Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi malam ini Hana berdandan sangat cantik demi untuk menyenangkan suaminya.
Bima adalah suami Hana selama tiga tahun ini.
Sebenarnya mereka menjalani rumah tangga karena perjodohan.
Bima mau tidak mau menikahi Hana karena pesan dari kakeknya tiga tahun lalu.
Sekarang kakek Bima sudah tiada dan tidak ada alasannya lagi untuk mempertahankan biduk rumah tangganya.
Kedua orang tua Bima sudah lama tiada, itu terjadi saat Bima berusia tujuh tahun.
Tidak ada perasaan cinta antara Hana dan Bima.
Kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya dan Bima dibesarkan juga dirawat oleh kakeknya, Sanjaya.
"Tega banget kamu, Mas Bima, apakah kamu nggak mengerti perasaanku. Dimataku, hanya ada kamu, Mas. Kamu adalah orang yang paling aku cintai, Mas!"
Rasanya Hana tak kuat lagi membendung semua air mata. Tanpa terasa mengalir membanjiri wajah cantik itu.
"Maafkan aku, Hana. Aku sudah mengurus semua. Pengacara akan datang ke tempatmu besok dan membawakan semua berkas. Kamu hanya perlu tanda tangan."
"Untuk masalah tunjangan aku juga sudah menyiapkan semua. Anggap saja ini adalah balasan dari kontrak pernikahan kita selama tiga tahun ini."
Laki-laki itu berkata dan memandangi wajah Hana tanpa ada rasa iba sedikitpun, bahkan terkesan terburu-buru untuk mengakhiri semua.
"Apa salahku Mas Bima, apa? Aku tetap akan menjadi istri yang baik kok, asalkan kamu tetap membiarkan aku disisi kamu," ucap Hana, wanita itu seperti meminta belas kasih dan sedikit saja harapan agar Bima yang sekarang masih berstatus suaminya itu mengerti dan memahami semua perasaan.
"Sudahlah, Han, ini tidak akan berhasil dengan hubungan kita. Aku ini ingin membebaskan kamu. Kamu nggak perlu menunggu aku lagi setiap hari. Aku benar-benar ingin mengakhiri segalanya. Tolonglah, hubungan kita ini nggak akan berhasil, Han ...," pinta Bima terus mendesak.
"Apa ini karena wanita itu, Mas? Kita sudah membicarakan ini kan, Mas? Aku sudah katakan, aku rela, Mas. Aku rela berbagi dengannya," ucap Hana lagi, bibirnya bergetar saat mengatakan hal yang paling dibenci.
Mana mungkin di dunia ini ada wanita yang rela berbagi suami. Apalagi Dimata Hana, hanya Bima lah satu-satunya.
Dia hanya menahan semua untuk tetap mendapatkan posisinya sebagai istri Bima Sanjaya.
Bima beranjak dari duduknya, dia terlihat ingin segera pergi.
"Mas, jangan pergi, Mas. Aku mohon, Mas," air mata Hana semakin deras.
Dia bahkan rela bersujud asalkan suaminya tidak meninggalkan, "tolong Mas, aku mohon, pikiran hubungan kita yang sudah tiga tahun ini, Mas. Jangan karena permintaannya kamu malah berubah, Mas. Katakan, Mas? Tolong jangan tinggalkan aku, Mas," suara Hana tiba-tiba berteriak dan mengundang semua orang yang berada dalam restoran itu menatap ke arah mereka.
"Aduh, Hana, kamu lebay banget sih. Mas Bima kan sudah memberikan penawaran yang bagus, kamu cukup terima saja sih, nggak perlu ribut. Semua tunjangan juga pasti kamu dapatkan."
"Kamu cukup tanda tangan, pergi dan semua beres! Nggak ada yang kurang kan? So, nggak usah main sinetron termehek-mehek disini."
Hana menarik wajahnya dan melihat sosok wanita berbalut gaun serba terbuka juga menonjol sedang mengapit lengan suaminya dengan mesra.
Wanita itu berkata tanpa peduli lagi perasaan Hana terluka atau tidak.
Hana memang tidak pernah bisa berpenampilan seperti wanita dihadapannya.
Mungkin penampilan sempurna yang dibanggakan Hana malam ini jika dibandingkan dengan wanita yang sedang menaruh kepalanya di lengan suaminya itu tidak termasuk sesuatu yang spesial.
Bahkan saat wanita licik itu berkata, suaminya, Bima, seolah tak mempedulikan.
Dia tenang dan menikmati setiap kata yang bernada ejekan tadi.
"Diam. Aku nggak berbicara dengan kamu. Aku sedang berbicara dengan suamiku," entah dari mana Hana memiliki keberanian hingga dia melawan balik ucapan wanita itu.
Mungkin karena Hana merasa wanita itu sudah keterlaluan.
Hana juga merasa, dia masih pantas mempertahankan suaminya sampai titik darah penghabisan sebelum dirinya menyetujui semua permintaan Bima.
Wanita itu melepaskan sikap manjanya dan mendorong tubuh Hana hingga Hana tersungkur di lantai.
Tatapannya kini mengintimidasi Hana, dia yakin pasti akan memenangkan pertarungan kecil ini.
"Aww, sa–sakit, Zhifa, lepaskan, arghh!" jerit Hana saat dia ingin berdiri, tapi pundaknya di tekan, tangannya diinjak dan rambut Hana ditarik.
"Dasar pelakor tidak tahu diri. Wanita murahan. Kamu sudah berani merebut suami orang. Sekarang malah pura-pura. Kamu ingin menggoda suamiku, hah? Apa uang yang suamiku berikan padamu masih belum cukup? Mau berapa banyak lagi yang mau kau kuras? Dasar perempuan tidak tahu diri!"
Seketika Hana membeku saat wanita yang bernama Zhifa itu berteriak lantang di hadapan semua orang.
Dia memakinya.
Sepertinya sekarang Zhifa sedang membuat posisi mereka seolah tertukar. Hanalah yang dituduh pelakor. Maling teriak maling.
Hana menarik wajahnya dan melihat wajah sang suaminya.
Bima malah memalingkan wajah dan pura-pura tidak mendengar.
"Mas, Mas Bima, kamu benar-benar tega sama aku, Mas?" raung Hana lirih meminta pertolongan. Dia benar-benar sedih juga sakit hati menerima perlakuan seperti itu.
Bukan hanya harga dirinya yang diinjak, tapi semua perlakuan Bima selama tiga tahun ini di abaikan olehnya.
Dia menutup mata juga telinga.
Hana hanya pura-pura terlihat baik baik saja dihadapan Bima. Hana hanya berharap akan ada satu keajaiban yang merubah juga menggerakkan hati suaminya.
Sekali saja, Hana hanya ingin Bima menatapnya dengan penuh cinta.
Namun, sampai hari ini, semua yang dilakukan Hana ternyata sia-sia.
Dia tidak mendapatkan apapun dengan pengabdiannya sebagai seorang istri selain mendapatkan suaminya berselingkuh.
Tepatnya, bukan berselingkuh, tapi, Zhifa adalah kekasih Bima sejak kuliah dulu.
Bima terpaksa memutuskan Zhifa dan menikah dengan Hana tanpa adanya rasa cinta, semua yang dilakukan Bima hanya untuk mendapatkan seluruh aset dan warisan dari kakeknya, Sanjaya.
"Sudahlah, Zhifa, kita pergi saja. Bukannya kamu ingin makan sushi di tempat biasa," ucap Bima.
Suaranya begitu lembut saat berkata dengan wanita itu.
Rasanya luar biasa sakit hatinya Hana. Dia tidak pernah mendengarkan suaminya berkata lembut meski hanya memanggil namanya.
"Dan kau, Hana, sebaiknya kau pertimbangan semua yang aku katakan tadi. Ini nggak akan susah kok, kamu hanya perlu menandatangani saja," Bima lagi-lagi berkata tanpa ekspresi.
Padahal saat ini Hana sedang menahan rasa sakit di tangan akibat injakan sengaja Zhifa tadi. Juga penghinaan, cacian, serta perasaannya yang tidak pernah Bima anggap selama tiga tahun ini.
Hana tertunduk.
Dia menahannya kembali.