Namun di balik wajahnya yang tampan, Dul punya selera humor yang kerap melontarkan guyonan saat berjualan. "Tampan, beli esnya dong!" suara menggoda dari arah teras memanggil.
Tasya berdiri dengan tangan di pinggul, senyum tipis menghiasi wajahnya yang matang. Di usianya yang sudah 35 tahun, dia masih menyandang status single parent. Bukan karena penampilannya yang biasa-biasa saja, tapi lebih karena hatinya yang belum sepenuhnya luluh pada pria manapun, meski ia terus berharap menemukan yang tepat. Tasya, dengan aura tegas seorang supervisor kosmetik di kota, selalu tahu cara bermain kata saat menggoda Dul.
Tasya duduk santai, wajah mungilnya yang bersih memantulkan cahaya mentari sore. Kulitnya yang putih seperti porselen, dipadu dengan tubuh aduhai yang bikin siapa pun sulit menoleh tanpa sengaja.
Dadanya yang indah, terasa pas dan proporsional, seolah jadi rahasia kecil yang membuat orang penasaran.
"Makasih, Mba. Mba Tasya baru tiba, ya?" suara Dul terdengar bersemangat sambil mengemasi dagangannya.
"Iya, Dul. Mba ambil cuti dua hari, sekalian lepas rindu sama kamu!" Tasya membalas dengan senyum paling manis yang bisa ia berikan, bibirnya membentuk lengkungan sempurna. Hehe, kamu makin cantik kalau lagi ngegombal, ya,"
Dul menyela, mencoba menahan senyum sambil melempar es ke keranjang. "Eh, Mba mau beli es satu nggak?" Tasya menatap Dul, tidak ingin si penjual pergi begitu saja. Ia menepuk dagunya dan mengerutkan alis, berusaha merancang cara supaya bisa bertahan lebih lama.
"Kira-kira, masih sisa berapa porsi, Dul?" tanyanya dengan suara lembut. "Kurang lebih dua puluh, Mba," jawab Dul sambil menghitung es di kotak pendingin. Tasya tersenyum penuh arti, lalu berkata, "Kalau begitu, aku borong semuanya, tapi kamu temani aku makan, ya!"
Ia menatap Dul sambil memainkan alis, penuh godaan. Dul tertawa kecil, lalu mengangkat bahu santai. "Siapa, sih, yang bisa nolak permintaan wanita secantik Mba Tasya?" ujarnya tulus, menghapus lelah seharian dengan senyuman itu.
Dul sudah pernah merasakan manisnya bibir Tasya, kenangan itu membuat kedekatan mereka terasa hangat, hampir seperti rahasia yang mereka bagi bersama.
Saat Dul mulai merapikan posri pesanan dari Tasya, tiba-tiba Tasya menatapnya dengan senyum menggoda. "Kamu nggak kangen sama aku, Dul?" godanya, matanya berbinar.
Dul cuma mengangkat bahu santai. "Nggak, Mba. Cuma kangen aja!" jawabnya sambil menyembunyikan senyum kecil. Tiba-tiba, tangan Tasya mencubit perut Dul dengan cekatan. "Nyiuutt...!"
Dul terkejut, es yang tadi dia pegang itu langsung meluncur dan mendarat tepat di dada Tasya. "Aduh, dingin, Dul!" teriak Tasya, sambil menarik nafas panjang.
Dul merengut, membela diri. "Siapa suruh cubitin aku, Mba? Lagian, kok kamu cuma pakai singlet gitu?" Tasya cuma melempar pandangan sambil tersipu. "Dul, aku mau bersihin badan dulu. Kalau udah selesai langsung masuk, ya!"
Dia lalu berlari kecil ke dalam rumah. Dul mengerutkan kening, tak bisa menahan senyum saat matanya tertuju pada lekuk pinggul Tasya yang bergoyang pelan. "Wih, semok banget bokongmu, Mba..." batinnya.
Dia kembali fokus pada pesanan, tapi pikirannya sudah melayang ke tubuh Tasya, berharap kenangan manis bulan lalu akan terulang lagi.
Tak lama kemudian, Tasya melangkah keluar membawa talenan untuk wadah es Dul. Begitu muncul di pintu, Dul spontan melotot, matanya membesar seolah nyaris melompat keluar saat melihat Tasya hanya membalut tubuhnya dengan handuk mandi tipis.
"Cepetan, Dul! Nanti tetangga pada julid liatin kita," bisik Tasya sambil melempar senyum nakal.
"I-iya, Mba," jawab Dul terbata, napasnya tercekat, tangan gemetar sedikit.
Tasya, yang jelas-jelas berniat menggoda, meletakkan es di atas meja lalu sengaja menunggingkan pinggulnya. Tatapan Dul tak bisa lepas dari lekuk tubuh Tasya yang menggoda-dan tanpa dalaman sama sekali.
"Astajim, mataku ternodai..." gumam Dul dalam hati, dadanya sesak ketika pandangannya jatuh ke paha mulus Tasya yang terekspos.
Tasya menoleh sebentar, matanya menyapu wajah Dul, menikmati kekagetan yang terpancar jelas. Lalu ia duduk di sofa berhadapan, membuka jarak kakinya lebar-lebar seolah ingin membuat Dul semakin terperangkap dalam perasaannya.
"Dul, kamu kenapa sih? Dari tadi cuma ngelototin aku terus, ada apa?" Tasya akhirnya memecah keheningan dengan nada penasaran, matanya tak lepas menatap wajah Dul.
Dul tiba-tiba terbatuk, wajahnya memerah, bibir gemetar. "J–jambut, e–em... m3mek, eh... anu, Mba, aku mau izin makan esnya dulu ya!" jawabnya terbata-bata, keringat dingin mulai menitik di pelipis.
Pandangannya berusaha menghindar tapi seolah tak bisa melepaskan diri dari tatapan Tasya yang menusuk. Tasya tersenyum tipis, lalu melirik ke bawah celana jeans Dul, menyadari sesuatu yang membuat pipinya hangat.
Dengan santai, dia mengulurkan tangan, "Ayo, duduk di sini aja."
Kaki Dul seperti bergerak sendiri, tanpa sadar menapak mendekat ke sisi Tasya.
Sluuuurrrppp... Tasya menikmati es krim yang dipegangnya, suara hisapan itu mengisi ruang hening. "Enak banget, Dul," ujarnya sambil menjilati ujung es yang mulai mencair.
Dul menelan ludah, lalu tanpa sadar berkata, "Kalau jilatin ini sih, Mba, lebih enak lagi."
Wajahnya makin merah tapi ada keberanian yang baru saja muncul. "Udah mulai nakal ya? Padahal bulan lalu minta ciuman aja sudah bikin keringetan," goda Tasya dengan nada menggoda, matanya berbinar.
Seketika, Tasya mencondongkan badan, bibirnya menyentuh lembut bibir Dul. Suara pelan "cup, cup, cup" berulang kali, membangkitkan getaran di dada Dul.
"Heh, bentar, Mba," Dul protes sambil tertawa kecil, "Biasanya sambil pangutan juga, lho!"
Tasya menatap Dul tanpa menjawab, lalu tiba-tiba menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut tapi tegas. Dengan tarikan pelan, dia mengajak Dul masuk ke kamarya.
Begitu pintu tertutup, Tasya melepaskan lilitan handuknya, napasnya sedikit berat. "Come on, baby, tubuhku sekarang milikmu," bisiknya penuh keyakinan.
Dul mengangguk gugup, matanya membelalak, "Bo-boleh masukin itu, Mba?" tanyanya lirih, berharap mendapat izin.
"Tentu, tapi jangan sampai ada yang tahu, ini rahasia kita saja," jawab Tasya sambil tersenyum misterius.
Mendapat lampu hijau, Dul langsung melucuti pakaiannya perlahan, tangan gemetar. Ia menghampiri Tasya dengan tatapan cemas tapi penasaran.
"Kamu udah pernah, kan?" suara Tasya mengandung rasa ingin tahu, seakan ingin tahu apakah Dul benar-benar siap. Dul hanya menggeleng, bibirnya tercekat, jari-jarinya mulai meraba lembut dada Tasya yang mengundang.
"Indah banget dadamu, Mba," katanya serak, tangannya menopang kedua ******** Tasya seolah mencoba mengukur beban rasa di balik kelembutan itu.
Perlahan tubuh Tasya menunduk, dan mulutnya sejajar dengan Dul. "Mba kenapa, apa punyaku kecil?" tanya Dul sambil menunduk sejenak, namun Tasya memilih diam.