Ia tak sudi, tak akan pernah sudi. Alana dikenal sebagai gadis bar-bar, tak takut menghadapi apapun, bahkan jika itu harus berhadapan dengan bahaya. Tapi kali ini, ia merasa tak berdaya. Keluarganya, terutama sang Ayah, menuntutnya untuk segera menikah dengan Michael. Entah apa yang ada di pikiran mereka, namun yang jelas, keputusan ini tak bisa diganggu gugat.
Ia menatap foto calon suaminya, wajah tampan itu terlihat dingin dan tanpa ekspresi. Michael Jackson, pria yang tak pernah ia temui seumur hidupnya, kini akan menjadi suaminya. Pria yang ia benci bahkan sebelum mereka bertemu.
"Aku tidak akan membiarkan ini terjadi," gumamnya dengan nada penuh tekad.
Namun, semua rencananya untuk kabur tak pernah berhasil. Setiap sudut rumahnya dijaga ketat, seolah-olah ia seorang tahanan. Para penjaga, pelayan, bahkan supirnya, semua diperintahkan untuk mengawasinya. Ia tak bisa keluar, tak bisa menghubungi siapapun. Ia terisolasi.
Hari demi hari berlalu, ia merasa seperti seekor burung yang sayapnya dipatahkan. Setiap pagi, ia akan bangun dengan kebencian baru, kebencian pada keluarganya, pada perjodohan ini, dan pada Michael Jackson.
Satu minggu kemudian, hari yang paling ia benci akhirnya tiba. Hari pernikahannya.
Alana duduk di depan meja rias, para perias sibuk memoles wajahnya. Rambutnya di sanggul rapi, gaun pengantin berwarna putih gading membalut tubuhnya. Gaun yang indah, namun terasa seperti kain kafan baginya.
"Nona, Anda terlihat sangat cantik," puji salah satu perias.
Alana hanya diam, menatap pantulan wajahnya yang kini terlihat seperti boneka. Wajah yang dipaksa tersenyum, padahal hatinya menjerit kesakitan.
"Cepat selesaikan," ucapnya dengan suara dingin. "Aku muak melihat wajah ini."
Para perias terdiam, tak berani membantah. Mereka tahu siapa Alana, gadis yang dikenal dengan temperamennya yang meledak-ledak.
Setelah riasan selesai, seorang pelayan menghampirinya. "Nona, sudah waktunya," ucapnya dengan suara lembut.
Alana bangkit, gaun pengantinnya yang panjang menyapu lantai. Ia merasa seperti robot, bergerak tanpa emosi. Ia dituntun oleh pelayan itu menuju altar. Sepanjang perjalanan, ia melihat banyak penjaga yang berdiri tegak di setiap sudut mansion. Harapan untuk kabur pun sirna.
Saat ia memasuki ruangan, semua mata tertuju padanya. Ia melihat wajah-wajah yang familiar, wajah-wajah yang ia kenal sejak kecil. Namun, tak ada satupun yang peduli pada penderitaannya. Mereka semua tersenyum, seolah-olah ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya.
Di ujung altar, ia melihatnya. Michael Jackson. Pria yang akan menjadi suaminya. Pria yang ia benci.
Ia berdiri tegak, mengenakan setelan jas hitam yang pas di tubuhnya. Wajahnya yang tampan terlihat dingin, tak ada senyum sedikit pun di bibirnya. Matanya yang tajam menatap Alana, seolah-olah ia sedang meneliti mangsanya.
"Kau terlihat cantik," bisik Michael saat Alana berdiri di sampingnya.
Alana hanya diam, tak sudi membalas. Ia tak sudi menatapnya. Ia merasa mual.
Upacara dimulai, sang pendeta mengucapkan kata-kata sakral. Namun, Alana tak mendengarkan. Pikirannya kosong, hatinya mati rasa.
Hingga akhirnya, tiba saat ijab kabul.
"Saudara Michael Jackson, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan anak saya Alana Evander binti Tuan Evander, dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai."
Michael menatap Alana, matanya yang dingin seolah menembus jiwanya. Alana menahan napas, berharap ia salah mengucapkan ijab kabul. Berharap semua ini hanya mimpi buruk.
"Saya terima nikah dan kawinnya Alana Evander binti Tuan Evander dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
Suara Michael terdengar mantap dan tegas, tanpa keraguan sedikit pun. Semua tamu bersorak, "Sah!"
Alana merasa dunia runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan, akhirnya jatuh. Ia kalah, ia tak berdaya. Ia kini sah menjadi istri Michael Jackson, monster yang ia benci.
Setelah ijab kabul, Michael menuntunnya untuk menandatangani buku nikah. Ia mengambil pena, tangannya bergetar. Ia menatap nama Michael Jackson, suaminya.
Pesta pernikahan dilanjutkan, semua tamu bersenang-senang. Mereka tertawa, menari, dan menikmati hidangan yang mewah. Para wartawan berbondong-bondong mengambil foto, memotret pasangan baru ini.
Michael merangkul pinggang Alana, menariknya mendekat. Alana mencoba melepaskan diri, namun cengkeraman Michael terlalu kuat.
"Jangan macam-macam," bisik Michael di telinganya. "Tersenyum, Alana. Atau kau akan tahu akibatnya."
Alana terpaksa tersenyum, senyum palsu yang memuakkan. Ia melihat wajah-wajah bahagia di sekelilingnya, namun ia tak merasakan kebahagiaan sedikit pun.
Hingga akhirnya, tiba saatnya Michael mencium Alana. Michael menarik tubuh Alana mendekat, menundukkan kepalanya, dan mencium bibirnya. Ciuman itu terasa dingin dan tak berperasaan, seolah-olah ia sedang mencium benda mati.
Alana mencoba melepaskan diri, namun Michael menahan tengkuknya, memperdalam ciuman itu. Ia merasa mual, jijik, dan marah. Ia tak sudi, tak akan pernah sudi.
Ia memejamkan mata, berharap semua ini segera berakhir. Berharap ia bisa kabur dari neraka ini. Namun, ia tahu, ini hanyalah awal. Awal dari neraka yang akan ia jalani bersama Michael Jackson.
Pesta akhirnya selesai, dan para tamu pulang. Alana berdiri di tengah-tengah ruang pesta yang kini kosong, menatap ke arah pintu. Ia merasa sendirian, terasingkan. Michael menghampirinya, melepaskan jasnya, dan melemparkannya ke sofa.
"Kau terlihat lelah," ucapnya dengan nada datar. "Ayo, kita ke kamar."
Alana tak bergeming, ia menatap Michael dengan tatapan penuh kebencian. "Aku tidak mau," jawabnya dengan suara dingin.
Michael berjalan mendekat, tangannya meraih dagu Alana, dan memaksa Alana untuk menatapnya. "Kau sekarang istriku, Alana," bisiknya, matanya yang tajam menatapnya lurus. "Kau harus mematuhiku. Jangan coba-coba membantahku."
"Aku takkan pernah mematuhimu, monster!" balas Alana, suaranya meninggi. "Aku akan kabur darimu, secepatnya!"
Michael tersenyum sinis. "Kau tak bisa lari dariku, Alana," bisiknya, suaranya terdengar mengancam. "Kau milikku sekarang."
Michael menarik Alana, membawanya ke kamarnya. Alana meronta, mencoba melepaskan diri, namun Michael terlalu kuat. Ia tak berdaya. Ia merasa seperti seekor domba yang dibawa ke kandang singa.
"Jangan menyentuhku!" teriak Alana, air matanya kembali mengalir.
Michael tak peduli. Ia membawa Alana masuk ke kamarnya, mengunci pintu, dan menghempaskannya ke tempat tidur. "Kau tak akan kemana-mana, Alana," bisiknya. "Kau milikku, selamanya."
Alana menatap Michael dengan tatapan penuh kebencian, namun ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menangis, menangisi nasibnya. Ia kini terjebak dalam neraka, bersama seorang pria yang ia benci. Pria yang akan menghancurkan hidupnya.