ia meraih sebuah buku tebal dari rak bukunya, buku tentang seni akting. Ia harus mempelajarinya. Ia harus menjadi Maya yang lain, Maya yang bisa menjadi istri. Demi keluarganya. Demi masa depannya. Dan, mungkin, demi kehidupan Arga Satria Wicaksana.