Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Bukan Aku Yang Menjebakmu
Bukan Aku Yang Menjebakmu

Bukan Aku Yang Menjebakmu

5.0
5 Bab
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Nadira Almeira, seorang sekretaris muda yang cerdas namun sederhana, bekerja di bawah kepemimpinan Elvano Mahardika, CEO tampan sekaligus pewaris perusahaan raksasa Mahardika Corp. Suatu malam, Nadira dituduh menjebak Elvano dengan menggunakan obat perangsang dan membuat pria itu menghabiskan malam bersamanya. Tanpa sempat membela diri, Nadira dihujani tuduhan keji, dicap sebagai penggoda murahan yang haus kekuasaan. Dengan penuh amarah dan kehinaan, Elvano memecat Nadira secara sepihak. Di depan para staf, pria itu melemparkan segepok uang ke wajah Nadira-menghinanya seakan-akan harga diri perempuan itu bisa dibeli. Nadira hanya bisa berdiri membeku, air matanya mengalir tanpa bisa menghentikan rasa malu dan ketidakadilan. Padahal, Nadira sendiri adalah korban-dia tak tahu apa-apa tentang jebakan yang menimpanya malam itu. Namun, semuanya berubah ketika beberapa minggu kemudian, Nadira mengetahui bahwa ia mengandung anak dari pria yang telah mengusir dan mempermalukannya di depan umum. Kini, dalam diam dan rasa sakit, Nadira harus memilih: melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, atau kembali dan menghadapi Elvano-bukan untuk menuntut keadilan, tapi untuk melindungi darah daging yang kini tumbuh dalam rahimnya.

Bab 1 Malam yang Menghancurkan

Suara hujan mengguyur kaca jendela kantor Mahardika Corp di lantai dua puluh lima. Lampu-lampu kota Jakarta yang gemerlap hanya menjadi latar samar di balik embun dan gemuruh malam. Jam menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh ketika Nadira Almeira, mengenakan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, masih berada di meja kerjanya, menuntaskan laporan keuangan yang harus diserahkan esok pagi.

Ia tidak mengeluh. Bekerja lembur sudah menjadi rutinitas sejak bergabung sebagai sekretaris pribadi Elvano Mahardika, pria muda berusia tiga puluh satu tahun dengan reputasi dingin dan tak tersentuh. Wajahnya rupawan, sikapnya tak kenal kompromi. Pria itu dikenal tanpa ampun terhadap kesalahan, dan Nadira telah belajar sejak awal: jangan buat satu pun kesalahan fatal.

Namun malam itu berbeda.

Tepat pukul sembilan tiga puluh, pintu ruang kerja Elvano terbuka. Nadira mengangkat wajahnya dan menemukan atasannya berdiri tegak di ambang pintu, mengenakan kemeja abu gelap yang bagian atasnya sedikit terbuka, wajahnya tak bisa dibaca. Mata pria itu menatapnya dengan tajam, terlalu tajam. Jantung Nadira berdegup aneh, merasa ada yang salah, tapi dia tak tahu apa.

"Masuk," perintah Elvano singkat.

Dengan langkah hati-hati, Nadira bangkit dan masuk ke dalam ruangan besar bergaya modern itu. Lampu remang menyinari meja besar dari kayu hitam, kursi kulit, dan rak buku yang tersusun rapi. Aroma kopi dan parfum maskulin samar memenuhi udara.

"Ya, Pak?" tanyanya pelan, menjaga nada suaranya netral.

Elvano berjalan pelan mengelilingi meja, lalu menatapnya dalam-dalam. "Kau pikir aku bodoh, Nadira?"

Nadira mengernyit. "Maaf, saya tidak mengerti."

"Kau menjebakku. Dengan obat, dengan niat busuk. Kau tahu benar apa yang terjadi malam Jumat itu. Jangan pura-pura polos."

Mulut Nadira terbuka, nyaris membantah, tapi ia terlalu bingung. Malam Jumat? Yang dia ingat, malam itu dia hanya membantu menyusun berkas hingga larut lalu pulang. Dia tidak pernah menyentuh minuman atau makanan apapun milik atasannya.

"Apa maksud Anda, Pak? Saya tidak melakukan-"

"Diam!" hardik Elvano, nadanya tajam seperti cambuk. "Kau racuni minumanku. Kau buat aku kehilangan kendali. Dan sekarang, beredar rumor kalau aku menghabiskan malam dengan sekretarisku. Semua orang mulai bicara, dan kau tahu siapa yang jadi tertuduh? Aku."

Nadira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan guncangan emosinya. "Saya tidak tahu apa-apa soal itu... Saya bahkan tidak ingat malam itu seperti yang Anda ceritakan."

"Kau memang aktris yang hebat," sindirnya sambil tertawa dingin. "Tapi drama ini sudah selesai."

Dengan satu gerakan cepat, Elvano membuka laci mejanya, menarik segepok uang ratusan ribu dan melemparkannya ke wajah Nadira. Uang itu berserakan di lantai, beberapa lembar menempel di rambut dan tubuhnya.

"Itu bayaran untuk jasamu. Sekarang enyah dari kantor ini. Kau dipecat."

Seketika dunia Nadira runtuh.

Air matanya langsung jatuh, tapi dia tidak menyeka. Tangannya mengepal di sisi tubuh, tubuhnya bergetar. Ia menatap Elvano, bukan dengan air mata yang memelas, tapi dengan sorot yang hancur-dan marah.

"Anda tidak tahu apa yang Anda lakukan," bisiknya lirih. "Saya tidak pernah menyentuh Anda. Saya tidak pernah menjebak siapa pun. Tapi Anda... Anda bahkan tidak memberi saya kesempatan untuk menjelaskan."

Elvano tidak berkata apa-apa. Matanya tetap dingin.

Dengan langkah gemetar, Nadira membungkuk, memunguti uang-uang itu satu per satu, lalu meletakkannya kembali di meja.

"Simpan ini untuk hati nurani Anda, Pak. Anda akan membutuhkannya suatu hari nanti."

Ia keluar dari ruangan dengan langkah terpatah-patah, menahan isak dan malu yang menyiksa. Dalam benaknya, hanya satu pertanyaan yang terus berdengung: siapa yang menjebaknya?

Tiga minggu berlalu.

Nadira mengurung diri di kamar kosnya yang sempit. Pekerjaan baru belum ia dapatkan, reputasinya tercemar, dan beberapa rekan kantor bahkan menyebarkan desas-desus yang lebih parah. Hidupnya porak-poranda, semua karena malam yang bahkan tak pernah benar-benar ia alami.

Pagi itu, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Perutnya mual tanpa alasan. Ia pikir itu karena stres. Namun ketika mual itu kembali menghantam di siang hari, dan kemudian malam harinya, Nadira mulai curiga.

Ia duduk di tepi ranjang, napasnya memburu. Tangannya meraih kalender kecil di meja, menghitung mundur siklusnya. Ia menahan napas. Sudah lebih dari lima minggu sejak terakhir kali...

Tak percaya, dia langsung pergi ke apotek terdekat, mengenakan hoodie dan masker agar tak dikenali.

Satu jam kemudian, dia berdiri di kamar mandi sempit kosnya, menatap dua garis merah di alat uji kehamilan. Tangannya bergetar. Dunia terasa berputar. Suaranya tercekat. Ia menjatuhkan diri di lantai, memeluk lututnya.

Dia hamil.

Dan satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya... adalah pria yang telah menghancurkannya. Pria yang melemparkan uang ke wajahnya seolah ia wanita murahan.

Elvano Mahardika.

Hening. Nadira duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menggenggam alat tes itu erat-erat, seolah-olah itu bisa memberi jawaban atas kekacauan hidupnya.

"Aku tidak minta ini..." bisiknya sambil menangis. "Aku tidak pernah meminta ini..."

Tapi air mata tak bisa mengubah kenyataan. Bayi itu ada di dalam dirinya. Ia hidup, berkembang. Setengah dari darah yang mengalir dalam tubuh anak itu... milik pria yang mengusirnya tanpa belas kasihan.

Ia punya dua pilihan.

Melupakan semuanya, melahirkan dan membesarkan anak itu sendirian, hidup dalam bayang-bayang stigma dan kehancuran reputasi.

Atau...

Menghadapi Elvano. Mengungkap kebenaran. Bukan untuk menuntut cinta, bukan untuk balas dendam, tapi untuk keadilan... untuk anak yang bahkan belum sempat melihat dunia.

Untuk kali pertama sejak malam itu, Nadira menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang sembab, tapi sorotnya berbeda.

Kali ini, ada nyala yang tak lagi ingin menyerah.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 penyesalan yang mendalam   05-08 17:35
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY