Kota ini, yang seharusnya menawarkan kebebasan dan petualangan baru, malah terasa menekan. Tiga bulan di kota yang penuh gairah ini tidak membuatnya merasa lebih hidup. Sebalikny
an masa lalunya masih membayang, menghantuinya, meninggalkan luka yang belum sembuh. Dia tidak tahu
berapa minggu lalu, menyadarkannya dari lamunan. Vera menole
a tidak benar-benar baik-baik saja. Kiana mendekat, duduk d
in kita butuh sedikit hiburan malam ini. Ada pesta di
a tak punya pilihan lain. Keberadaannya di Paris sudah cukup lama untuk mengerti bahwa terkadang, me
malas masih menyelimutinya. Kiana tersen
ang datang bersama keramaian, suara musik yang memecah keheningan dalam dirinya. Namun, semakin dalam ia masuk ke dalam
a. Tetapi ada sesuatu di dalam klub ini yang membuatnya merasa gelisah, sebuah perasaan yang mengi
ipun ia hampir tidak dapat mengenalinya. Rambut hitamnya yang rapi, mata birunya yang tajam, serta tubuh tegap dan wajah tampan yang suli
memikat, tersenyum tipis saat melihat Vera.
rah karena amarah yang perlahan muncul kembali, mengingatkan akan segala perasaan buruk yang pernah ia alami selama masa sekolah dulu. Da
Vera keluar lebih tajam dari yang ia inginkan
antai. "Aku di sini hanya untuk menikmati malam. Lagipula, kita sudah
r dari pria yang membawanya pada kenangan pahit. Tetapi, di sini, di dalam klub yang penuh dengan orang asing ini, ia mera
lap di klub. Di sanalah pertemuan mereka berakhir dalam keheningan yang tak terucapkan, sebuah ketegangan ya
ekadar kebencian masa lalu yang mereka bagi. Dan ketika musik mengalun lebih keras, ketika cahaya berkelip lebih terang, Vera merasakan dirinya mulai kehilangan kend
oleh kebingungan dan kepedihan. Ketika ia membuka matanya, semuanya terasa begitu asing. Tubuhnya terb
kabur, terlalu membingungkan. Apa yang telah ia lakukan? Bagaimana bisa ia berada di sini, di sampinerdengar di sampingnya. "Vera... apa yang kita lakukan
gitu saja, menghantamnya dengan begitu keras. Seolah seluruh dunia berput