/0/4476/coverbig.jpg?v=88d47d035845ddd5d8c2a2f6a272303e)
Kehadiran seorang pria asing yang dia tolong, membuat hidup Mawar lebih berarti. Walaupun dia sudah bersuami, hidupnya tidak pernah merasakan kebahagiaan karena perjodohan yang terpaksa dia iyakan untuk menolong ayahnya terbebas dari jeratan utang. Bagaimana kisah kehidupan Mawar selanjutnya?
Hari ini aku yang meliburkan diri dari rutinitas pekerjaan, pergi menemui ibu angkat di kampung halamannya.
Biasanya, aku bepergian selalu diantar oleh sopir pribadi. Tapi, sudah hampir sebulan, sopir ku mengundurkan diri dan diriku belum menemukan orang yang cocok untuk menggantikannya.
Pagi ini aku bersiap.
Di kursi roda ruang tamu, ada pria yang seumuran dengan almarhum ayahku. Dia hanya bisa melirikkan matanya tanpa bisa bersuara. Gerakannya lambat sekali. Kudekati dirinya.
Aku pamit padanya. Kuintip dua kamar bersebelahan. Penghuni dua kamar itu masih tidur dengan lelap.
"Ngapain juga aku pamit sama mereka. Menyebalkan sekali. Mereka juga tidak pernah menghormatiku selama aku disini." Batinku malas.
Aku memanggil ART dan menyuruhnya mendorong kursi roda itu kembali masuk ke kamar.
Di depan sana, Bapak Joko sedang memotong rumput. Beliau berhenti ketika melihatku berjalan ke arah mobil yang terparkir rapi di garasi rumah.
"Pagi Nyonya Mawar," senyumnya ramah.
Aku hanya mengangguk dan membalas senyumnya. Hanya Bu Minah dan pak Joko yang menghormatiku di rumah ini.
Ataukah mungkin juga mereka terpaksa berbuat seperti itu karena hanya untuk sekedar menghargai keberadaan diri ini.
Aku singgah sebentar ke toko online-ku. Toko ini aku besarkan dengan susah payah. Memang tidak besar. Tapi, setidaknya diri ini tidak akan menjadi parasit dan beban dalam keluarga besar Pramono.
Keluarga itu tidak rela aku hidup mewah seperti sekarang ini. Semenjak Tuan Cahyo Pramono mempunyai penyakit Stroke. Selalu saja aku yang disalahkan. Mereka berpikir akulah penyebabnya. Padahal aku tidak tahu apapun tentang penyakit yang menyerangnya itu.
Kulajukan kembali mobil ke arah perkampungan. Cukup jauh dari kotaku tinggal.
Tapi, aku sudah tidak bisa menahan rasa rindu kepada ibu sambungku, yang sudah mau mencintai dan menyayangiku setelah ibu kandung tiada.
Aku melewati jalan perkampungan. Di sekeliling hanya terdapat pohon berbagai macam bentuk dan ukuran.
Kubuka jendela mobil dan mematikan pendingin.
Udara bersih yang kurindukan. Terdengar burung berkicauan. Aku menikmati sekeliling karena di sini sepi. Saat melihat ke arah depan kembali. Aku melihat bayangan sekelebat dan ...
Ciiiiittt.
Aku menginjak pedal rem mendadak.
Terdengar suara benturan.
"Astaga ... apa tadi?" Tanganku bergetar memegang kemudi.
Aku ragu ingin melihat keluar atau tidak.
Setelah lama berpikir dan aku penasaran dengan benturan tadi. Tubuh ini keluar perlahan.
Kubuka pintu mobil. Kuberanikan diri melangkah dan melihat siapa atau apa yang terkena benturan mobilku tadi.
Aku terpaku, melihat seorang lelaki yang keningnya berlumuran darah yang sudah mengering. Pakaiannya terlihat lusuh. Dia mengenakan Hoodie hitam dan jeans panjang berwarna biru. Kutelisik wajahnya secara perlahan. Dia memang butuh bantuanku.
Sampai sekarang dia belum juga tersadar dari pingsannya.
Aku yang melihatnya pingsan tak bergerak, akhirnya mau tak mau menyeret tubuhnya.
Aku seorang wanita yang memang tidak akan mampu membawa pria tegap di depanku ini.
Aku menyeretnya perlahan, mulai memasukkannya ke dalam kursi penumpang di belakang. Kuletakkan tubuhnya telentang.
Deruan napasnya seolah menandakan lukanya tak parah.
Langsung saja aku masuk kembali ke mobil dan melajukan kendaraan tersebut.
"Gila, hari ini gue apes. Malah nabrak orang segala. Untung gak mati," gumamku lega.
"Aku harus segera sampai di rumah bunda Wardah. Di sana pasti ada puskesmas terdekat." Gumamku seorang diri.
Jalanan yang sunyi mulai berubah berisik dengan lalu-lalang kendaraan. Hari mulai beranjak siang. Ketika aku sampai di depan rumah khas perkampungan milik bunda Wardah.
Seorang wanita paru baya berumur akhir 50an menungguku di teras rumah. Dia duduk santai sambil menyeruput teh panas.
"Ciyee ... lagi nungguin anak kesayangannya nih ya," ledekku pada bunda.
"Bunda tungguin dari kemarin. Malah nongol sekarang. Emang bandel nih bocah!" Sahutnya spontan.
"Bocah lagi, Mawar udah gede bunda. Udah bisa ngurusin anak orang!" Kataku sebal.
"Bagi bunda kamu tetap bocah kesayangan bunda. Sini dong peluk bunda!" Seru beliau seraya membuka kedua lengan.
Aku memeluk bunda sambil memikirkan sesuatu.
"Astaga bunda, Mawar lupa." Langsung menghampiri mobil yang diikuti langkah bunda dengan perlahan.
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal tanda frustasi.
Bunda yang menghampiriku terkejut karena ada seorang lelaki di dalam mobil yang dalam keadaan pingsan.
"Siapa dia Mawar? Kenapa berlumuran darah gitu?
Terus kenapa dia bisa pingsan?" Tanya bundaku bertubi-tubi, raut wajah beliau terlihat panik.
"Nanti Mawar jelasin! Sekarang kita bawa ini orang ke rumah sakit terdekat bund!" Kataku gugup.
"Bawa ke Puskesmas kampung saja War! Dekat kok dari sini." Usul bunda.
"Kita berangkat sekarang ya bunda!" Ajakku dan menyuruh bunda masuk mobil.
Aku melajukan mobil ini sesuai arahan bunda.
Karena aku hanya tau arah ke rumah bunda saja. Aku tidak pernah mau berkeliling di kampung ini, itu hanya akan membuat kenangan lama teringat kembali. Tidak sampai sepuluh menit puskesmas sudah terlihat.
Aku memanggil petugas kesehatan untuk membawa brankar. Mereka membawa pria ini masuk dan langsung memeriksa keadaannya.
Kami menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Berharap kondisi pria tadi membaik dengan cepat. Sudah hampir tiga jam aku menunggu di depan kamar perawatan pria tadi. Aku mencoba untuk melihat kondisinya.
Aku membuka pintu perlahan, ternyata dia sudah sadar dari pingsannya. Mata kami
saling beradu, bertatapan dalam diam. Seketika aku tersadar dan berlari ke luar ruangan.
"Aku panggil dokter dulu bund. Dia sudah sadar. Orang itu sudah bangun dari pingsannya." Bunda berpikir cepat tentang apa yang kukatakan.
"Bunda akan masuk dulu ke dalam. Kamu panggil saja dokternya!" Suruh bunda.
Dengan cepat kupanggil dokter yang bertugas hari ini. Kami berdua tergopoh berjalan ke kamar perawatan pria itu.
"Kamu, baik-baik saja? Dimana yang sakit? Tanya bundaku padanya ketika kami sudah sampai di kamar perawatan.
Dia menunjuk kepala dan kaki kiri. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya.
Dokter mengambil alih dengan memeriksa keadaannya. Bunda Wardah menyingkir menjauh untuk memberikan kuasa pada dokter. Kami berdua duduk di sofa yang tersedia di dalam kamar ini.
"Seandainya anakku masih hidup. Pasti dia sebesar pria ini sekarang. Sayang sekali Tuhan lebih menyayanginya." Suara bunda Wardah yang lirih terdengar pelan di telinga. Aku menoleh pada beliau yang sedang memperhatikan pria di atas brankar.
Sorotannya berubah menjadi sendu dan berkaca-kaca.
"Kondisinya mulai stabil. Lukanya juga tidak begitu parah. Mungkin dalam beberapa hari sudah boleh pulang." Dokter berucap yakin.
"Oh begitu Dok, terimakasih atas semuanya Dok." Balasku cepat.
"Saya sudah menuliskan resep. Nanti bisa ditebus di konter pengambilan obat." Senyum dokter dan mulai meninggalkan kami.
Infus di tangannya terlihat menyulitkan untuk bergerak. Terdengar jelas suara perut, aku dan bunda Wardah saling berpandangan, kami tersenyum tipis seraya menoleh pada pria di atas brankar.
"Maaf, Anda lapar ya? Mau makan apa?" Tanyaku memastikan.
"Ehm ... itu..." tak dilanjutkan kalimatnya. Pria itu mengangguk pelan, kepalanya menunduk dalam.
"Kalau begitu mau makan apa?" Tanyaku agar dia berselera makan.
"Dia masih terbaring di sini. Tentu saja makanannya harus bubur Lis, gimana sih kamu." Sela bunda cepat.
"Maaf Bunda. Nanti saya belikan saja di luar. Makanan rumah sakit gak enak." Ujarku menahan tawa melihat reaksi pria tadi.
"Saya ... kenapa saya bisa disini?" Dia memandang kami bergantian.
"Ehm-sa-ya-saya ... menabrak anda di jalan kecil dekat hutan." Jawabku akhirnya jujur.
"Maaf." Tambahku menampakkan raut wajah penyesalan.
Dia mengerutkan keningnya seraya berpikir keras. Aku mulai cemas, bisa saja dia melaporkan kejadian ini pada polisi.
Zayn Abidzar seorang siswa menengah atas yang sebentar lagi menghadapi ujian kelulusan. Dia berasal dari keluarga broken home. Di sekolah dia termasuk salah satu murid yang urakan dan seenaknya. Evelyn Green yang biasa di panggil Elyn merupakan seorang guru wanita muda yang baru setahun mengajar di sekolah Zayn. Tanpa sengaja keduanya bertemu di luar lingkungan sekolah. Dari kejadian itu mereka saling berbagi rasa sakit, rasa yang Zayn rasakan ketika dikhianati oleh sahabat dan pacarnya. Lambat laun mereka saling terbuka dan saling menyukai. Bagaimana kelanjutan kisah cinta beda usia antara murid dengan guru itu? Mereka merahasiakan hubungan yang terjalin selama ini. Akankah ada guru ataupun murid yang tahu tentang hubungan mereka? Bagaimana mereka menyikapi perasaan cinta yang sudah tumbuh dalam hati?
CERITA DEWASA GARIS KERAS! Ketika seorang mafia yang keji menaruh dendam pada wanita yang pernah dia cintai karena sebuah penghianatan. Sebuah jerat licik dia persiapkan untuk menghancurkan keluarga kecil dari wanita yang dia cintai itu tanpa rasa iba. Akankah Amanda sanggup mengalahkan arogansi dan kekejihan seorang Dominic Rodrigues. Tanggal satu akhirnya tetap tiba, Amanda harus kembali datang menemui Dom untuk membayar hutang suaminya atau kalau tidak Dom akan kembali memotong jari suami Amanda satu-persatu. "Puaskan aku, aku tidak mau kau hanya berbaring dan tertelungkup seperti batu!" "Ini hanya se*x kita tidak bercinta!" tegas Amanda. "Terserah apa yang kau ucapkan!" Cerita ini akan mengandung banyak misteri, dendam, kebencian dan plot yang kupastikan tidak akan bisa ditebak oleh pembaca. Rasakan sensasi membaca cerita roman dewasa yang lebih menantang. Siapkan jantung yang sehat! (Aku hanya akan menulis cerita dengan karakter wanita-wanita yang tangguh, karena aku ingin semua wanita menjadi hebat!)
BERISI ADEGAN HOT++ Leo pria tampan dihadapan dengan situasi sulit, calon mertuanya yang merupakan janda meminta syarat agar Leo memberikan kenikmatan untuknya. Begitu juga dengan Dinda, tanpa sepengetahuan Leo, ternyata ayahnya memberikan persyaratan yang membuat Dinda kaget. Pak Bram yang juga seorang duda merasa tergoda dengan Dinda calon menantunya. Lantas, bagaimana dengan mereka berdua? Apakah mereka akan menerima semua itu, hidup saling mengkhianati di belakang? Atau bagaimana? CERITA INI SERU BANGET... WAJIB KAMU KOLEKSI DAN MEMBACANYA SAMPAI SELESAI !!
Sejak kecil Naura tinggal bersama dengan asisten Ayahnya bernama Gilbert Louise Tom, membuat Naura sedari balita sudah memanggilnya "Dady". Naura terus menempel pada laki-laki yang menyandang gelar duda tampan dan kekar berusia 40 tahun. Diusianya yang semakin matang laki-laki itu justru terlihat begitu menggoda bagi Naura.
Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.