Terakhi
menempel di kaca, buram namun tetap memperlihatkan siluet bukit-bukit yang menghilang dalam kecepatan. A
datang dengan mata berbinar dan kamera siap bidik. Tapi bagi Ruth, Roma bukan impian. Bukan pula rumah. Ko
erapa minggu sebelum wanita itu menghembuskan napas terakhir. Ada aroma lavender samar yang masih bertahan, meski di
erisi uang tak seberapa, satu foto kecil berbingkai kayu, dan sebuah amplop cokelat. Surat rekomendasi dari pendeta di kota kecil tempat ia dan ibunya tin
besi berdecit memecah sunyi. "Signorina, Roma Termi
ng. Aroma kopi basi dan parfum murahan masih menggantung di udara. Ia menuruni anak tang
cepat, membawa koper besar dan wajah yang tahu ke mana harus pergi. Sementara Ruth berdi
ain berlalu begitu saja. Lampu stasiun berkelap-kelip seperti nyala harapan yang rapuh. Matanya kemudian menatap papan peng
k ada koneksi. Dunia digital terputus, dan ia mendadak terasa seperti satu-satunya
ntin kecil di lehernya. Bentuknya sederhana, bulat, berisi f
ngan, Bu," bisiknya lirih, nyaris ta
otes. Dengan langkah kecil tapi tetap teguh, Ruth berjalan
dalam kekosongan total, ia m
n Jalan
iun menuju jantung kota. Hujan sore tadi menyisakan genangan dan kilau cahaya dari lampu-lampu toko yang mulai padam. Malam Roma me
hingga tulang. Orang-orang lewat dengan cepat, tanpa menoleh. Dunia berp
setengah, tanda toko akan tutup. Tapi di balik kaca yang mulai berembun, ada satu potong roti yang tersisa-coke
sudut kain yang hampir robek. Beberapa koin logam muncul: dua euro,
song, lalu menghela napas dan berbalik,
suara berat namun le
a sedikit berantakan, seperti baru keluar dari rapat panjang yang gagal total. Ia membawa tas kerja yang terlalu penuh dan sedikit sobek di
rotinya," katanya, menu
lut, tapi hanya mampu mengg
enatap roti itu. Dal
engejek, lebih seperti sesama peli
p koin di tangannya. Lalu
i-lebih keras, lebih menyedihkan. Ia memejamk
kan pisau plastik dari saku jasnya-barang aneh untuk disimpan, tapi malam ini terasa seperti mukjizat kec
"Sekretaris gagal dan konsultan hidup yang belum la
yang hampir lupa ia punya. "Aku Ruth. Tidak punya pek
otinya seperti bersulang.
tidak punya etik
ngapa terasa lebih enak dari apa pun yang pernah ia makan minggu ini. Mungkin karena dibagi.
rtama Ta
kan ke saku celananya. Mereka masih duduk di bangku logam dingin, hanya berjarak dua blok dari
epatunya yang berdebu. "Aku baru
gkat alis.
en
el m
dari m
mendongak ke langit. "Oke
pnya curiga
ang pernah aku datang
ta. "Kau mau ajak a
mesin kopi yang selalu bunyi seperti o
uhnya mulai menggigil karena mantel tipis yang tidak lagi mampu mel
akan kecewa. Aku s
as pintunya tertulis: ROMANO GROUP HEAD OFFICE. Di sisi kiri pintu masuk ada pintu geser kecil m
alik meja mengangkat ke
Leo dengan horma
kan kepalanya dan menyapanya. Setelah beberapa detik, ia kemb
perlahan, menyandarkan kepala, lalu memejamkan mata sejenak. Bau karpet lembap dan kop
uka ranselnya dan mengeluarkan sesuatu-bantal leher berben
us, "ini Signor Avocado. Pendamping
tu dengan dahi berke
. Sudah menemaniku sejak gagal ujian masuk akuntansi
h. "Kau sela
mengeluh. Lebih baik
edak dalam diam. Ia memeluk perutnya samb
aka keluarga. Ruth memeluknya dan menyandarkan kepala
"Terima kasih. Untuk roti. Untuk bantal
orang cuma butuh diajak d
masih menusuk masuk lewat celah pintu. Tapi untuk pertama
uluk Signor Avocado, ia tertidur dengan senyum di wajahnya-bukan karena semua