"Dia sudah tahu. Jenazah ibunya kami antar ke rumah, tepat sebelum ia berangkat ke sekolah pagi ini," jawab pria itu dengan yakin.
Alicia terkejut. "Dia tahu ibunya meninggal, tapi tetap pergi ke sekolah?!" suaranya nyaris terdengar seperti sebuah teriakan tertahan.
"Kami sudah berusaha menahannya, tapi dia bilang hari ini ada ujian."
Alicia menggelengkan kepala. Tak mengerti akan jalan pikiran salah satu siswinya itu.
"Tunggu sebentar. Aku akan menyuruhnya bersiap untuk pulang."
Sang guru masuk. Mengambil tempat duduk di samping Nazharina. Wajah gadis itu tampak murung, namun tak terlihat air mata atau bahkan jejaknya sekalipun.
Nazharina masih asyik mencoret kertas ujiannya. Seolah-olah ia melakukan itu tanpa sadar.
"Nazh, kau boleh pulang sekarang. Ibumu... mereka... sedang menunggu," Alicia berkata dengan hati-hati.
"Aku tak mau pulang. Setidaknya sampai aku selesai mengerjakan soal ujianku," jawab Nazharina. Masih dengan kepala yang merebah dan tangan mencoret-coret kertas ujian yang sudah tak berbentuk lagi.
Sang guru tahu, bahwa Nazharina sekarang hanya sedang mencoba untuk tak menangis. Gadis itu terlihat kuat dan biasa saja di luar, namun sudah pasti sangat hancur di dalam.
"Tak apa. Kau bisa mengerjakannya besok. Ada keringanan yang diberikan untuk kejadian tak terduga seperti ini," bujuk Alicia.
Nazharina menegakkan punggung. Menatap wajah cantik di hadapannya. Kali ini, netranya mulai berkaca.
"Miss Alicia, bolehkah aku tetap di sini? Tolong jangan paksa aku pulang ke rumah," pintanya memelas.
Hati Alicia berdenyut sakit. Tak tahu apa yang menjadi penyebab Nazharina memilih untuk tetap bertahan di sekolah, alih-alih pulang untuk mengantarkan sang ibu ke tempat peristirahatan terakhir.
"Kenapa? Bisakah kau memberitahuku alasannya?" tanya Alicia.
Nazharina menunduk dalam, sebelum akhirnya menjawab dengan suara yang nyaris tak tertangkap telinga.
"Miss Alicia, ayahku meninggal setahun yang lalu karena sakit. Aku tak punya saudara maupun kerabat. Jadi satu-satunya yang kupunya dalam hidup ini hanyalah ibuku. Tadi pagi, dia pun meninggalkan aku. Tanpa firasat, tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal. Bisakah kau bayangkan, betapa sepinya rumah itu saat nanti aku pulang? Ibuku sudah tak ada lagi. Dia yang biasa menemaniku, kini tak lagi bisa kulihat raganya dan kudengar suaranya. Karena itu, biarkan aku di sini. Aku tak bisa membiarkan rasa sepi membunuh jiwaku secara perlahan."
Kali ini, Alicia tak mampu lagi membendung tangis. Bisa ia bayangkan nestapa yang diderita Nazharina.
Gadis kecil yang malang.
Setelah itu, secara serentak teman-teman sekelas Nazharina berdiri dan berkeliling memeluknya. Membuat gadis berusia 12 tahun itu merobohkan benteng pertahanannya.
Nazharina akhirnya menangis.
Seorang siswa lelaki merekam momen dramatis itu dengan ponsel dan menyebarkan lewat sosial media.
Kejadian itu viral.
Terdengar ke seantero kota bahkan seluruh negeri. Menarik perhatian seorang wanita yang begitu mendambakan anak perempuan.
"Malang sekali nasib anak ini," ucap Erina lirih, menoleh ke arah sang suami yang duduk di sampingnya. "Bisakah kita mengadopsinya untuk menjadi teman bagi Arian?"
Marco menghela napas, menatap istrinya yang begitu menginginkan seorang anak perempuan. "Kamu yakin, Sayang? Mengadopsi anak itu bukan perkara mudah. Dia baru saja kehilangan ibunya. Akan ada banyak hal yang perlu kita pertimbangkan."
"Aku yakin." Erina menggenggam tangan Marco. "Aku selalu ingin memiliki anak perempuan. Lagipula, Arian sendirian. Dia butuh seseorang untuk menemaninya."
Setelah melewati proses hukum yang panjang dan pertimbangan matang, akhirnya Nazharina resmi menjadi bagian dari keluarga mereka.
Saat pertama kali menjejakkan kaki di rumah barunya, Nazharina merasa takjub. Rumah ini jauh lebih besar dari yang pernah ia tempati. Tapi lebih dari itu, ia merasa sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya-kehangatan sebuah keluarga.
Erina memeluknya erat, berjanji bahwa gadis itu tak akan pernah sendirian lagi.
Namun, tidak semua orang di rumah itu menyambutnya dengan hangat. Arian, anak kandung Erina dan Marco, hanya menatapnya dingin saat pertama kali diperkenalkan.
"Nazharina, ini Arian. Dia kakakmu sekarang," kata Erina dengan senyum lembut.
Nazharina mengulurkan tangan. "Hai, senang bertemu denganmu, Kak Arian."
Arian menatap tangan itu tanpa ekspresi. Detik berlalu, tapi tangan Nazharina tetap menggantung di udara tanpa disambut.
Sedetik... dua detik... tiga detik...
Hingga akhirnya, Nazharina menarik kembali tangannya dan tersenyum canggung, berpura-pura menggaruk hidungnya untuk menutupi rasa malu.
Sejak saat itu, ia tahu... Arian tidak menyukainya.
Tapi tidak apa.
Ia sudah terbiasa tidak disukai. Sudah terbiasa dengan kesendirian. Namun, setidaknya kali ini ia memiliki tempat yang bisa ia sebut "rumah". Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nazharina merasa bahagia.
Tapi kebahagiaannya tak bertahan lama.
Hari itu, telepon rumah berdering nyaring. Suara dari seberang sana membawa kabar buruk yang seketika meremukkan hati Nazharina.
Erina dan Marco mengalami kecelakaan mobil.
Nazharina dan Arian bergegas ke rumah sakit, berharap mendapatkan keajaiban. Tapi harapan itu hancur berkeping-keping.
Marco meninggal di tempat. Sementara Erina masih bertahan... tapi kondisinya kritis.
Di ranjang rumah sakit, dengan suara lemah dan napas tersengal, Erina menggenggam tangan Arian dengan erat.
"Arian...," bisiknya.
"Iya, Mama? Aku di sini."
"Tolong... jaga Nazharina... Jangan biarkan dia sendirian..."
Arian menggigit bibirnya, menahan emosi yang bercampur aduk di dalam dirinya.
"Dan saat dia berumur 20 tahun... nikahilah dia."
Mata Arian membelalak. "Mama-"
"Tolong..." suara Erina semakin melemah, sebelum akhirnya mata wanita itu tertutup untuk selamanya.
Dunia Arian dan Nazharina hancur dalam sekejap. Hari itu, mereka kehilangan satu-satunya orang yang menghubungkan mereka.
Dan kini, Arian terikat pada janji yang tak pernah ia inginkan.
Saat Nazharina berusia 20 tahun, janji itu ditepati. Pernikahan mereka diadakan tanpa kemeriahan. Tanpa senyum bahagia. Arian menikahi Nazharina bukan karena cinta. Tapi karena wasiat terakhir ibunya.
Dan Nazharina tahu itu.
Malam pertama mereka bukan malam yang penuh gairah, melainkan keheningan yang menyesakkan. Arian tetap dingin. Tidak menyentuhnya, tidak berbicara padanya kecuali jika perlu.
Bagi Arian, pernikahan ini adalah beban. Dan bagi Nazharina... pernikahan ini adalah pengingat bahwa ia tak pernah benar-benar menjadi bagian dari hidup Arian.
Namun, ia bertahan.
Selama sepuluh tahun.
Ia berharap suatu hari nanti, Arian akan menerimanya. Akan melihatnya bukan sebagai beban, tapi sebagai seseorang yang bisa ia cintai.
Tapi harapan itu sia-sia.
Selama sepuluh tahun pernikahan mereka, Arian tetap dingin. Tetap menjaga jarak.
Pada akhirnya... Nazharina menyerah.