Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Gadisku Tawananku
Gadisku Tawananku

Gadisku Tawananku

5.0
5 Bab
27 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Sebenarnya mereka bukanlah sekumpulan pemuda yang jahat, hanya mungkin memang sedikit nakal karena mencuri bukan lagi menjadi hal baru untuk mereka. Namun, kebutuhan sehari-hari yang semakin lama semakin mendesak, pada akhirnya membuat mereka nekat untuk melakukan aksi yang sedikit lebih ekstrim, yakni menculik seorang putri milyarder demi mendapatkan uang tebusan. Sayangnya, semua tak berjalan sesuai harapan. Penculikan yang semula terencana secara matang dan penuh perhitungan, entah bagaimana bisa justru menggiring mereka ke dalam masalah yang berbahaya dan jauh di luar perkiraan mereka. Tak hanya itu, masalah menjadi semakin kacau manakala salah satu dari mereka justru jatuh cinta pada sang putri milyarder yang menjadi tawanan mereka. Lantas seperti apakah keseruan mereka dalam melakukan aksi penculikan tersebut? Apakah semuanya akan berjalan sesuai rencana? Atau justru menyebabkan banyak petaka di dalamnya? "Apapun yang terjadi, aku bakalan tetep cinta sama Kakak. Bahkan jika seluruh dunia benci sama aku." Jonas.

Bab 1 Youth With No Family

Klontang!

BRAKK!!

"Aaakkhh! Ampun, Tante! Jangan pukulin saya lagi!"

"Kasih saya uangnya sekarang juga! Kalo nggak, saya bakalan terus mukul kamu sampe bonyok, kalo perlu sampe kamu nggak bisa napas lagi!"

"Saya kan udah bilang, Tan. Duitnya belum ada sekarang. Beneran, saya nggak bohong. Kalo emang Tante nggak percaya, Tante boleh kok, geledah seluruh isi rumah. Lagian kami pasti bakal bayar lah, Tante. Sumpah. Cuman nggak sekarang. Kalo sekarang, kami lagi nggak ada pemasukan..”

"Omong kosong! Saya udah bosen denger janji-janji kalian terus selama ini, tapi nggak pernah ada pembuktiannya sama sekali! Ingat, kalian itu udah nunggak hampir 6 bulan! Kalian mau bikin saya rugi, hah?"

"Aduhh! Ampun, Tante, hati-hati dong. Kalo kena pabrik bayi punya saya gimana? Bahaya, Tan! Nanti kalo saya nggak bisa punya keturunan, Tante mau tanggung jawab?”

"Kamu pikir saya peduli? Pokoknya kalo kalian nggak segera bayar sampai besok, lihat aja. Pabrik bayi punya kamu ini bakalan saya tebas sampe ujung. Ngerti kamu?!”

Suara gaduh yang berasal dari lantai bawah itu sontak mengusik seorang pemuda berambut undercut yang semula masih tertidur pulas di kamarnya. Tak perlu mencari tahu, ia bahkan sudah sangat hafal dengan situasi semacam ini.

Brak!

"Heh, lo berdua tuh, ya! Bisa-bisanya masih santai molor kayak gini! Lo berdua nggak denger apa kata si Tante Sadis barusan? Dia bakal nebas pabrik bayi punya gue, woy! Bayangin! Masa depan gue dipertaruhkan di sini kalo kita nggak segera bayar uang sewanya besok!” Pemuda yang baru saja masuk ke dalam kamar dengan paksa itu berucap dengan nada tinggi miliknya—yah, walaupun tetap saja masih belum cukup memekakkan telinga dikarenakan ia memiliki suara yang husky. Nafasnya terlihat ngos-ngosan. Agaknya ia tadi berlari menuju kamar mereka yang berada di lantai dua.

Sekedar informasi, kamar mereka berada dalam satu ruangan. Di mana terdapat dua buah ranjang susun yang terletak berseberangan di dalam ruangan tersebut.

"Syukur, deh. Seenggaknya bukan punya gue yang mau ditebasnya.” pemuda bertubuh jangkung—bahkan dialah yang memiliki tubuh paling jangkung di antara kedua temannya, menyahut seraya menguap malas.

"Apa lo bilang? Syukur? Bedebah sial! Heh, Tiang Listrik gak guna, seenggaknya manfaatin noh, badan tiang lo buat nyari duit. Keluarga lo kan punya kedai makanan. Kerja sono bantuin biar bisa dapet duit!”

"Bacot. Dahlah, gue mau molor lagi bentar. Awas lo kalo berisik lagi!” si pemuda bertubuh jangkung itu kembali meringkuk ke atas tempat tidur.

“Emangnya lo nggak ada kelas pagi hari ini, Ric?” temannya yang berambut undercut pun bertanya pada si pemuda jangkung.

"Nggak masalah. Toh, gue bisa lari maraton ntar. Urusan gampang, lah itu.” Eric, si pemuda jangkung menjawab.

Sementara si pemuda berambut undercut itu hanya menyunggingkan senyum tipis, kemudian beralih pada temannya si pemilik suara husky yang masih berdiri di tempatnya.

"Terus ini gimana?" tanya si pemuda husky.

"Ha? Apanya yang gimana?"

"Ya jelas duitnya, lah. Dari mana kita bisa dapetin duit buat bayar kontrakan sampe besok?”

"Ya mana gue tau. Kok nanya ke gue."

"Ya Tuhan, bisa gila gue kalo lama-lama kayak gini. Salah hamba apa, Tuhan?" Si pemuda husky meremas rambut dengan penuh frustrasi, "Heh, Jonas, dengerin ini. Lo tau kan kalo si Tante Sadis nggak pernah main-main sama kata-katanya? Emangnya lo mau kalo gue kehilangan masa depan gue selamanya, hm? Gue juga pengen punya istri sama anak, Cuy!”

Jonas, pemuda pemilik surai pendek dengan model undercut itu mengangkat bahu ringan, "Ya lo ngehindar lah kalo si Tante balik lagi ke sini besok. Lagian kan ini bukan pertama kalinya juga lo ngalamin hal kayak gini?"

Si pemuda husky menghela napas panjang, memijit keningnya yang mulai pening. Ia sungguh tak habis pikir bagaimana bisa teman-temannya sesantai ini di saat nasibnya sedang berada di ujung tanduk.

"Oyy, Husky. Davy masih belum pulang?" Eric kembali bersuara meski kini kedua matanya terpejam.

"Udah beratus-ratus kali gue bilang, jangan panggil gue gitu, dasar Tower nggak guna!"

"Lo ngelarang gue manggil lo gitu, tapi lo seenaknya ngasih gue julukan. Ngajak ribut, lo? Lagian tinggal jawab aja apa susahnya sih, heran. Gue lagi butuh kamera punya gue nih, hari ini ada kelas seni.”

“Bodo amat ya, Coeg.” Eric berdecak kesal, tapi ia mencoba bersabar dan menghela napas dalam-dalam.

“Ya udah iya. Sorry. Gue ulang nih. Davy udah pulang belum, Nyet?” ujarnya kemudian.

“Itu sama aja, Ogeb! Ngajak ribut emang lo!”

“Ya lagian lo tinggal jawab aja susah amat. Manja bener jadi orang.”

“Tinggal jawab aja elah, Vin. Ribet emang lo berdua.” Jonas turut menimpali, sedikit kesal mendengar perdebatan tak penting kedua temannya itu.

Kevin, si pemuda husky pun akhirnya mendesah pasrah, "Si Davy nggak pulang dari semalem. Gue rasa dia masih belum dapetin target tuh. Yah, kita doain aja lah moga dia nggak ketangkep di jalan. Repot kalo nggak ada dia. Dia yang paling gercep soalnya."

Tak ada yang menyahut, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Pun demikian halnya dengan Jonas. Ia tahu, Davy—penghuni lainnya yang menempati rumah sewa bersama mereka, akhir-akhir ini memang jarang pulang hingga pagi. Jangan tanya apa yang dilakukan pemuda itu. Tentu saja ia sedang mencari uang—meskipun dengan cara yang tidak baik alias dengan jalan mencuri. Tanpa sadar, Jonas menghembuskan napas panjang sepenuh dadanya. Ia tidak menyalahkan Davy karena perbuatannya, tentu saja karena ia tahu temannya itu tidak asal mencuri uang milik sembarang orang, melainkan hanya dari orang-orang yang memang patut dicuri hartanya. Bukan hanya Davy sebenarnya, bahkan keempat penghuni rumah sewa berlantai dua itu memiliki kebiasaan yang sama.

Oke, Jonas tahu itu tetap bukan perbuatan terpuji meski hanya mencuri dari orang-orang kaya. Tapi memangnya apa lagi yang bisa dilakukannya, mengingat upah dari pekerjaan serabutan yang mereka lakukan selama ini sama sekali tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Belum lagi ditambah uang sewa rumah dan biaya kuliah. Itulah sebabnya mereka setuju saat Davy mencetuskan ide gila yaitu mencuri uang dari orang-orang kaya yang pelit. Atau memanfaatkan orang-orang kaya yang bodoh.

Begitulah. Jonas Jeon, Davy Lee, Kevin Bong, dan Eric Jung—keempat pemuda itu sebenarnya hanyalah sekumpulan remaja tanpa keluarga. Jonas sengaja pergi dari rumahnya karena pertengkaran yang terjadi dengan ayah kandungnya. Adapun Davy merupakan seorang yatim piatu yang sengaja kabur dari panti asuhan lantaran mendapatkan perlakuan tak layak dari salah satu pengurus panti, dan sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil. Eric, ia masih memiliki ibu dan seorang kakak perempuan yang masih kuliah. Tapi memilih pergi dari rumah karena tak tahan dengan omelan sang ibu yang hampir setiap hari memarahinya karena kemalasannya. Sedangkan Kevin, ia adalah seseorang yang bahkan tak jelas asal usulnya, yang secara kebetulan bertemu dengan Davy di jalan saat lelaki itu baru saja mencuri dompet dari seorang pria kaya raya.

Dan begitulah, keempatnya tanpa sengaja dipertemukan dalam keadaan yang sama—tak ada harapan, tak ada keluarga, dan tak ada masa depan. Ah, tidak sepenuhnya begitu, sebab entah kenapa mereka—terkecuali Kevin, nyatanya masih aktif mengikuti mata kuliah di salah satu universitas di kota Seoul. Jika ingin bertanya kenapa pemuda bermarga Bong itu tidak melanjutkan studinya, itu karena ia sudah tak punya minat untuk memikirkan hal-hal rumit yang berhubungan dengan tugas-tugas kuliah dan semacamnya—setidaknya begitulah yang ia katakan saat ketiga temannya mencoba menanyakan alasannya. Akan tetapi usut punya usut, rupanya mereka diam-diam sama-sama memiliki cita-cita masa depan yang nyatanya tak pernah mereka ungkapkan pada siapapun. Bahkan pada penulis dan pembaca sekalipun.

Brak!

Suara pintu yang setengah dibanting membuat ketiganya menoleh. Bahkan Eric yang semula masih asyik merem, kini turut membuka mata begitu sesosok pemuda lainnya baru tiba.

"Oh, kita bertiga baru aja ngomongin lo. Panjang umur bener lo, Dav." Kevin langsung menyambut.

"Fuhh, syukur deh lo pulang cepet. Gue butuh kamera punya gue hari ini buat kelas pagi." Eric turut menyahut seraya bangkit dari atas tempat tidur.

"Jadi—dapet mangsa, nggak?" Kevin kembali bertanya.

Davy, lelaki yang baru saja tiba itu tak segera menjawab, melainkan meletakkan begitu saja dua bungkusan plastik berukuran cukup besar di atas meja.

"Nih, gue beliin sarapan buat lo bertiga." ucapnya seraya melepaskan jaket dan menyandarkan punggung pada kursi.

"Lo nggak pulang semaleman dan cuma ini yang lo dapet?"

Mendengar ucapan si pemuda Husky yang terkesan tak tahu terima kasih, Davy seketika meliriknya dengan tatapan sedikit kesal. Akan tetapi kemudian ia mengeluarkan sebuah dompet dari dalam saku celananya dan meletakkannya di atas meja.

"Gue nggak punya ongkos buat balik. Duit ini aja baru gue dapetin pagi ini." ucapnya.

“Bisa gitu, ya? Padahal biasanya lo yang paling banyak dapetin mangsa.” Kevin berucap seraya mengambil alih dompet tersebut dan mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam sana, "Lah, ini sih cuma cukup buat bayar tunggakan 3 bulan doang, Dav. Terus sisanya gimana? Biaya kuliah lo bertiga sama kebutuhan lainnya?"

"Iya, gue tau. Duit itu emang buat bayar tunggakan uang sewa selama tiga bulan doang. Lagian harusnya lo bersyukur dong, Vin. Udah bagus gue dapetin duitnya. Daripada lo, mana hasil lo, coba gue tanya?"

Kevin hanya tersenyum kecut mendengarnya, “Y-ya, gue kan belum gajian. Lagian kemarin pas di jalan pulang dari kerja, nggak ada target yang bagus.”

“Makanya nggak usah banyak protes.”

“Iya, iya, sorry. Tapi ini gimana? Barusan si Tante kesini lagi, malahan dia ngancem mau nebas pabrik bayi punya gue kalo kita nggak bisa lunasin besok.”

“Bilang aja terus terang kalo kita cuma punya duit segitu. Besok biar gue aja yang ngomong, lah.”

“Oke, deh.." Kevin menjawab senang.

Kali ini Eric terdengar menghela napas panjang sepenuh dadanya, “Tiap hari kerjaan kita kayak gini terus nggak ada harapan sama sekali. Gimana ke depannya nanti, coba?” keluhnya seolah pada dirinya sendiri.

Adapun Jonas yang ikut mendengarkan itu tampak terdiam. Memang, selama ini mereka bertahan hidup dari hasil mencuri dan beberapa pekerjaan part-time lainnya. Akan tetapi itu semua masih belum bisa untuk mencukupi biaya hidup mereka sehari-hari.

"Itulah kenapa gue punya rencana lain." Davy kembali berkata, membuat Jonas dan yang lainnya sedikit tersentak dan menatap ke arah pemuda itu.

"Rencana apa maksud lo?" Jonas pun bertanya karena penasaran. Sebelum menjawab, Davy terlebih dahulu mengeluarkan kamera yang semula berada di dalam tas ransel miliknya.

"Gue punya ide biar kita bisa dapetin banyak duit secara instan." lelaki itu menunjukkan beberapa foto yang tertangkap oleh kamera miliknya—yang sebenarnya adalah kepunyaan Eric, kepada ketiga temannya.

Di sana, tampak oleh mereka sesosok gadis cantik bertubuh tinggi ramping dengan surai panjang miliknya yang sengaja difoto dari berbagai angle.

"Siapa dia?" tanya Kevin.

"Anak seorang Milyarder. Kita bakalan nyulik dia, terus minta tebusan ke bapaknya."

"A-apa? Tunggu, tunggu, tunggu. Dav, lo udah gila, ya? Lo serius mau nyulik anak orang? Yang bener aja lo! Ini sama aja lo udah ngerencanain sebuah tindakan kriminal, Dav!” Kevin kembali memprotes.

"Oyy, gimana bisa seorang pencopet kayak lo sok-sokan ngomongin tentang kriminal? Emang lo pikir yang lo lakuin selama ini apa kalo bukan tindakan kriminal, ha?”

"T-tapi kan tetep aja beda, Dav. Yang kita lakuin selama ini itu nyuri duit, bukannya nyuri orang.”

"Lo nggak perlu khawatir. Lagian kita kan cuma minjem anaknya bentar doang. Kalo uang tebusannya udah kita dapetin, ya udah, kita lepasin aja anaknya secara utuh. Habis perkara.”

"Tapi—"

"Gue setuju." Jonas menyela ucapan Kevin, membuat pemuda husky itu menatap tak percaya padanya.

"Kenapa?" Jonas kembali bersuara, "Lagian apa yang dibilang Davy itu bener, kita cuma minjem bentar,nggak perlu nyakitin dia atau ngapa-ngapain dia. Dan begitu uangnya berhasil kita dapetin, kita lepasin. Menurut gue itu cukup simple, kok.”

Kevin tak mampu membantah lagi. Jika Davy dan Jonas telah sepakat, maka apapun bantahannya pasti hanya akan berakhir sia-sia.

"Bentar, deh. Kayaknya—gue tau nih cewek.” Eric yang sejak tadi hanya diam, akhirnya turut membuka suaranya.

"Iyalah, orang dia putri seorang Milyarder yang terkenal di kampus kita, jelas aja lo nggak asing sama dia.” Davy menyahut.

"Nggak, nggak gitu. Maksud gue—gue emang udah beberapa kali lihat cewek ini di kampus. Cuman yang jadi masalahnya, dia itu sahabatnya Kak Kristy—kakak gue.”

"Apa?"

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Pengintaian   06-17 13:19
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY