di latar samar di balik embun dan gemuruh malam. Jam menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh ketika Nadira Almeira, mengenakan blo
muda berusia tiga puluh satu tahun dengan reputasi dingin dan tak tersentuh. Wajahnya rupawan, sikapnya tak kenal kompromi
lam itu
ri tegak di ambang pintu, mengenakan kemeja abu gelap yang bagian atasnya sedikit terbuka, wajahnya tak bisa dibaca. Mata p
rintah Elva
modern itu. Lampu remang menyinari meja besar dari kayu hitam, kursi kulit, dan
a pelan, menjaga n
i meja, lalu menatapnya dalam-dal
it. "Maaf, saya
t busuk. Kau tahu benar apa yang terjadi
Yang dia ingat, malam itu dia hanya membantu menyusun berkas hingga larut lalu
a, Pak? Saya ti
aku kehilangan kendali. Dan sekarang, beredar rumor kalau aku menghabiskan malam deng
an emosinya. "Saya tidak tahu apa-apa soal itu... Saya b
sindirnya sambil tertawa dingin.
pok uang ratusan ribu dan melemparkannya ke wajah Nadira. Uang itu b
u. Sekarang enyah dari k
dunia Nad
epal di sisi tubuh, tubuhnya bergetar. Ia menatap Elvano, bukan de
pernah menyentuh Anda. Saya tidak pernah menjebak siapa pun. Tapi A
ata apa-apa. Mata
uk, memunguti uang-uang itu satu per sai Anda, Pak. Anda akan membu
han isak dan malu yang menyiksa. Dalam benaknya, hanya sat
inggu
tasinya tercemar, dan beberapa rekan kantor bahkan menyebarkan desas-desus yang lebih par
pa alasan. Ia pikir itu karena stres. Namun ketika mual itu kembali me
kalender kecil di meja, menghitung mundur siklusnya. Ia menah
e apotek terdekat, mengenakan hoo
garis merah di alat uji kehamilan. Tangannya bergetar. Dunia terasa ber
ha
dalah pria yang telah menghancurkannya. Pria yang m
o Mah
angan menggenggam alat tes itu erat-erat, seolah-ol
iknya sambil menangis. "Aku
rinya. Ia hidup, berkembang. Setengah dari darah yang mengalir dala
a dua p
arkan anak itu sendirian, hidup dalam bay
au
untut cinta, bukan untuk balas dendam, tapi untuk keadil
atap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang p
ala yang tak lag