/0/5547/coverbig.jpg?v=4029339d32ff0a77581a3df9e0c22aa7)
Perjodohan yang di lakukan berulangkali hingga tak ada yang berhasil menjadikanku seperti seseorang yang tak memiliki harga diri. Di tuntut untuk menjadi yang sempurna di antara yang lain membuat tubuhku terasa di tusuk dengan berbagai macam mata pisau. Setiap pasang mata itu menatap sinis padaku, seakan tak ada celah untuk mengorek informasi diriku. Ini hanya tentang rasa yang aku alami selama aku menjalani hidup. Jadi, kumohon berikan aku sebuah topangan berupa dukungan. - Jihan Adiztya Disinilah, kisah Jihan Adiztya yang menerima tekanan dari kedua orang tuanya, dituntut harus menjadi paling sempurna di antara yang lain dan yang terpenting para lelaki harus tunduk di hadapannya. Jihan berasal dari keluarga yang cukup. Namun, karena tuntutan segala hal membuatnya dijodohkan dengan siapa pun yang selalu saja gagal membuat sang Papa murka. Sampai suatu hari Jihan bertemu seorang lelaki yang menariknya jauh dari dunia gelap dalam hidupnya.
Bertahan atau Tersiksa
Keduanya bukanlah sebuah pilihan, tetapi sudah menjadi tuntutan
»|«
Hari Sabtu yang ke 18 kalinya, dilingkari pada kalender itu. Pintu kamarnya di buka oleh Irma, Mamanya.
"Apa yang kamu lihat? Cepat mandi, jangan lupa bersolek secantik mungkin."
Jihan Adiztya, gadis yang akan menginjak usia 18 tahun tersebut menghela nafasnya kasar, berjalan dengan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hanya butuh waktu 10 menit, Jihan keluar dari kamar mandi dengan bathrobe yang di pakainya.
Setiap malam Minggu sudah menjadi rutinitas untuk dirinya berpenampilan cantik dari sore hingga tengah malam. Jihan merasa seperti putri Cinderella yang berubah menjadi cantik dalam sekejap hingga melupakan siapa dirinya sendiri.
Jihan menatap tubuhnya yang terbalut gaun mini berwarna fanta yang sangat kontras. Warna kulitnya tidak seputih susu, namun warna kulitnya bersih dan cocok untuk warna kulit di Indonesia.
Tubuhnya kecil dan berisi di usianya saat ini, wajahnya pun tergolong cukup menarik untuk di lihat. Tatapannya berubah menjadi buram tertutup oleh genangan air di pelupuk matanya.
Jihan menggeleng, mencoba mengedipkan matanya berkali-kali agar tak menangis. "Astaga! Lo udah buang-buang waktu."
Kaki jenjang yang menggunakan heels setinggi tujuh sentimeter itu menuruni anak tangga dengan langkah yang cukup tergesa-gesa. "Maaf, Pa, Ma."
"Enggak apa-apa, telat 5 menit masih bisa Papa beri toleransi asalkan kamu bisa menarik hati Bara, lelaki yang akan kamu temui malam ini," ucap Rehan, Papanya dengan nada yang dingin.
Perjalanan yang di lewati sangat lancar tanpa ada hambatan seakan mendukung untuk perjodohan kali ini. Jihan tersadar dari lamunannya, ketika Irma menarik tangannya yang kini posisinya menjadi di antara Irma dan Rehan.
"Ingat! Jaga sikap dan jadi seanggun mungkin, supaya perjodohan kali ini kamu enggak di tolak lagi."
Jihan mengangguk, lalu melebarkan senyumnya seolah tak ada apa-apa. Padahal jauh di lubuk hatinya ini sedang di landa kegundahan setiap kali ada pertemuan dua keluarga di lakukan.
Rehan dan Irma berdiri saat melihat kedatangan keluarga Rama. Hal tersebut membuat Jihan ikut berdiri dari duduknya menyambut mereka bertiga.
"Selamat malam, Pak Rama."
Rama tersenyum. "Tidak usah formal begitu, apalagi kita akan menjadi besan." Lelaki itu menoleh ke arah Bara. "Kenalkan diri kamu."
Bara tersenyum mengulurkan tangannya ke hadapan Jihan yang langsung di balas oleh gadis itu. "Perkenalkan saya Bara Baskara."
"Jihan Adiztya," balas Jihan dengan senyum manisnya yang membuat Bara terpesona selama beberapa saat.
"Sebelum berbicara ke masalah inti, lebih baik kita makan malam terlebih dahulu," ucap Rama.
»|«
Makan malam telah usai. Kini, saatnya untuk Rama dan Rehan berbicara penting mengenai hubungan kedua anak mereka ke depannya.
"Berhubung Bara setuju, saya tak ingin basa-basi lagi. Sebelumnya, Jihan setuju juga dengan perjodohan ini 'kan?"
Rehan tersenyum menatap Jihan seolah memberi kode dengan tatapan tajamnya itu. "Tentu saja, Jihan setuju sejak dia tahu kalau akan di jodohkan. Betul 'kan, nak?"
"Iya, Pak Rama. Jihan percaya dan menerima perjodohan ini karena Jihan yakin pilihan orang tua adalah yang terbaik."
"Masa remaja kamu, gimana?" tanya Nita seraya memegang tangan Jihan.
"Enggak apa-apa, Bu Nita. Jihan ikhlas selagi bisa menjadi istri yang di idamkan oleh Mas Bara."
Kelima orang yang ada di meja makan ini tersenyum mendengar jawaban dari mulut Jihan.
Bara memegang kedua tangan Jihan dengan senyum di bibirnya. "Saya percaya kamu yang terbaik untuk saya." Lelaki itu menoleh kepada kedua orang tuanya. "Percepat pernikahan kami bulan depan, Pa."
"Baiklah, dua bulan lagi setelah acara kelulusan Jihan, pernikahan segera di laksanakan di tanggal 11 Juli nanti."
»|«
Esok harinya.
Jihan menempelkan sticky notes yang sudah di tulisnya ke cermin rias yang ada di kamarnya. Tertulis sebuah tanggal dimana dia dan Bara akan melaksanakan sebuah pernikahan yang di dalamnya tak terdapat ikatan cinta. Pikirannya melayang saat acara makan malam kemarin.
Petir bergemuruh membuyarkan lamunan Jihan akan kejadian tadi malam. Dia berjalan ke belakang pintu kamarnya mengambil sepatu heels-nya lalu berjalan keluar kamar setelah memakainya.
"Ma, Jihan hari ini harus keluar rumah sebentar. Mas Bara ngajak Jihan makan di luar."
"Ya sudah, taklukan hati dia. Kalau perlu kamu jangan pulang ke rumah sebelum dia bertekuk lutut di hadapan kamu."
Jihan mengangguk berjalan keluar rumah untuk menemui Bara yang sudah berada di depan rumah. Tanpa menunggu lama, Jihan langsung masuk ke dalam mobil putih milik Bara. "Kita mau kemana, Mas?"
"Makan malam dulu, ya. Setelahnya kita jalan-jalan supaya kenal lebih dekat lagi."
"Iya, Mas."
Mobil Bara berhenti di salah satu restoran khas Jepang. Keduanya turun dari mobil dan berjalan dengan tangan yang saling berpegangan. Lebih tepatnya, Bara yang memegang tangan Jihan.
Selagi menunggu pesanan datang, Bara menatap Jihan yang membuatnya kembali terpesona hanya melihat wajahnya yang sedang menatap ke luar jendela.
"Jihan."
Jihan menoleh dengan senyum yang mengembang. "Iya, Mas?"
"Kamu enggak keberatan dengan perjodohan ini? Apalagi kamu masih sekolah."
"Enggak, Mas. Lagi pula menikah muda apa salahnya?"
Bara menggenggam tangan Jihan. "Jika ada masalah bisakah kamu berbagi dengan saya? Kita lewati bersama-sama."
Hal itu sontak membuat hati Jihan bergetar karena tak pernah mendapat perhatian khusus seperti ini.
"Terima kasih, Mas. Aku akan coba lebih terbuka lagi. Begitu pula sebaliknya, Mas juga bisa 'kan terbuka dengan Jihan?"
"Iya."
Percakapan itu terpotong karena pesanan mereka sudah datang dan memutuskan untuk menghabiskan makanan masing-masing.
»|«
Hujan deras mengguyur kota malam ini membuat Jihan dan Bara terjebak macet. Keduanya tak memiliki tujuan setelah makan malam tadi.
"Kayaknya cuaca malam ini kurang mendukung, kita pulang aja, ya?"
"Ehm– terserah, Mas Bara aja."
"Oke, saya antar kamu pulang lagi." Bara tersenyum seraya menoleh kepada Jihan.
Mobil Bara berhenti tepat di pekarangan rumah Rehan. Sebelum Jihan turun dari mobilnya, dia menahan sebentar gadis itu. "Besok pagi, saya jemput untuk berangkat ke sekolah kamu."
Jihan mengangguk seraya tersenyum. "Mas, enggak akan mampir dulu?"
"Enggak perlu, sudah terlalu malam buat bertamu. Setelah ini langsung istirahat, ya. Saya pamit pulang sekarang."
"Hati-hati, Mas." Tangan Jihan terulur untuk mencium punggung tangan Bara membuat sang empu melongo dibuatnya.
Setelah itu, Jihan keluar dari mobil Bara dan berjalan masuk ke dalam rumah saat mobil lelaki itu sudah menjauh.
"Kenapa pulang?"
Pertanyaan ini langsung di lontarkan oleh sang Mama membuat Jihan menatapnya diam.
"Mas Bara yang anter pulang, Ma. Lagi pula besok Mas Bara mau anter Jihan sekolah."
"Bagus, tandanya Bara sudah mulai tertarik dengan kamu," ucap Rehan seraya menepuk bahu putrinya.
"Jihan pamit ke kamar dulu."
Di kuncinya kamar itu, lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang kesayangannya.
"Ke depannya akan ada apa lagi yang terjadi?"
»|«
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
" Sadar Gra, gue temen pacar lo!! " Pekik Sila frustasi dengan tingkah pria di hadapannya. " Aku gak peduli, yang penting kamu pacar aku. " Acuh nya dengan seringai yang menyebalkan. " Stress, gila. Mati aja lo sana. " " Aku rela mati asal bersamamu. " " Najis" --- Kewarasan Sila sepertinya di permainkan saat menghadapi Agra yang merupakan pacar dari sahabatnya, pria itu tiba-tiba mengklaim dirinya sebagai pacar. Apalagi saat pria itu yang bersikap mengatur dirinya layaknya pasangan kekasih membuat Sila benar benar gemas ingin mencekik leher pria itu hingga mati.
Novel ini berisi kompilasi beberapa cerpen dewasa terdiri dari berbagai pengalaman percintaan penuh gairah dari beberapa karakter yang memiliki latar belakang profesi yan berbeda-beda serta berbagai kejadian yang dialami oleh masing-masing tokoh utama dimana para tokoh utama tersebut memiliki pengalaman bercinta dengan pasangannya yang bisa membikin para pembaca akan terhanyut. Berbagai konflik dan perseteruan juga kan tersaji dengan seru di setiap cerpen yang dimunculkan di beberapa adegan baik yang bersumber dari tokoh protagonis maupun antagonis diharapkan mampu menghibur para pembaca sekalian. Semua cerpen dewasa yang ada pada novel kompilasi cerpen dewasa ini sangat menarik untuk disimak dan diikuti jalan ceritanya sehingga menambah wawasan kehidupan percintaan diantara insan pecinta dan mungkin saja bisa diambil manfaatnya agar para pembaca bisa mengambil hikmah dari setiap kisah yan ada di dalam novel ini. Selamat membaca dan selamat menikmati!