Ia mengamati sekeliling, mencari target di antara kerumunan pria-pria berduit yang memadati setiap meja. Matanya menyapu deretan wajah tua yang lelah, namun memancarkan kekuasaan dan kekayaan. Ini adalah medan perang Arabella, tempat ia berjuang demi kelangsungan hidupnya, demi secercah harapan untuk melunasi utang miliaran orang tuanya yang telah tiada, dan demi melanjutkan kuliah yang hampir pupus. Tak ada keluarga yang peduli, tak ada tangan yang terulur membantu. Ia sendirian, menanggung beban seberat gunung di pundaknya yang ringkih.
Pilihan jatuh pada seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan wajah kemerahan akibat alkohol. Ia duduk di salah satu sofa empuk, dikelilingi botol-botol minuman mahal. Om-om itu tampak kesepian, matanya menerawang kosong di balik kacamata berlensa tebal. Arabella melangkah mendekat, bibirnya tersenyum manis, senyum yang tak sampai ke matanya.
"Selamat malam, Om," sapanya dengan suara lembut, sengaja sedikit dibasahkan. Ia tahu bagaimana cara memainkan peran ini, bagaimana membuat pria-pria ini merasa istimewa dan diinginkan. Tubuhnya yang ramping dan proporsional ia gerakkan dengan anggun, memancarkan aura yang memikat.
Om-om itu mendongak, matanya yang sayu berbinar saat menatap Arabella. Senyumnya melebar, menampilkan deretan gigi yang sedikit menguning. "Wah, nona cantik sekali malam ini. Sendirian saja?"
Arabella tertawa kecil, tawa yang terdengar renyah namun hampa. "Om bisa saja. Saya sedang mencari teman mengobrol, Om. Boleh saya duduk?"
Tanpa menunggu jawaban, Arabella sedikit memiringkan tubuhnya, mencondongkan diri ke arah om-om itu. Aroma parfumnya yang manis langsung tercium, menginvasi indra penciuman sang om. Pria itu menggeser duduknya, memberi ruang, dan Arabella tak menyia-nyiakannya. Ia duduk di pangkuan om-om tersebut, merasakan paha lebar itu di bawahnya. Jantungnya berdebar, bukan karena gairah, melainkan karena rasa jijik yang harus ia telan mentah-mentah.
"Nona harum sekali," gumam om-om itu, tangannya yang keriput naik, membelai punggung Arabella dengan gerakan ragu. Sentuhan itu membuat Arabella merinding, namun ia menahannya. Senyumnya tetap merekah, dan ia memiringkan kepalanya sedikit, menatap mata om-om itu dengan pandangan menggoda.
"Om juga tidak kalah harum," bisik Arabella, suaranya nyaris seperti desahan. Ia tahu, om-om ini sudah tergoda. Wajahnya semakin memerah, napasnya memburu. Ia merasakan tangan sang om mulai bergerak lebih berani, membelai pinggangnya, lalu perlahan naik ke punggungnya. Arabella merasakan harga dirinya runtuh, namun ia harus bertahan. Ini demi uang, demi kelangsungan hidup.
"Nona, mau menemani saya semalaman?" suara om-om itu serak, dipenuhi hasrat yang tak tertahankan. "Saya akan bayar berapa pun yang nona mau."
Arabella tersenyum, senyum kemenangan yang pahit. "Tentu, Om. Dengan senang hati." Ia tahu, malam ini ia akan mendapatkan cukup uang untuk membayar sewa kos bulan depan.
Tak jauh dari mereka, di sudut yang lebih tenang namun tak kalah ramai, Arkan Stevanno Orlando duduk bersandar di kursi single-nya. Botol-botol wiski kosong berserakan di mejanya, menjadi saksi bisu malam panjang yang ia habiskan untuk melarikan diri dari masalah. Sebagai CEO termuda dan terkaya, Arkan seharusnya menikmati hidupnya. Namun, tekanan bisnis, intrik perusahaan, dan masalah keluarga yang tak kunjung usai, telah membuatnya tenggelam dalam lautan alkohol. Wajahnya yang tampan kini sedikit memerah, matanya tampak sayu, dan ia merasakan pusing yang menusuk-nusuk di kepalanya.
Pandangannya yang samar tiba-tiba terpaku pada sosok seorang wanita yang duduk di pangkuan seorang pria tua. Sosok itu tampak begitu kontras dengan hiruk pikuk di sekitarnya. Meskipun samar, Arkan bisa merasakan aura misterius dari wanita itu. Gaun hitam yang membalut tubuhnya, rambut hitam panjang yang terurai, dan senyum yang tampak dipaksakan-semuanya menarik perhatiannya. Ada sesuatu di balik sorot mata wanita itu yang membuat Arkan tertarik, sesuatu yang lebih dari sekadar penampilan fisik. Ada kesedihan, dan mungkin, sebuah cerita.
Arkan meneguk sisa minumannya, kepalanya semakin pusing, namun pandangannya tak lepas dari wanita itu. Ia merasakan dorongan aneh, sebuah keinginan untuk memiliki wanita itu, untuk menariknya keluar dari situasi yang terlihat menyedihkan di matanya. Tanpa pikir panjang, Arkan mencari sosok Madam Shinta, pemilik diskotek yang juga berperan sebagai germo bagi para wanita penghibur di tempat itu.
"Madam Shinta!" panggil Arkan dengan suara sedikit serak, namun tegas.
Madam Shinta, seorang wanita paruh baya dengan rambut disasak tinggi dan riasan tebal, segera menghampiri Arkan dengan senyum ramah yang dibuat-buat. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan Arkan?"
Arkan menunjuk ke arah Arabella dengan dagunya. "Wanita yang itu. Saya mau booking dia malam ini."
Madam Shinta mengikuti arah pandang Arkan, dan senyumnya sedikit memudar. Ia tahu siapa wanita itu, Arabella, salah satu permata barunya. "Maaf sekali, Tuan Arkan," katanya dengan nada menyesal. "Tapi Arabella sudah di-booking oleh Om Handoko. Mereka baru saja sepakat."
Arkan menatap Madam Shinta dengan mata merahnya yang mabuk. Ada kilatan kekesalan di sana. "Saya akan bayar dua kali lipat! Berapa pun harga yang ditawarkan Om Handoko, saya akan berikan dua kali lipatnya. Katakan padanya!" Suaranya terdengar datar, namun penuh penekanan. Ia tak peduli dengan etika atau kesepakatan yang telah dibuat. Yang ia inginkan adalah wanita itu.
Madam Shinta tampak ragu. Memang, penawaran Arkan terlalu menggiurkan untuk ditolak. Om Handoko memang klien loyal, tapi Arkan adalah klien kelas kakap yang mampu membeli seluruh diskotek ini jika ia mau. Dengan cepat, ia menghampiri meja Om Handoko dan Arabella.
"Maaf mengganggu, Om Handoko," kata Madam Shinta dengan senyum memohon. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan."
Om Handoko menatapnya dengan kesal, pelukannya pada Arabella sedikit melonggar. "Ada apa, Madam? Saya sedang sibuk."
Madam Shinta berbisik cepat di telinga Om Handoko, menjelaskan tawaran Arkan yang menggiurkan. Om Handoko mendengarkan dengan mata membelalak, antara terkejut dan tergoda. Pada akhirnya, uang berbicara lebih keras daripada hasrat sesaat. Om Handoko melepaskan Arabella dengan berat hati.
Arabella, yang tadinya duduk santai di pangkuan Om Handoko, terkejut saat Madam Shinta tiba-tiba datang dan Om Handoko melepaskannya. Ia turun dari pangkuan itu dengan bingung. "Ada apa, Madam? Di-booking? Aku belum menerima pelanggan, Madam." Ia belum sepenuhnya sepakat, hanya mengiyakan.
Madam Shinta tak membuang waktu. Ia menarik tangan Arabella, membawanya dengan cepat menuju meja Arkan. Arabella sedikit terhuyung, terkejut dengan gerakan mendadak itu. Saat ia melihat sosok Arkan, matanya membelalak. Pria itu tampak familiar, ia sering melihatnya di majalah bisnis atau acara televisi. Seorang CEO muda yang sangat kaya, tampan, dan terkenal dengan reputasinya yang dingin.
"Arabella, ini Tuan Arkan," kata Madam Shinta dengan nada penuh semangat, senyumnya kembali merekah lebar. "Tuan Arkan akan mem-booking kamu dengan harga yang sangat mahal, dua kali lipat dari harga biasa."
Jantung Arabella berdebar kencang. Dua kali lipat? Ini adalah jumlah yang sangat besar. Namun, di sisi lain, ia merasakan gelombang kejutan dan kemarahan. Harga dirinya... dihargai begitu murahnya, bahkan ditawar seperti barang. Ia tahu ini pekerjaannya, tetapi ada batasan yang kadang ia coba pertahankan dalam hatinya.
Sebelum Arabella sempat bereaksi atau mengucapkan sepatah kata pun, Arkan yang mabuk dan tak sabar langsung meraih pergelangan tangan Arabella. Cengkeramannya kuat, menarik Arabella dengan paksa hingga ia terhuyung mendekat.
"Kita pergi sekarang," kata Arkan dengan suara rendah dan serak, nadanya tak terbantahkan. Ia bahkan tidak menunggu Madam Shinta atau Arabella merespons.
Arabella terkesiap. Belum pernah ia bertemu pelanggan yang semenyakitkan dan sememaksa ini. Biasanya, para pria akan bersikap lebih sopan, atau setidaknya memberikan sedikit basa-basi. Ini adalah paksaan murni. Kekesalan membuncah di dadanya, namun ia tak bisa melawan. Tenaga Arkan terlalu kuat, dan ia tahu betul posisinya di tempat ini. Ia hanya seorang wanita penghibur, tak punya hak untuk menolak atau melawan pelanggan kelas kakap seperti Arkan.
Arkan menyeret Arabella melewati kerumunan orang yang tak menyadari drama kecil di antara mereka. Langkahnya cepat dan mantap, meskipun ia sedikit limbung karena pengaruh alkohol. Arabella berusaha menyeimbangkan diri, mengikuti langkah Arkan yang lebar. Mereka melewati koridor panjang, aroma diskotek mulai memudar, digantikan oleh aroma karpet usang dan wewangian samar dari kamar-kamar yang berderet.
Akhirnya, Arkan membuka salah satu pintu kamar dan mendorong Arabella masuk. Kamar itu cukup mewah, dengan pencahayaan remang-remang, ranjang besar dengan seprai sutra, dan perabotan elegan. Namun, suasana itu terasa mencekam bagi Arabella. Ia merasa seperti domba yang baru saja diseret ke dalam kandang singa.
Arkan menutup pintu di belakang mereka dengan suara berdebam keras, seolah mengunci mereka di dalam dunianya sendiri. Ia berbalik, menatap Arabella dengan mata yang masih merah dan sayu karena alkohol. Tatapannya intens, seolah ingin menembus sampai ke dasar jiwanya.
"Puasakan aku," perintah Arkan dengan suara berat, tanpa basa-basi, tanpa sentuhan. Kata-katanya menusuk Arabella seperti pisau. Perintah itu terdengar begitu merendahkan, begitu kasar. Ia bukan hanya sebuah objek, melainkan sebuah alat pemuas hasrat.
Arabella menelan ludah, hatinya perih. Namun, ia telah memilih jalan ini. Ia tahu konsekuensinya. Dengan kepala tertunduk, ia mulai mendekati Arkan. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Tangannya perlahan terangkat, meraih kemeja Arkan yang sedikit kusut.
Arkan menariknya lebih dekat, aroma alkohol dan parfumnya yang mahal bercampur dengan aroma tubuh Arabella. Ia membiarkan Arabella melayaninya. Dengan gerakan terlatih, Arabella mulai membuka kancing kemeja Arkan satu per satu. Jari-jarinya yang ramping gemetar sedikit, namun ia berusaha menyembunyikannya. Saat kemeja itu terbuka, terpampanglah dada bidang Arkan yang kokoh, dengan otot-otot yang terbentuk sempurna. Arabella bisa merasakan detak jantungnya sendiri yang semakin cepat.
"Lepaskan," gumam Arkan, suaranya parau, mengacu pada sisa pakaiannya.
Arabella menurut. Dengan gerakan lambat, ia melepas kemeja Arkan, lalu membantu melepas celananya. Setelah itu, ia melepaskan gaunnya sendiri, membiarkannya jatuh ke lantai seperti kepompong yang terbuka. Ia hanya mengenakan pakaian dalam berwarna hitam yang elegan, menonjolkan lekuk tubuhnya.
Arkan memandangnya dengan tatapan lapar. Meskipun mabuk, gairahnya membara. Ia meraih pinggang Arabella, menariknya ke pelukan erat. Bibir Arkan menemukan bibir Arabella, melumatnya dengan kasar. Ciuman itu intens, menuntut, penuh dengan keputusasaan dan hasrat yang tak terkendali. Arabella memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam ciuman itu, berusaha memisahkan fisik dan perasaannya.
Napas Arkan mulai memburu, desahannya samar terdengar saat ia melonggarkan ciuman, beralih ke leher Arabella, menyesap kulit lembutnya. "Ah..." gumamnya, suaranya berat dan serak, penuh kenikmatan. Tangannya menjelajah tubuh Arabella, membelai setiap lekukan, membakar kulitnya.
Arabella berusaha mengimbangi, memuaskan setiap sentuhan Arkan. Ia tahu ini adalah bagian dari pekerjaannya. Ia harus terlihat menikmati, meskipun hatinya menjerit. Ia merasakan gairah Arkan yang semakin menggebu.
Arkan mengangkat tubuh Arabella, menggendongnya ke ranjang. Ia meletakkannya dengan lembut, namun penuh keinginan. Kemudian ia menindih Arabella, menatap dalam-dalam matanya. "Kau milikku malam ini," bisiknya, suaranya dipenuhi otoritas.
Arabella mengangguk, tenggorokannya tercekat. Ia merasakan napas Arkan yang hangat di wajahnya, sentuhan kulitnya yang panas, dan berat tubuhnya di atasnya.
Arkan mulai bergerak, perlahan namun pasti. Rasa sakit awal menyengat Arabella, namun ia menahannya. Ia harus kuat. Kemudian, rasa sakit itu berubah menjadi sensasi lain, yang ia paksakan untuk ia nikmati. Suara desahan mulai memenuhi kamar.
"Ah... Arabella..." Arkan mendesah dalam, suaranya pecah, dipenuhi pelepasan hasrat yang tertahan. Gerakannya semakin cepat dan intens, seolah ingin membuang semua beban yang ia pikul.
Arabella berusaha menyesuaikan iramanya, mengeluarkan desahan-desahan kecil yang dibuat-buat, meskipun di dalam hatinya ia hanya ingin semua ini cepat berakhir. Ia menggigit bibirnya, menahan suara-suara lain yang mungkin keluar. Ia memejamkan mata, membiarkan tubuhnya bergerak secara otomatis, seperti boneka yang digerakkan.
Suara desahan Arkan semakin keras dan dalam, memenuhi ruangan. "Ya... begitu... ahh..." Ia mengerang, mencengkeram erat pinggang Arabella, seolah ingin menyatukan mereka berdua. Keringat membasahi dahi Arkan, menetes ke wajah Arabella.
Arabella merasakan guncangan pada tubuh Arkan, sebuah tanda bahwa hasratnya telah mencapai puncaknya. Bersamaan dengan itu, Arkan mengeluarkan desahan panjang yang dalam, sebuah raungan kepuasan yang tertahan. "Argh...!" Suaranya bergetar, lalu ia terkulai di atas Arabella, napasnya memburu.
Arabella terbaring di bawahnya, napasnya juga tersengal, namun bukan karena gairah, melainkan karena kelelahan dan rasa hampa. Ia merasakan tubuh Arkan yang berat di atasnya, kehangatan yang memudar. Malam itu, ia sekali lagi menukar harga dirinya dengan secercah harapan. Ia tahu, fajar akan tiba, dan ia harus bangkit, kembali menjadi Arabella Alexandro sang mahasiswi, meninggalkan jejak malam yang memalukan ini di balik pintu kamar yang tertutup. Namun, pertemuan dengan Arkan Stevanno Orlando ini, entah mengapa, terasa berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelupai, sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.