a Elara. Ia duduk di kursi ruang tunggu klinik fertilitas, menggenggam jemarinya ya
nya berjalan dalam jadwal ketat: pemeriksaan hormon, tes darah, pengukuran rahim, suntik
kan jarum suntik atau ruang laboratorium,
akan jas rapi, tangan bersilang, mata tajam tapi tanpa ekspresi. Seolah-olah
l perawat, meme
i sofa kulit hitam di sisi ruangan. Pria itu mengangguk tipis,
kecemasan. Proses hari ini adalah langkah awal stimulasi hormon-
it, menatap langit-langit. "Semuanya baik-baik saja," u
aimana bisa ia menjalani ini tanpa melibatkan hatinya, s
ter. Adrian duduk di sampingnya kali ini, namun masih
hari ke depan, kita akan mulai prosedur fertilisasi in
u tampak serius, rahangnya mengeras, matanya menatap layar monitor y
meremas jemari di pangkuannya. "Kau... tidak perlu sel
royek yang sangat penting. Aku
asakan dadanya menegang. "Aku bukan mesin
i tanpa topeng dingin di wajahnya. "Aku tahu," ucapnya pelan. "It
ra terasa panas. Ia membuang tatapan, takut pr
ual di pagi hari, kembung, emosinya naik turun. Ia menangis karena iklan tel
apnya saat ia merasa lemah, cara ia memanggil namanya dengan nada pelan, cara ia
ya rasa terima kasih, atau sekadar efek
an berdampingan di lorong parkir. Suasana hening,
au harus ingat, ini hanya kesepakatan. Tidak
erti tamparan dingin. Ia menatap Adrian, mencoba tersen
alu melangkah lebih
cinta sedang tumbuh dalam dirinya-tapi cinta itu hanya
bil. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Elara bingung: Apakah benar-benar tidak a
e klinik fertilitas. Langit masih berwarna kelabu, seolah menyimpan rahasia. Jantungn
lan abu-abu tua yang membuat sorot matanya tampak semakin tajam. Ia tidak banyak bicara sejak menjemput
engan senyum lembut. "Nona Elara, semuanya sudah disiapkan. Kami
a kepalanya ringan, seolah berja
an tubuh ke depan. "Kau yakin sanggup menjalani ini?" t
wajahnya. "Aku sudah sejauh ini,
n halus yang tak mau mereka akui. Adrian memali
berbaring di atas ranjang khusus dengan pakaian rumah sakit, selimut tipis
, dan hanya berlangsung sekitar lima belas menit. Kami akan memasukkan embrio hasil pembuahan ke d
jantungnya berdebar se
menatapnya. Mata gelapnya tajam, namun ada ketegangan samar di
sensasi dingin dan tekanan halus di tubuhnya. Nafasnya membu
benar-benar menyerahkan tubuhnya untu
na-Adrian-adalah ayah bi
netes tanpa
t lengannya. "Selesai. Sekarang tingga
g disediakan klinik. Ruangan tenang, tirainya setengah terbuk
g tempat tidurnya, diam, tapi k
is tadi," u
. "Aku bahkan
nga
"Mungkin... karena ini terasa terlalu besa
terdengar lebih lembut dari se
kaligus berdebar. Ia ingin menolak kenyaman
ergeser dan menutupkannya perlahan ke tubuh Elara. Jemarinya tanpa se
uhan singkat itu memicu k
asih..."
pelan, seolah takut menimbulkan kebisingan. "Istirah
selimut di dadanya. Air mata kembali jatuh, tapi kali ini bukan karena ketakutan..
makanan ringan dan sebotol air mineral. "Dokter bilang kau harus maka
h," Elara me
dekat. "Berapa lama... sebe
" jawab Elara, menat
rhasil menjadi rumah bagi benih kehidupan mereka. Dua minggu yan
lara merasakan ketegangan itu-jarak yang mereka bangun mul
iam, terlalu sadar akan de
amkan mata dengan air mata membasahi pipi. Ia tahu ia tidak boleh mencintainya. Tapi bagaiman

GOOGLE PLAY