Sejak SMA, Luna menjalin hubungan dengan Arman. Lima tahun telah mereka lalui, melewati tawa dan tangis, rahasia dan janji-janji kecil yang mereka buat hanya untuk saling menjaga. Arman adalah cinta pertamanya, dan ia yakin Arman adalah pria yang akan menemaninya sampai tua. Bahkan ketika Arman melamarnya setahun lalu, Luna menatap cincin itu dengan mata berbinar. Mereka merencanakan pernikahan dengan sederhana, jauh dari keramaian, hanya dengan keluarga dekat.
Namun, hidup punya caranya sendiri untuk mengacak rencana manusia.
Di hari ini, Luna tidak berdiri di depan altar menunggu Arman. Ia justru melangkah dengan gaun pengantin yang indah, tangan terkepal di samping seorang pria yang bukan pilihannya: Reza. Reza, tunangan sepupunya, Nadia, yang selama ini selalu tampak sopan dan hangat. Reza bukan pria kaya, bukan pula pekerja tetap. Ia hanyalah pria sederhana dengan senyum manis yang bisa menenangkan, tapi tak bisa menebus luka hati Luna.
"Luna... kau yakin ini yang kau inginkan?" tanya sahabatnya, Tara, ketika menahan tangis di kursi paling depan. Suara Tara bergetar, dan matanya memerah karena menangis semalaman.
Luna menelan ludah, mencoba tersenyum meski hatinya terasa terkoyak. "Aku... aku harus melakukannya, Tara. Demi ayah..." suaranya serak, nyaris tak terdengar di antara gema langkah para tamu yang sudah memenuhi gereja.
Tara mengangguk, meski tidak bisa menahan rasa kasihan. "Aku mengerti... tapi... ini berat, Luna. Aku tahu kau mencintai Arman."
Luna menunduk, air mata menetes diam-diam. Tidak ada jawaban yang bisa mewakili perasaannya. Ia sudah membuat keputusan. Ia harus menikah dengan Reza. Demi ayahnya yang sakit, demi keluarga yang menuntutnya tetap menjaga nama baik, demi semua yang tidak bisa ia ubah.
Di altar, Reza menunggu dengan senyum lembut, tangan terkepal di belakang punggungnya. Ia tahu Luna tidak bahagia, tapi ia juga tak bisa menolak hari ini. Ia ingin menjadi penopang, meski hatinya sendiri bergetar melihat raut sedih Luna.
Pendeta mulai memimpin upacara, kata demi kata mengalir di udara, namun Luna tidak mendengarnya. Ia hanya menatap gaun pengantinnya sendiri, memikirkan Arman yang mungkin sekarang tengah menahan amarah dan kesedihan di rumahnya sendiri. Ia tahu, Arman mencintainya dengan tulus, tapi hidup kadang menuntut pengorbanan yang pahit.
Beberapa bulan terakhir menjadi bulan-bulan terberat bagi Luna. Arman mulai sibuk dengan pekerjaannya di kota lain, sementara ayahnya jatuh sakit. Dokter mengatakan ayahnya tidak akan bertahan lama jika stres atau kecewa. Maka, ketika keluarga Reza datang dengan niat baik, menawarkan stabilitas dan bantuan untuk ayahnya, Luna tidak punya pilihan. Ia menekankan hatinya, menutup luka lama, dan menerima Reza.
Reza menggenggam tangannya, lembut tapi tegas. "Luna... aku janji akan menjagamu. Tidak sempurna, tapi aku akan berusaha."
Luna hanya mengangguk. Ia ingin percaya, tapi hatinya tetap terkunci pada satu nama: Arman. Ia menatap mata Reza, mencari secercah ketulusan yang bisa menenangkan jiwanya, dan ia menemukannya-meski tidak sepenuhnya.
Sementara itu, jauh dari pandangan Luna, Arman berdiri di halaman rumahnya, menatap langit dengan mata kosong. Nadia, sepupu Luna, menepuk bahunya dengan senyum tipis. "Arman... aku... kita harus bicara."
Arman menoleh, wajahnya keras. "Kau tahu aku mencintainya, Nadia. Dan sekarang ia menikah dengan pria lain. Kau... kau ikut campur dalam hidup kami, dan kau tahu itu."
Nadia menunduk, takut, tapi jujur. "Aku tidak ingin begitu... tapi aku dan Arman... kami..." Suaranya terputus, dan ia menatap ke arah tubuh kecil yang mulai tumbuh di rahimnya. Rahasia yang ia simpan rapat selama ini. Hidup baru yang akan mengubah segalanya.
Luna tidak tahu apa-apa tentang hubungan rahasia itu. Ia hanya tahu bahwa hidupnya sudah berubah. Ia menjadi istri seorang pria yang ia tidak cintai, yang tidak memiliki pekerjaan tetap, dan harus menanggung beban harapan keluarganya. Malam-malamnya dipenuhi rasa sepi, dan ketika Reza tertidur, Luna memandangi langit-langit kamar, memikirkan Arman yang kini jauh dari genggamannya.
Hari-hari awal pernikahan berjalan canggung. Reza berusaha menciptakan suasana hangat di rumah sederhana mereka, tetapi Luna selalu menolak terlalu dekat. Ia takut luka hatinya semakin dalam, takut keterikatan akan menimbulkan pengkhianatan baru di hatinya sendiri.
"Luna, aku memasak untukmu," kata Reza suatu sore, menyerahkan piring hangat berisi masakan sederhana.
Luna menatapnya, menahan diri untuk tidak menangis. "Terima kasih, Reza... tapi aku tidak lapar." Suaranya dingin, dan Reza menunduk, merasa bersalah.
Di hari-hari itu pula, Luna mulai mendengar bisik-bisik tetangga dan keluarga tentang kehamilan Nadia. Ia mencoba menepisnya, berpikir itu hanyalah gosip, tapi setiap kali ia melihat Nadia, ada sesuatu di matanya yang sulit diabaikan. Rahasia yang disembunyikan, kehidupan yang tumbuh di rahim sepupunya sendiri, adalah pengingat pahit bahwa cinta sejatinya kini jauh dari genggaman.
Sementara Reza berusaha keras menjadi suami yang baik, Luna tetap menjaga jarak. Ia memikirkan masa depan, bagaimana ia harus menjadi tulang punggung ayahnya yang sakit, dan bagaimana ia akan mengendalikan rasa cemburu serta sakit hati yang terus membakar dada.
Pada malam-malam yang sunyi, Luna sering menulis di jurnalnya: "Aku mencintai Arman. Aku menikahi Reza. Hidup... sebercanda ini, ya Tuhan?"
Tara datang mengunjunginya seminggu setelah pernikahan. Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana, kopi panas di tangan. "Luna... kau harus bicara dengan Reza. Dia... dia tidak seburuk yang kau kira."
Luna menggenggam cangkirnya, menatap uap kopi yang naik. "Aku tahu, Tara... tapi hatiku... hatiku masih penuh luka. Bagaimana bisa aku membuka diri ketika bagian terbaik dari hatiku sudah diambil?"
Tara menarik napas panjang. "Kadang kita harus menerima keadaan, Luna. Hidup tidak selalu tentang cinta yang sempurna. Kadang tentang bertahan dan berkorban."
Luna menunduk, mata berkaca-kaca. Kata-kata itu benar, tapi rasanya tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang menumpuk. Ia tahu akan ada hari-hari panjang, pertarungan batin yang tak terlihat oleh siapa pun.
Di sisi lain kota, Arman dan Nadia semakin dekat. Setiap senyum, setiap kata yang mereka bagi, menjadi benih pengkhianatan yang tersembunyi. Arman tahu apa yang ia lakukan salah, tapi hatinya tetap menuntunnya pada Nadia. Dan Nadia... ia membawa rahasia terbesar mereka: seorang anak yang akan segera lahir, simbol dari hubungan mereka yang tidak pernah Luna ketahui.
Hari demi hari, hidup Luna berjalan di antara ketidakpastian, pengorbanan, dan rasa sakit yang tertahan. Ia belajar menahan tangis, menelan rasa cemburu, dan tersenyum di hadapan Reza ketika dibutuhkan. Namun di dalam hatinya, ia tahu: kehidupan barunya bukanlah kehidupan yang ia pilih, dan cinta sejatinya masih menunggu di suatu tempat yang tak bisa ia raih.
Malam itu, setelah Reza tertidur, Luna menatap bulan dari balkon. Angin dingin menyentuh wajahnya, dan ia menghela napas panjang. "Aku kuat... aku harus kuat," bisiknya, suara nyaris tenggelam dalam hening. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok, minggu depan, atau bulan depan. Tapi ia tahu satu hal: hidupnya kini penuh dengan rahasia, pengkhianatan, dan pilihan yang pahit. Dan di tengah semua itu, Luna harus menemukan caranya sendiri untuk bertahan.
Malam itu, kota tampak sepi di balik cahaya lampu jalan yang berkelip lembut. Luna berjalan pelan di trotoar depan rumahnya, menenangkan pikiran yang tidak pernah diam. Setelah beberapa minggu menikah, rasa asing terhadap rumah ini semakin terasa berat. Setiap sudut seolah memantulkan bayangan kehidupannya yang tidak pernah ia pilih sendiri.
Reza tertidur lebih awal malam ini, seperti biasanya. Ia pulang dari pekerjaan sampingan yang tidak tetap, lelah, namun selalu berusaha tersenyum ketika Luna menatapnya sekilas. Tapi Luna... Luna tidak bisa membalas senyum itu. Hatinya masih berkelana pada Arman, pada mimpi-mimpi lama yang kini hancur.
Ia berhenti di depan taman kecil di halaman belakang. Angin dingin malam menyentuh pipinya, dan aroma bunga melati yang ditanam Reza memukul hidungnya. Ia menutup mata sejenak, mencoba menarik napas panjang, tapi rasanya seperti menarik napas di dalam ruang yang penuh asap: setiap tarikan membawa sakit.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di saku. Pesan masuk dari seseorang yang tak asing lagi: Arman.
"Luna... aku butuh bicara. Sekali saja. Tolong."
Luna menatap layar, jantungnya berdebar keras. Ia tahu menanggapi pesan itu adalah risiko besar. Setiap kata dari Arman selalu bisa membuat hatinya runtuh, membuat semua yang telah ia bangun bersama Reza terasa sia-sia. Tapi ia juga tahu, menolak sepenuhnya sama saja menahan napas dari masa lalu yang terus menghantui.
Dengan tangan gemetar, ia mengetik balasan singkat: "Besok. Di kafe tempat kita dulu sering bertemu. Jam lima."
Pesan terkirim, dan Luna menatap bulan di atasnya. Ia baru saja menyalakan api dari masa lalu, api yang mungkin akan membakar semua yang tersisa dari hatinya yang rapuh.
Keesokan harinya, Luna tiba lebih awal di kafe kecil di pinggir kota. Tempat ini penuh kenangan: aroma kopi yang khas, meja kayu yang sudah tergores tanda waktu, kursi yang biasa mereka duduki ketika masih SMA. Ia memilih duduk di pojok, matanya menatap jalan masuk setiap orang yang melintas.
Arman datang lima menit kemudian, langkahnya cepat, wajahnya tegang. Begitu melihat Luna, ia tersenyum tipis, tapi matanya penuh gelap.
"Luna..." suaranya rendah, hampir berbisik. "Kau... kau menikah dengan Reza."
Luna menunduk, menahan diri untuk tidak menatap langsung. "Aku tahu kau tahu... tapi ini bukan tentang aku memilih Reza. Ini... demi ayahku."
Arman menatapnya tajam, lalu menggeleng. "Demi ayahmu? Kau tahu ayahmu akan bangga jika kau bahagia. Tapi kau... kau sendiri yang tersiksa. Luna, kau tidak boleh mengorbankan hidupmu seperti ini."
Luna menelan ludah. Kata-kata Arman menembus lapisan pertahanan yang ia bangun selama berminggu-minggu. "Aku... aku tidak punya pilihan lain. Reza... ia... ia baik, dan aku harus..." Suaranya tercekat, air mata menitik pelan.
Arman menghela napas panjang. Ia duduk di seberang Luna, menatap matanya dengan lembut. "Luna, aku tidak akan meminta kau meninggalkan Reza. Aku hanya ingin kau jujur pada diri sendiri. Jangan biarkan rasa takut atau tanggung jawab membuatmu kehilangan dirimu."
Di saat yang sama, Reza sedang berada di kantornya, menerima telepon dari seorang kolega. "Pak... ada informasi penting tentang klien baru. Sepertinya ada masalah hukum yang bisa mempengaruhi bisnis mereka." Suara itu menimbulkan garis-garis tegang di wajah Reza. Ia menutup mata sejenak, merasakan beban hidupnya semakin berat. Tidak hanya harus menghadapi tanggung jawab sebagai suami, tetapi juga tekanan ekonomi yang tak kunjung reda.
Beberapa hari kemudian, Luna mulai merasakan perubahan di rumah. Reza semakin sering pulang larut, wajahnya kusut, dan rahasia kecil mulai muncul: tagihan yang belum dibayar, telepon dari orang-orang yang menuntut janji-janji bisnis. Luna mulai menyadari bahwa pernikahan ini lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Reza bukan hanya suami yang ia pilih karena pengorbanan, tapi juga pria yang harus ia bantu bertahan dari hidup yang keras.
Suatu malam, ketika Reza sedang tidur, Luna menerima paket tanpa pengirim. Di dalamnya ada foto-foto Nadia yang sedang tersenyum di depan rumah sakit, perutnya tampak mulai menonjol. Di balik foto itu, ada selembar kertas kecil dengan tulisan tangan:
"Ini bukan rahasia lagi. Kau harus tahu sebelum terlambat."
Jantung Luna berdegup kencang. Rahasia yang selama ini ia curigai kini nyata di depannya. Rasa sakit dan pengkhianatan memuncak. Ia menatap foto itu lama, membayangkan Arman dan Nadia bersama, membayangkan kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya kini ada di rahim sepupunya sendiri.
Ia memutuskan untuk menghadapi semuanya. Keesokan harinya, ia pergi menemui Nadia. Rumah sepupunya tidak jauh, tapi setiap langkah menuju pintu terasa seperti meniti jurang emosi. Ia mengetuk pintu, dan Nadia membukanya, wajahnya kaku.
"Luna... kau datang..." suara Nadia terdengar seperti bisikan ketakutan.
"Ya, aku datang. Aku ingin bicara, Nadia. Tentang semuanya." Luna menatap tajam, meski hatinya bergetar.
Nadia menelan ludah, menunduk. "Aku... aku tidak tahu bagaimana... kau menikah dengan Reza, dan..." Suaranya terhenti, tak berani melanjutkan.
Luna menarik napas panjang. "Dan apa, Nadia? Aku tahu tentangmu dan Arman. Aku tahu tentang bayi yang kau kandung. Kau pikir aku tidak tahu? Aku tidak akan menangis atau marah... tapi aku ingin kau mengerti... ini sakit. Lebih sakit daripada yang kau bayangkan."
Nadia menangis diam-diam, tubuhnya gemetar. "Aku... aku tidak tahu... aku tidak ingin seperti ini, Luna. Tapi Arman... ia... ia..." Suaranya terputus, dan air mata jatuh deras.
Luna menatapnya lama, merasakan kepedihan yang sama dengan yang ia rasakan sendiri. "Aku harus kuat... karena aku harus menghadapi Reza juga. Kita semua... kita semua telah membuat kesalahan. Tapi aku tidak akan membiarkan rasa sakit ini menghancurkan hidupku lebih jauh."
Setelah pertemuan itu, Luna pulang dengan kepala berat. Ia menutup pintu rumah, duduk di sofa, dan menatap langit-langit. Pikiran tentang masa depan, tentang Reza, tentang Arman dan rahasia Nadia, semua berputar di kepalanya seperti badai. Ia tahu pernikahannya baru dimulai, tapi masalah baru telah muncul. Masalah yang tidak bisa ia abaikan.
Hari-hari berikutnya, ketegangan semakin terasa. Reza mulai curiga dengan sikap Luna yang tampak gelisah. Ia memperhatikannya setiap saat, mencoba menebak apa yang terjadi di balik tatapan jauh itu. Suatu malam, ia menanyakan dengan lembut: "Luna... kau tampak berbeda. Ada sesuatu yang ingin kau katakan?"
Luna menunduk, menggenggam tangan Reza. "Tidak... tidak ada. Aku hanya... lelah. Pekerjaanmu, rumah ini... semua terasa berat."
Reza mengangguk, meski hatinya tetap waspada. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan. Dan sebagai pria yang mencintai Luna dengan cara sederhana tapi tulus, ia bersumpah untuk menemukan kebenaran, meski itu berarti menghadapi dunia yang tidak bersahabat.
Di luar rumah, Arman terus mengamati dari jauh. Ia tahu Luna sekarang menjadi milik orang lain secara resmi, tapi hatinya menolak menyerah. Rahasia dan kebohongan telah menumpuk, dan ia harus membuat pilihan: apakah ia akan terus membiarkan Luna hidup dalam pengorbanan, ataukah ia akan berani mengungkap semua kebenaran, meski harus merusak segalanya.
Malam itu, Luna menulis lagi di jurnalnya: "Hidupku bukan milikku sendiri lagi. Ada cinta yang hilang, ada rahasia yang membara, dan ada tanggung jawab yang menekan. Aku tidak tahu apakah aku kuat, tapi aku harus mencoba. Aku harus bertahan, meski hati ini terus berdarah."
Luna menatap bulan di balik jendela kamar, suara angin malam mengiringi pikirannya. Ia sadar satu hal: pernikahan hanyalah awal dari konflik yang jauh lebih rumit, dan ia harus menghadapi rahasia, pengkhianatan, dan pilihan sulit yang akan menguji hatinya lebih dari sebelumnya.