Hanya dengan mengingat namanya saja, tubuhnya terasa membeku. Jantungnya berdegup tak karuan, bukan karena rindu, tetapi karena amarah yang telah ia kubur selama bertahun-tahun.
Mereka tidak berpisah dengan baik-baik. Tidak ada ucapan perpisahan yang manis atau pelukan terakhir yang penuh air mata. Yang ada hanya kata-kata tajam, luka yang membekas, dan hati yang porak-poranda. Dan sekarang, takdir sialan ini membawanya kembali ke hadapan pria itu.
"Alessandra Vega?"
Sebuah suara berat menghentikan langkahnya.
Dengan napas yang tercekat, Alessandra menoleh. Seperti ditampar oleh kenyataan, di hadapannya berdiri seorang pria dengan seragam militer yang begitu rapi, bahunya tegap, rahangnya mengeras. Mata gelap itu menatapnya, penuh sorot yang sulit dia artikan.
Fabian Reva berdiri di sana.
"Tidak mungkin," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Fabian menyilangkan tangan di depan dada. "Kupikir kau sudah lari jauh, ternyata tidak."
Nada suaranya tajam, sarkastik, dan Alessandra langsung merasakan kemarahan yang dulu pernah ia rasakan. Dia mengangkat dagunya, menatap pria itu dengan tatapan setajam mungkin.
"Aku tidak lari," balasnya. "Aku hanya tidak ingin membuang waktuku untuk sesuatu yang tidak berharga."
Senyum tipis muncul di bibir Fabian, tetapi Alessandra tahu itu bukan senyuman yang ramah. Itu adalah senyum yang penuh tantangan.
"Lucu," katanya pelan, tetapi menusuk. "Dulu, kau yang selalu berkata ingin bersamaku selamanya. Sekarang, aku tidak berharga?"
Alessandra mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Napasnya memburu, berusaha menahan emosi yang siap meledak.
"Dulu aku terlalu bodoh untuk percaya pada pria seperti kau," katanya dingin.
Fabian tidak bereaksi, tetapi Alessandra tahu pria itu tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti maksudnya. Dulu, Fabian telah menghancurkan hatinya. Sekarang, dia tidak akan membiarkan pria itu memiliki kendali atasnya lagi.
"Baiklah," Fabian akhirnya berkata, suaranya lebih tenang tetapi tetap berbahaya. "Kalau begitu, anggap saja kita dua orang asing."
Alessandra tertawa sinis. "Percayalah, itu adalah satu-satunya hal yang ingin kulakukan sejak awal."
Mereka saling bertukar tatapan tajam sebelum suara seseorang di belakang mereka memecah ketegangan.
"Letnan Fabian, rapat akan segera dimulai."
Alessandra menegakkan punggungnya, menghirup napas panjang, lalu berjalan melewati Fabian tanpa sepatah kata pun.
Namun, saat dia melewati pria itu, dia bisa merasakan tatapan Fabian tetap mengikutinya. Ada sesuatu di dalamnya-sesuatu yang membuatnya tidak nyaman.
Dan Alessandra tahu satu hal: ini baru permulaan.