/0/24233/coverbig.jpg?v=ff9073c1b50b906c5a511041400bc717)
Nadira Almeira, seorang sekretaris muda yang cerdas namun sederhana, bekerja di bawah kepemimpinan Elvano Mahardika, CEO tampan sekaligus pewaris perusahaan raksasa Mahardika Corp. Suatu malam, Nadira dituduh menjebak Elvano dengan menggunakan obat perangsang dan membuat pria itu menghabiskan malam bersamanya. Tanpa sempat membela diri, Nadira dihujani tuduhan keji, dicap sebagai penggoda murahan yang haus kekuasaan. Dengan penuh amarah dan kehinaan, Elvano memecat Nadira secara sepihak. Di depan para staf, pria itu melemparkan segepok uang ke wajah Nadira-menghinanya seakan-akan harga diri perempuan itu bisa dibeli. Nadira hanya bisa berdiri membeku, air matanya mengalir tanpa bisa menghentikan rasa malu dan ketidakadilan. Padahal, Nadira sendiri adalah korban-dia tak tahu apa-apa tentang jebakan yang menimpanya malam itu. Namun, semuanya berubah ketika beberapa minggu kemudian, Nadira mengetahui bahwa ia mengandung anak dari pria yang telah mengusir dan mempermalukannya di depan umum. Kini, dalam diam dan rasa sakit, Nadira harus memilih: melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, atau kembali dan menghadapi Elvano-bukan untuk menuntut keadilan, tapi untuk melindungi darah daging yang kini tumbuh dalam rahimnya.
Suara hujan mengguyur kaca jendela kantor Mahardika Corp di lantai dua puluh lima. Lampu-lampu kota Jakarta yang gemerlap hanya menjadi latar samar di balik embun dan gemuruh malam. Jam menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh ketika Nadira Almeira, mengenakan blouse putih sederhana dan rok pensil hitam, masih berada di meja kerjanya, menuntaskan laporan keuangan yang harus diserahkan esok pagi.
Ia tidak mengeluh. Bekerja lembur sudah menjadi rutinitas sejak bergabung sebagai sekretaris pribadi Elvano Mahardika, pria muda berusia tiga puluh satu tahun dengan reputasi dingin dan tak tersentuh. Wajahnya rupawan, sikapnya tak kenal kompromi. Pria itu dikenal tanpa ampun terhadap kesalahan, dan Nadira telah belajar sejak awal: jangan buat satu pun kesalahan fatal.
Namun malam itu berbeda.
Tepat pukul sembilan tiga puluh, pintu ruang kerja Elvano terbuka. Nadira mengangkat wajahnya dan menemukan atasannya berdiri tegak di ambang pintu, mengenakan kemeja abu gelap yang bagian atasnya sedikit terbuka, wajahnya tak bisa dibaca. Mata pria itu menatapnya dengan tajam, terlalu tajam. Jantung Nadira berdegup aneh, merasa ada yang salah, tapi dia tak tahu apa.
"Masuk," perintah Elvano singkat.
Dengan langkah hati-hati, Nadira bangkit dan masuk ke dalam ruangan besar bergaya modern itu. Lampu remang menyinari meja besar dari kayu hitam, kursi kulit, dan rak buku yang tersusun rapi. Aroma kopi dan parfum maskulin samar memenuhi udara.
"Ya, Pak?" tanyanya pelan, menjaga nada suaranya netral.
Elvano berjalan pelan mengelilingi meja, lalu menatapnya dalam-dalam. "Kau pikir aku bodoh, Nadira?"
Nadira mengernyit. "Maaf, saya tidak mengerti."
"Kau menjebakku. Dengan obat, dengan niat busuk. Kau tahu benar apa yang terjadi malam Jumat itu. Jangan pura-pura polos."
Mulut Nadira terbuka, nyaris membantah, tapi ia terlalu bingung. Malam Jumat? Yang dia ingat, malam itu dia hanya membantu menyusun berkas hingga larut lalu pulang. Dia tidak pernah menyentuh minuman atau makanan apapun milik atasannya.
"Apa maksud Anda, Pak? Saya tidak melakukan-"
"Diam!" hardik Elvano, nadanya tajam seperti cambuk. "Kau racuni minumanku. Kau buat aku kehilangan kendali. Dan sekarang, beredar rumor kalau aku menghabiskan malam dengan sekretarisku. Semua orang mulai bicara, dan kau tahu siapa yang jadi tertuduh? Aku."
Nadira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan guncangan emosinya. "Saya tidak tahu apa-apa soal itu... Saya bahkan tidak ingat malam itu seperti yang Anda ceritakan."
"Kau memang aktris yang hebat," sindirnya sambil tertawa dingin. "Tapi drama ini sudah selesai."
Dengan satu gerakan cepat, Elvano membuka laci mejanya, menarik segepok uang ratusan ribu dan melemparkannya ke wajah Nadira. Uang itu berserakan di lantai, beberapa lembar menempel di rambut dan tubuhnya.
"Itu bayaran untuk jasamu. Sekarang enyah dari kantor ini. Kau dipecat."
Seketika dunia Nadira runtuh.
Air matanya langsung jatuh, tapi dia tidak menyeka. Tangannya mengepal di sisi tubuh, tubuhnya bergetar. Ia menatap Elvano, bukan dengan air mata yang memelas, tapi dengan sorot yang hancur-dan marah.
"Anda tidak tahu apa yang Anda lakukan," bisiknya lirih. "Saya tidak pernah menyentuh Anda. Saya tidak pernah menjebak siapa pun. Tapi Anda... Anda bahkan tidak memberi saya kesempatan untuk menjelaskan."
Elvano tidak berkata apa-apa. Matanya tetap dingin.
Dengan langkah gemetar, Nadira membungkuk, memunguti uang-uang itu satu per satu, lalu meletakkannya kembali di meja.
"Simpan ini untuk hati nurani Anda, Pak. Anda akan membutuhkannya suatu hari nanti."
Ia keluar dari ruangan dengan langkah terpatah-patah, menahan isak dan malu yang menyiksa. Dalam benaknya, hanya satu pertanyaan yang terus berdengung: siapa yang menjebaknya?
Tiga minggu berlalu.
Nadira mengurung diri di kamar kosnya yang sempit. Pekerjaan baru belum ia dapatkan, reputasinya tercemar, dan beberapa rekan kantor bahkan menyebarkan desas-desus yang lebih parah. Hidupnya porak-poranda, semua karena malam yang bahkan tak pernah benar-benar ia alami.
Pagi itu, tubuhnya terasa lebih lelah dari biasanya. Perutnya mual tanpa alasan. Ia pikir itu karena stres. Namun ketika mual itu kembali menghantam di siang hari, dan kemudian malam harinya, Nadira mulai curiga.
Ia duduk di tepi ranjang, napasnya memburu. Tangannya meraih kalender kecil di meja, menghitung mundur siklusnya. Ia menahan napas. Sudah lebih dari lima minggu sejak terakhir kali...
Tak percaya, dia langsung pergi ke apotek terdekat, mengenakan hoodie dan masker agar tak dikenali.
Satu jam kemudian, dia berdiri di kamar mandi sempit kosnya, menatap dua garis merah di alat uji kehamilan. Tangannya bergetar. Dunia terasa berputar. Suaranya tercekat. Ia menjatuhkan diri di lantai, memeluk lututnya.
Dia hamil.
Dan satu-satunya pria yang pernah menyentuhnya... adalah pria yang telah menghancurkannya. Pria yang melemparkan uang ke wajahnya seolah ia wanita murahan.
Elvano Mahardika.
Hening. Nadira duduk di tepi ranjang dengan kedua tangan menggenggam alat tes itu erat-erat, seolah-olah itu bisa memberi jawaban atas kekacauan hidupnya.
"Aku tidak minta ini..." bisiknya sambil menangis. "Aku tidak pernah meminta ini..."
Tapi air mata tak bisa mengubah kenyataan. Bayi itu ada di dalam dirinya. Ia hidup, berkembang. Setengah dari darah yang mengalir dalam tubuh anak itu... milik pria yang mengusirnya tanpa belas kasihan.
Ia punya dua pilihan.
Melupakan semuanya, melahirkan dan membesarkan anak itu sendirian, hidup dalam bayang-bayang stigma dan kehancuran reputasi.
Atau...
Menghadapi Elvano. Mengungkap kebenaran. Bukan untuk menuntut cinta, bukan untuk balas dendam, tapi untuk keadilan... untuk anak yang bahkan belum sempat melihat dunia.
Untuk kali pertama sejak malam itu, Nadira menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajah yang pucat, mata yang sembab, tapi sorotnya berbeda.
Kali ini, ada nyala yang tak lagi ingin menyerah.
Clarisse Nayara dilanda amarah ketika suaminya, Dario Mahendra, memilih membayar seorang pengawal bernama Keiran untuk menemaninya setiap saat, alih-alih meluangkan waktu bersamanya. Dario berdalih bahwa ia terlalu sibuk dengan urusan bisnis untuk mendampingi Clarisse secara langsung. Namun amarah Clarisse berubah menjadi kehancuran saat ia mengetahui alasan sebenarnya: Dario ternyata memiliki seorang istri kedua yang telah ia sembunyikan selama dua tahun terakhir. Dikhianati, diremehkan, dan dijadikan alat pelindung reputasi, Clarisse memutuskan untuk tidak lagi menjadi korban. Dengan hati yang dingin dan mata penuh dendam, Clarisse membayar Keiran-bukan lagi sebagai pengawal, tapi sebagai kekasih gelapnya. Ia ingin Dario tahu bagaimana rasanya dikhianati, dan ingin membuat lelaki itu kehilangan kendali seperti yang dulu ia alami. Namun yang tidak Clarisse sangka, Keiran bukan pria biasa. Di balik sikap dinginnya, Keiran menyimpan rahasia kelam yang membuat permainan ini jauh lebih berbahaya daripada sekadar balas dendam.
Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Seto lalu merebahkan tubuh Anissa, melumat habis puting payudara istrinya yang kian mengeras dan memberikan gigitan-gigitan kecil. Perlahan, jilatannya berangsur turun ke puser, perut hingga ke kelubang kenikmatan Anissa yang berambut super lebat. Malam itu, disebuah daerah yang terletak dipinggir kota. sepasang suami istri sedang asyik melakukan kebiasaan paginya. Dikala pasangan lain sedang seru-serunya beristirahat dan terbuai mimpi, pasangan ini malah sengaja memotong waktu tidurnya, hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya dipagi hari. Mungkin karena sudah terbiasa, mereka sama sekali tak menghiraukan dinginnya udara malam itu. tujuan mereka hanya satu, ingin saling melampiaskan nafsu birahi mereka secepat mungkin, sebanyak mungkin, dan senikmat mungkin.
Warning 21+ mengandung konten dewasa, harap bijak dalam memilih bacaan. Winda Anita Sari merupakan istri dari Andre Wijaya. Ia harus rela tinggal dengan orang tua suaminya akibat sang ibu mertua mengalami stroke, ia harus pindah setelah dua tahun pernikahannya dengan Andre. Tinggal dengan ayah suaminya yang bersikap aneh, dan suatu ketika Anita tau bahwa ayah mertuanya yang bernama Wijaya itu adalah orang yang mengidap hiperseks. Adik iparnya Lola juga menjadi korban pelecehan oleh ayahnya sendiri, dikala sang ibu tak berdaya dan tak bisa melindungi putrinya. Anita selalu merasa was-was karna sang ayah mertua selalu menatapnya dengan tatapan penuh nafsu bahkan tak jarang Wijaya sering masuk ke kamarnya saat ia sedang tidur. Akankah Anita mampu bertahan tinggal bersama Ayah mertuanya yang hiperseks? Atau malah menjadi salah satu korban dari ayah mertuanya sendiri?