Unduh Aplikasi panas
Beranda / Lainnya / AYAH, AKU RINDU
AYAH, AKU RINDU

AYAH, AKU RINDU

5.0
5 Bab
279 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Kehidupan Farhan dan Rafael begitu sangat tidak tentu arah setelah mengetahui sang Bunda telah menyimpan rahasia di belakang mereka. Keduanya terlahir dari keluarga di mana orang tua mereka telah bercerai sejak masih kecil. Namun, seiring berjalannya waktu di saat Farhan dan Rafael telah menginjak dewasa, mereka akhirnya perlahan-lahan mengetahui sesuatu yang dirahasiakan oleh Bunda mereka. Berawal dari kedekatan ayah sahabat mereka bersama dengan sang Bunda, kini Farhan dan Rafael semakin curiga tentang hubungan yang telah diam-diam orang tuanya jalin bersama dengan ayah sahabatnya sendiri. Bahkan, sampai berpikir bahwa ayah kandung mereka tidak lain adalah Fadil, ayah Rendy. Namun, ternyata perkiraan mereka salah. Di balik kedekatan Bunda mereka dengan ayah Rendy, ternyata masih ada rahasia yang lebih besar disembunyikan di belakang Farhan dan Rafael. Lalu, bagaimana cara mereka bisa bertemu dengan ayah kandung mereka sendiri simak ceritanya hanya di dalam novel Ayah, Aku Rindu.

Bab 1 Pertanyaan Menimbulkan Kemarahan

Semua anak menginginkan orang tua lengkap dalam hidupnya. Tanpa kasih sayang seorang Ayah dan Ibu, hidup seorang anak akan terasa kurang sempurna.

Terlahir dari orang tua tidak lengkap, bukanlah suatu keinginan. Perceraian Ayah dan Bunda membuat semua kehidupan yang kami jalani menjadi kacau. Omelan, caci maki, serta bullyan seringkali kudapatkan bersama adikku.

Farhan Prabu Wijaya, begitulah orang-orang memanggilku. Adikku bernama Rafael Prabu Wijaya. Bunda dengan sengaja mengganti nama kami sejak kecil agar Ayah dan keluarganya tidak bisa mengenal kami jika sudah dewasa.

Sejak kecil, aku dan adikku dirawat oleh Bunda tanpa Ayah yang menemani. Bisa dibayangkan bagaimana capeknya beliau membesarkan dan merawat kami berdua. Kehidupan kami bertiga cukup mewah. Aku bangga bisa memiliki Bunda yang penuh pengorbanan untuk bisa membuat kami hidup bahagia. Namun, tanpa kasih sayang seorang Ayah membuat semuanya terasa percuma.

Hingga pada suatu hari, sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulutku tidak sengaja membuat hati Bunda terpukul.

“Bun, aku rindu Ayah. Ayah sekarang di mana?” Aku bertanya sembari memakan roti kukus buatan Bunda.

“Sudah berulang kali Bunda bilang, Han. Jangan sekali-sekali mempertanyakan soal Ayah kalian lagi!” bentak Bunda.

“Apa salah bila kami berdua ingin bertemu Ayah? Bagaimanapun beliau itu Ayah kandung kami, Bun.”

“Cukup, Han! Sudah cukup Bunda memperingatkan kamu.”

Bentakan Bunda kali ini sungguh membuat dadaku terasa sesak. Lagi-lagi aku gagal mencari tahu tentang keberadaan Ayah.

“Sudahlah, Kak. Jangan paksa Bunda dengan pertanyaan konyol seperti itu! Apa Kakak tidak pernah memikirkan perasaan Bunda? Hampir setiap hari diberi pertanyaan yang tidak penting.” Adikku yang sementara menyantap sarapannya ikut menyalahkanku.

“Bukan begitu, Rafa. Kakak cuma menanyakan soal Ayah. Apa kamu tidak pernah merindukan sosok kehadirannya dalam keseharian kita?” tanyaku dengan nada kesal.

Adikku hanya bisa diam mendengarkan. Mungkin, dia sudah terbiasa dengan kehidupannya tanpa seorang Ayah.

“Sudah cukup basa-basinya Farhan, Rafa?” tanya Bunda. Seakan-akan geram menatap ke arah kami.

Kami menunduk seketika. Terlintas sesuatu di benakku, ‘Seperti inikah hidup tanpa seorang Ayah?’

“Maafkan kita berdua, Bun. Selalu saja menyusahkan Bunda. Farhan janji tidak akan mengungkit soal Ayah lagi,” ucapku dengan wajah yang masih menunduk.

Tidak sengaja buliran bening membasahi kedua pipiku. Betapa perihnya menahan kerinduan yang tiada bertepi. Ayah aku rindu.

“Sudah! Kalian sarapan dulu. Seharusnya Bunda yang minta maaf. Tidak seharusnya membentak seperti ini.” Bunda meminta maaf sembari memeluk kami berdua.

Secara diam-diam, aku memandangi wajah adikku. Ternyata dia tidak lebih dari seorang pecundang. Dalam diam dia membiarkan air matanya jatuh seketika tanpa permisi.

Aku bisa menebak, kalau adikku juga merindukan Ayah. Bagaimana mungkin dia tidak rindu? Hampir setiap hari aku mendapatinya mendengarkan lagu yang berjudul tentang Ayah, ditemani air mata yang mengalir begitu derasnya.

Adik yang kukenal kuat, ternyata sebenarnya rapuh. Hanya saja, dia tidak ingin memperlihatkan raut wajah sedih itu di depan Bunda, karena tidak ingin membuat Bunda sedih.

“Kalian berangkat dulu, Bunda juga mau keluar sebentar.”

“Mau ke mana Bunda?” tanya Rafa seketika.

“Urusan orang tua,” jawab Bunda. Aku hanya mengerutkan dahi.

Setelah menyalami tangan Bunda, kami pun pamit berangkat sekolah. Aku dan adikku adalah siswa di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah yang kami tempati cukup terkenal di kotaku. Siswanya pun baik dan ramah. Namun, ada satu hal membuat kami sedikit minder. Setiap hari teman-teman dijemput oleh Ayah mereka, sedangkan aku dan Rafa hanya dijemput oleh Bunda seorang.

“Hari yang berbeda dari biasanya. Rendi ke mana, ya? Sudah beberapa hari ini dia jarang mengajak aku ke rumahnya,” ucapku memandang sekeliling.

Seperti biasa, bila Bunda ada urusan dan tidak menjemput kami ke sekolah, aku dan Rafa menghabiskan waktu di rumah Rendi sahabatku. Bunda orangnya super sibuk. Selain mengurus kerjaan kantor, Bunda juga sibuk dengan urusan pribadi yang sampai saat ini menjadi rahasia Tuhan dengannya.

“Kak, hari ini Bunda tidak jemput?” tanya Rafa padaku.

“Iya,” jawabku datar.

“Kalau begitu kita ke rumah Kak Rendi saja,” ujarnya.

“Iya. Maunya begitu, tapi sudah beberapa hari Rendi jarang kelihatan batang hidungnya.”

Di tengah perbincangan kami, tiba-tiba Rendi muncul dari belakang menghampiri.

“Farhan!” teriak Rendi.

“Hai, Ren. Tumben nongol? Beberapa hari kamu tidak kelihatan. Ke mana saja?” tanyaku.

Beberapa hari ini Rendi jarang mengajak kami bermain ke rumahnya. Entah ada apa, dia pulang sekolah pun dalam keadaan buru-buru biasanya.

“Maaf, Han. Beberapa hari ini ayahku sakit jadi jarang ajak kalian main bareng. Akan tetapi, sekarang Ayah sudah baikan,” jawabnya.

“Loh, memangnya Ayah kamu sakit apa?” tanyaku penasaran.

Walaupun tidak punya Ayah, tetapi rasa simpati pada sahabatku tetap ada. Mendengar ucapan Rendi tentang ayahnya yang sedang sakit, aku merasa iba.

“Ayahku sakit paru-paru, makanya setiap pulang sekolah aku langsung ke rumah sakit jengukin Ayah.”

Jarang-jarang seorang anak seperti dia menjaga orang tuanya bila sakit. Rendi memang sahabat terbaik yang pernah aku kenal.

“Kalau begitu kita mainnya lain kali saja, ya. Tunggu Ayah kamu sembuh dulu.” Aku menyarankan agar kami bermain di lain waktu. Takut mengganggu proses penyembuhan ayahnya Rendi.

“Iya, kalau begitu aku pamit duluan, ya.” Rendi pun berlalu dari hadapan kami.

“Iya, hati-hati,” ucapku melambaikan tangan.

Aku dan Rafa bergegas untuk pulang. Berhubung Bunda tidak jemput, jadi kita memilih naik angkot saja. Jarak dari sekolah menuju rumah cukup jauh, sehingga angkot yang ditempati harus sambung-menyambung. Namun, di tengah perjalanan kami tidak sengaja berpapasan dengan Bunda.

“Bukankah itu Bunda?” tanya Rafa padaku sambil menunjuk ke arah Bunda.

“Mana?” jawabku memperhatikan mobil yang lalu lalang di depan kami.

“Loh, Bunda kenapa bersama Om Fadil?”

Rafa heran mendapati Bunda sedang bersama Om Fadil, yang tidak lain adalah ayah Rendi. Aku yang ikut penasaran pun bertanya-tanya dalam hati. Ada hubungan apa Bunda dengan Om Fadil?

“Bukankah Om Fadil lagi sakit, Kak?” tanya Rafa penuh heran.

“Iya, kamu benar. Tadi, Rendi memang bilang begitu kalau ayahnya sakit.”

Kami sama sekali tidak percaya kalau Bunda dan Om Fadil saling mengenal satu sama lain.

“Tadi pagi Bunda sempat bilang kalau ada urusan. Mungkinkah ini yang dimaksud Bunda, Kak?” lagi-lagi Rafa bertanya padaku.

“Mungkin saja, tapi ada hubungan apa mereka berdua, ya?”

“Kita hampiri saja mereka, Kak!” ajak Rafa menarik tanganku.

Spontan aku menolak. Bukan karena takut mengganggu. Namun, hanya ingin menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi nantinya. Apalagi Bunda bila ada urusan pribadi, beliau paling tidak suka jika diganggu.

“Jangan! Kamu mau diomeli Bunda? Tidak, kan?” ucapku menolak.

“Iya, Kak. Tunggu saja Om Fadil pergi duluan baru kita hampiri Bunda,”

Mau tidak mau kami harus menunggu Om Fadil berlalu dulu. Setelah itu, baru menghampiri Bunda. Namun, sudah sekitar satu jam Bunda dan Om Fadil belum juga beranjak dari tempat mereka.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY