baikan kenyataan bahwa Fabian Reva selalu ada di sana, dalam setiap rapat, dalam setiap proyek yang mereka jalani bersama. Pekerjaan yang semula ia a
iap dokumen yang ia periksa, semua itu menjadi pengalih perhatian yang cukup untuk sementara waktu. Namun, setiap kali ia berpapasan de
k, ketika pintu ruangannya terbuka. Ia menoleh dengan cepat, merasa jantun
mencoba berbicara, berusaha mengal
gu undangan. "Aku ingin bicara," katanya dengan
bahwa jika Fabian datang dengan wajah seperti itu, maka p
awab Fabian langsung, suaranya terdengar leb
nembus ruang di antara mereka. "Kita tidak perlu bicara tentang it
mundur. "Apa yang terjadi di antara kita tidak
seakan memisahkan mereka. "Aku sudah berusaha untuk me
n yang tercipta begitu kuat, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya
tidak peduli?" Fabian menyuarakan kata-kata yang terasa tajam, penuh perasaan. "Aku ingin ta
saat yang penuh harapan, namun diiringi dengan luka yang belum sepenuhnya sembuh. "Kau meninggalkanku, Fabian.
ta-kata yang keluar dari mulutnya. "Aku t
n yang berbeda. Ada penyesalan di matanya, ada ketulusan yang sepertinya baru muncul setelah
n. Aku sudah belajar untuk hidup tanpa kehadiranmu. Dan aku t
h ia bangun untuk melindungi dirinya dari rasa sakit. Fabian mendekat, menatapnya dengan kesungguhan yang tak terbantahkan. "Aku ti
rat, seakan dunia luar pun tak mampu menembus ketegangan di antara mereka. "Kau datang ter
g sudah terlalu lama terpendam. "Aku tahu," jawabnya, "tapi aku ingin mencoba. Aku
mpir keluar. "Kita tidak bisa memperbaiki semuanya, Fabian. Terlalu ba
n bertanya, matanya penuh dengan keyakinan. "Aku
mbunyikan kembali menyeruak, membuatnya hampir tak bisa bernapas. Cinta itu, yang ia pikir s
, mencoba menahan dirinya agar tidak menyerah pada perasaan yang beg
, cukup dekat untuk merasakan getaran emosi yang saling berbenturan. "Aku tahu. Tapi
an kebingungannya, ada satu hal yang pasti. Mereka tak bisa menghindari apa yang sudah terja