Ia tidak mengeluh. Bekerja lembur sudah menjadi rutinitas sejak bergabung sebagai sekretaris pribadi Elvano Mahardika, pria muda berusia tiga puluh satu tahun dengan reputasi dingin dan tak tersentuh. Wajahnya rupawan, sikapnya tak kenal kompromi. Pria itu dikenal tanpa ampun terhadap kesalahan, dan Nadira telah belajar sejak awal: jangan buat satu pun kesalahan fatal.
Namun malam itu berbeda.
Tepat pukul sembilan tiga puluh, pintu ruang kerja Elvano terbuka. Nadira mengangkat wajahnya dan menemukan atasannya berdiri tegak di ambang pintu, mengenakan kemeja abu gelap yang bagian atasnya sedikit terbuka, wajahnya tak bisa dibaca. Mata pria itu menatapnya dengan tajam, terlalu tajam. Jantung Nadira berdegup aneh, merasa ada yang salah, tapi dia tak tahu apa.
"Masuk," perintah Elvano singkat.
Dengan langkah hati-hati, Nadira bangkit dan masuk ke dalam ruangan besar bergaya modern itu. Lampu remang menyinari meja besar dari kayu hitam, kursi kulit, dan rak buku yang tersusun rapi. Aroma kopi dan parfum maskulin samar memenuhi udara.
"Ya, Pak?" tanyanya pelan, menjaga nada suaranya netral.
Elvano berjalan pelan mengelilingi meja, lalu menatapnya dalam-dalam. "Kau pikir aku bodoh, Nadira?"
Nadira mengernyit. "Maaf, saya tidak mengerti."
"Kau menjebakku. Dengan obat, dengan niat busuk. Kau tahu benar apa yang terjadi malam Jumat itu. Jangan pura-pura polos."
Mulut Nadira terbuka, nyaris membantah, tapi ia terlalu bingung. Malam Jumat? Yang dia ingat, malam itu dia hanya membantu menyusun berkas hingga larut lalu pulang. Dia tidak pernah menyentuh minuman atau makanan apapun milik atasannya.
"Apa maksud Anda, Pak? Saya tidak melakukan-"
"Diam!" hardik Elvano, nadanya tajam seperti cambuk. "Kau racuni minumanku. Kau buat aku kehilangan kendali. Dan sekarang, beredar rumor kalau aku menghabiskan malam dengan sekretarisku. Semua orang mulai bicara, dan kau tahu siapa yang jadi tertuduh? Aku."
Nadira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan guncangan emosinya. "Saya tidak tahu apa-apa soal itu... Saya bahkan tidak ingat malam itu seperti yang Anda ceritakan."
"Kau memang aktris yang hebat," sindirnya sambil tertawa dingin. "Tapi drama ini sudah selesai."
Dengan satu gerakan cepat, Elvano membuka laci mejanya, menarik segepok uang ratusan ribu dan melemparkannya ke wajah Nadira. Uang itu berserakan di lantai, beberapa lembar menempel di rambut dan tubuhnya.
"Itu bayaran untuk jasamu. Sekarang enyah dari kantor ini. Kau dipecat."
Seketika dunia Nadira runtuh.
Air matanya langsung jatuh, tapi dia tidak menyeka. Tangannya mengepal di sisi tubuh, tubuhnya bergetar. Ia menatap Elvano, bukan dengan air mata yang memelas, tapi dengan sorot yang hancur-dan marah.
"Anda tidak tahu apa yang Anda lakukan," bisiknya lirih. "Saya tidak pernah menyentuh Anda. Saya tidak pernah menjebak siapa pun. Tapi Anda... Anda bahkan tidak memberi saya kesempatan untuk menjelaskan."
Elvano tidak berkata apa-apa. Matanya tetap dingin.
Dengan langkah gemetar, Nadira membungkuk, memunguti uang-uang itu satu per satu, lalu meletakkannya kembali di meja.
"Simpan ini untuk hati nurani Anda, Pak. Anda akan membutuhkannya suatu hari nanti."
Ia keluar dari ruangan dengan langkah terpatah-patah, menahan isak dan malu yang menyiksa. Dalam benaknya, hanya satu pertanyaan yang terus berdengung: siapa yang menjebaknya?
Tiga minggu berlalu.
Nadira mengurung diri di kamar kosnya yang sempit. Pekerjaan baru belum ia dapatkan, reputasinya tercemar, dan beberapa rekan kantor bahkan menyebarkan desas-desus yang lebih parah. Hidupnya porak-poranda, semua karena malam yang bahkan tak pernah benar-benar ia alami.
Pagi itu, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Perutnya mual tanpa alasan. Ia pikir itu karena stres. Namun ketika mual itu kembali menghantam di siang hari, dan kemudian malam harinya, Nadira mulai curiga.
Ia duduk di tepi ranjang, napasnya memburu. Tangannya meraih kalender kecil di meja, menghitung mundur siklusnya. Ia menahan napas. Sudah lebih dari lima minggu sejak terakhir kali...
Tak percaya, dia langsung pergi ke apotek terdekat, mengenakan hoodie dan masker agar tak dikenali.
Satu jam kemudian, dia berdiri di kamar mandi sempit kosnya, menatap dua garis merah di alat uji kehamilan. Tangannya bergetar. Dunia terasa berputar. Suaranya tercekat. Ia menjatuhkan diri di lantai, memeluk lututnya.
Dia hamil.
Dan satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya... adalah pria yang telah menghancurkannya. Pria yang melemparkan uang ke wajahnya seolah ia wanita murahan.
Elvano Mahardika.
Hening. Nadira duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menggenggam alat tes itu erat-erat, seolah-olah itu bisa memberi jawaban atas kekacauan hidupnya.
"Aku tidak minta ini..." bisiknya sambil menangis. "Aku tidak pernah meminta ini..."
Tapi air mata tak bisa mengubah kenyataan. Bayi itu ada di dalam dirinya. Ia hidup, berkembang. Setengah dari darah yang mengalir dalam tubuh anak itu... milik pria yang mengusirnya tanpa belas kasihan.
Ia punya dua pilihan.
Melupakan semuanya, melahirkan dan membesarkan anak itu sendirian, hidup dalam bayang-bayang stigma dan kehancuran reputasi.
Atau...
Menghadapi Elvano. Mengungkap kebenaran. Bukan untuk menuntut cinta, bukan untuk balas dendam, tapi untuk keadilan... untuk anak yang bahkan belum sempat melihat dunia.
Untuk kali pertama sejak malam itu, Nadira menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang sembab, tapi sorotnya berbeda.
Kali ini, ada nyala yang tak lagi ingin menyerah.