Saat kulitku melepuh dan mendesis terbakar oleh lilitan rantai, Vincent justru melakukan hal yang paling kejam. Dia melelang kalung peninggalan almarhum ibuku tepat di depan mataku.
"Vincent, belikan itu untukku," rengek Isabel manja. "Anjingku butuh kalung baru."
Tanpa menatapku, Vincent memberikannya.
"Terjual untuk Isabel."
Hancur. Bukan hanya tubuhku, tapi juga jiwaku. Mereka menertawakanku, menyebutku jalang yang tidak berguna, sementara aku menahan rasa sakit dari *Silver* yang menggerogoti tulangku.
Vincent tidak tahu satu hal. Darah yang ia tumpahkan malam ini bukanlah darah Omega lemah.
Itu adalah darah *White Wolf*, serigala paling langka dan suci yang memiliki kekuatan penyembuh mutlak.
Di ambang kematian, aku mendongak, menatap mata pria yang dulu kucintai itu dengan tatapan kosong.
"Saya, Sofia Permana..."
Vincent tertegun, matanya membelalak melihat aura putih menyilaukan yang tiba-tiba meledak dari tubuhku, melelehkan rantai besi itu.
"...menolakmu, Vincent Dirgantara, sebagai Mate-ku."
Malam itu, saat dia meraung kesakitan karena putusnya ikatan jiwa kami, aku bangkit dari abu, membakar penjara itu, dan berlari menuju takdirku sebagai Luna di Pack lain yang jauh lebih kuat.
Bab 1
Sofia POV:
Di sudut paling terpencil di perpustakaan kediaman Dirgantara, aku melakukan ritual kecilku.
Jemariku sama sekali tidak gemetar. Napasku berhembus stabil, berirama dengan detak jantung yang perlahan mengeras.
Satu per satu, aku merobek lembaran kulit domba tua itu.
*Krak. Krak.*
Bunyi kertas tebal yang terkoyak terdengar begitu memuaskan-renyah dan tajam, seolah aku sedang mendengarkan patahnya tulang-belulang belenggu yang selama ini menjeratku.
Ini adalah "Kontrak Disiplin"-sebuah penghinaan tertulis yang dikirimkan oleh ayahku sendiri, Hendra, sebagai persembahan untuk Alpha Vincent. Sebuah dokumen yang menyatakan bahwa aku, putrinya, hanyalah properti cacat yang perlu dididik ulang.
Sekarang, dokumen itu hanya menjadi serpihan sampah di atas meja mahoni yang dingin.
Aku menatap tumpukan sobekan itu. Anehnya, tidak ada amarah yang membakar di dadaku. Yang ada hanyalah ketenangan yang absolut, dingin dan jernih seperti permukaan danau beku di musim dingin.
Ini bukan sekadar merusak dokumen. Ini adalah pemutusan hubungan.
Dari kejauhan, aku bisa mendengar hiruk-pikuk pelayan yang sedang mempersiapkan makan malam di aula utama. Suara tawa, denting gelas kristal, dan aroma daging panggang yang samar menyelusup masuk melalui celah pintu.
Duniaku dan dunia mereka terpisah oleh dinding tebal dan status sosial yang tak terlihat namun mencekik.
Di sini, di antara rak-rak berdebu ini, aku hanyalah hantu. Seorang Omega yang tidak diinginkan.
Keheningan itu pecah seketika. Pintu perpustakaan didorong terbuka kasar, tanpa didahului ketukan sopan santun.
Isabel melangkah masuk.
Dia mengenakan gaun sutra berwarna merah muda yang mencolok, wajahnya dihiasi senyum polos yang terlalu lebar untuk menjadi tulus. Di tangannya, dia membawa seikat mawar merah segar.
Dia berjalan melewaticu seolah aku adalah perabot usang, langkah kakinya berisik saat ia menuju vas bunga di meja tulis Alpha.
Aroma parfum sintesis yang menyengat langsung memenuhi ruangan, menampar indra penciumanku.
Baunya menusuk, campuran menjijikkan antara gula hangus dan esens bunga kimiawi, begitu kuat hingga mencekik aroma alami kayu tua dan buku-buku yang menenangkan.
Di dunia kami, *Scent* atau aroma tubuh adalah identitas jiwa. Tapi Isabel selalu menutupi ketiadaan aroma *Wolf*-nya dengan parfum mahal ini.
Baunya seperti invasi. Dia sedang menandai wilayahnya dengan cara yang paling artifisial.
"Oh, sayang sekali," gumam Isabel, mengatur bunga-bunga itu dengan gerakan yang dilebih-lebihkan.
Dari jendela yang setengah terbuka, suara tawa berat seorang pria terdengar.
Vincent.
Jantungku tersentak, sebuah respons terkondisi yang aku benci setengah mati.
"Vincent, kau nakal sekali!" pekik Isabel, tawanya melengking sengaja agar menembus dinding perpustakaan, memastikan aku mendengarnya.
Kemudian, dia berbalik menatapku. Senyumnya berubah, matanya menyipit dengan kilatan tajam yang merendahkan.
"Sofia, tolong bereskan vas bunga yang lama. Airnya sudah bau," katanya dengan nada manis yang menjijikkan.
Itu bukan permintaan. Itu adalah perintah dari seseorang yang merasa dirinya adalah calon Luna.
Perutku terasa mulas. Insting *Omega* dalam diriku ingin menunduk, ingin patuh pada siapa pun yang memiliki status lebih tinggi.
Tapi aku menelan rasa mual itu. Jemariku mengepal di balik rok gaunku yang lusuh hingga kuku-kukuku menancap di telapak tangan.
Pintu terbuka lebih lebar, dan Vincent melangkah masuk.
Aura Alpha-nya langsung mendominasi ruangan seperti badai yang tiba-tiba menerjang. Udara terasa lebih berat, seolah oksigen disedot keluar oleh kehadirannya yang mengintimidasi.
Dia bahkan tidak menatapku.
Matanya menyapu meja tulis, melewati tumpukan kertas kontrak yang baru saja kurobek, seolah itu tidak ada artinya. Seolah usahaku untuk memberontak hanyalah lelucon anak kecil yang tidak lucu.
"Vincent," Isabel merengek, segera menghambur dan memeluk lengan kekar pria itu seperti lintah. "Lihat, Sofia sepertinya tidak senang dengan kontrak dari ayahnya. Dia merobeknya. Mungkin dia merasa tidak pantas menerima 'didikan' darimu?"
Kata-kata itu berbisa, dirancang untuk merendahkan dan memprovokasi.
Vincent menoleh padaku. Tatapannya dingin, kosong, seperti melihat serangga yang mengganggu di ujung sepatunya.
Aku menahan napas. Tanganku yang terkepal memutih.
Bekas gigitan di leherku berdenyut nyeri, mengingatkanku pada kesalahan fatal tiga tahun lalu.
Saat itu, aku bodoh. Aku mencoba memberinya obat tidur agar bisa kabur dari perjodohan gila ini. Tapi takdir mempermainkanku. Obat itu memicu *Heat* pertamaku.
Dan malam itu, Vincent mencium *Scent*-ku.
Hukum alam mengambil alih. Biologi kami berteriak. Kami bersatu dalam kegilaan *Mate*. Dia meninggalkan gigitan di leherku-tapi bukan *Marking* yang sempurna. Hanya gigitan kepemilikan tanpa pengakuan jiwa.
Selama dua tahun, dia menggunakan *Alpha's Command* untuk membungkamku, menyembunyikan hubungan kami, sementara aku dengan naifnya berpikir *Mind-Link* tipis di antara kami adalah tanda cinta yang belum mekar.
Tapi Isabel datang. Sang "penyelamat" palsu.
"Biarkan saja," suara Vincent terdengar datar, tanpa emosi. "Dia hanya sedang mencari perhatian. Seperti biasa."
Kalimat itu menghantamku lebih keras daripada tamparan fisik.
Isabel tertawa kecil, kemenangan terpancar jelas di wajahnya yang berlapis riasan tebal.
Aku menarik napas dalam-dalam, menekan *Inner Wolf*-ku yang melolong sedih di sudut pikiranku. Tidak. Tidak ada lagi air mata.
Cukup.
Saat mereka berbalik untuk meninggalkan ruangan, aku membungkuk perlahan. Bukan untuk menghormati mereka, tapi untuk memungut serpihan kertas di lantai.
Setiap sobekan adalah harga diriku yang pernah diinjak, dan kini kumpulkan kembali.
Setelah pintu tertutup dan langkah kaki mereka menjauh, aku merogoh saku tersembunyi di balik lapisan rokku.
Aku mengeluarkan secarik kertas kecil yang kusut.
Di sana tertera koordinat perbatasan dan frekuensi *Mind-Link* darurat untuk Pack Yarunica.
"Vincent Dirgantara," bisikku pada kesunyian ruangan, suaraku bergetar bukan karena takut, tapi karena adrenalin. "Kau pikir aku hanya Omega-mu? Kau salah."
Aku menatap ke luar jendela, ke arah hutan gelap di kejauhan yang bermandikan cahaya bulan pucat.
"Mulai hari ini, kau bukan hanya kehilangan Mate yang kau buang," ikraku pada malam. "Tapi kau kehilangan jiwa yang tidak akan pernah bisa kau kendalikan lagi."