sam dan mata biru jernih, duduk di dekat jendela, mengamati pegunungan yang menjulang, tanpa tahu bahaya mengintai. Tiba-tiba, suara dentingan logam dan jeritan memec
an, menciptakan ilusi bayangan yang m
itu: pedang-pedang yang berkelebat, sihir gelap yang menyambar, dan suara tangisan yang memilukan. Darah mulai membasah
damkan api, sebuah sosok muncul dari balik pepohonan. Itu Silas. Ia tidak muncul dengan gag
satu Ksatria Ular Bermahkota yang mendekat tiba-tiba tersandung akar pohon yang mencuat tajam dari tanah, jatuh tersungkur dengan suara hantaman keras
rsesat," katanya, lalu mengedipkan mata, ada kilatan licik dan sedikit sensualitas dalam pandangannya yang membuat orang bertanya-tanya, tapi tidak cabul. "Mau ikut kake
kitarnya. Saat Silas mengulurkan tangan, menawarkan sebuah "undangan" yang samar namun penuh maksud, Rowan tidak punya pilihan lain. Bukan karena ia percaya sep
gaimana, ada sedikit kehangatan aneh yang merambat. Silas menarik Rowan keluar dari semak duri, seolah ia hanya mengambil kerikil dari jperampokan dan mayat-mayat yang tergeletak. "Sekarang, jang
lapan hutan lebat. Bagi Rowan, itu adalah akhir dari masa kecilnya yang polos dan awal dari sebuah takdir yang tidak pernah ia bayangkan.
an Baru
dang yang heroik. Hutan adalah guru pertamanya, dan rutinitas Silas adalah kuriku
adang dengan komentar sinis jika Rowan tersandung atau menumpahkan air. "Jika kau tak bisa membawa air, bagaimana kau bisa mengangkat pedang?" ia mungkin akan menyindir. Memasuki kedalaman hutan, mencari ranting dan batang pohon kering yang cukup untuk api unggun malam. Itu berarti bergulat dengan semak berduri, menghadapi serangga, dan belajar membedakan kayu yang baik dari yang busuk. Terkadang, Silas akan melemparkan kapak kecil padanya, "Belajar membelah sendiri, atau kau tidur kedingina
pakah Rowan punya ketahanan, kecerdasan, dan kekejaman yang diperlukan untuk bertahan hidup, apalagi untuk membalas dend
an ketajaman sang guru. Sifat Silas yang sarkas, licik, dan pragmatis telah meresap ke dalam dirinya, membentuk cangkang keras di sekitar hatinya yang terluka. Ia belajar mencibir pada kelemahan, menertawakan kemalangan orang
ekadar bertahan hidup, melainkan pendekatan b
menjadi pelajaran taktik dan stamina. "Bawa pulang kayu bakar dari sarang beruang itu, Rowan. Tapi jangan sampai dia terbangun. Dia rewel jika tidur siangnya diganggu, sama sepertimu." Silas akan menunjuk ke area hutan yang terkenal berbahaya, di mana binatang buas berkeliaran. Ini bukan tentang membelah kayu, melainkan tentang bergerak tanpa suara, mengamati lingkungan, dan menilai risiko. Silas akan mengawasinya dari puncak pohon. "Gerakanmu lambat seperti siput mabuk. Apa kau ingin jadi santapan malam? Kalau begitu, aku akan mengambil pisaumu untuk memotong dagingmu sendiri." Ini menjadi ritual yang kejam. Silas tidak lagi hanya meminta Rowan berburu hewan kecil. "Hari ini, kita akan makan babi hutan," ujarnya suatu kali, matanya berbinar licik. "Tapi kau yang akan menangkapnya. Hidup-hidup." Rowan dipaksa untuk melacak mang
pisau buruannya dengan gerakan cekatan yang efisien. Silas, yang mengawasi dari bayangan, menyesap ramuan pahit dari cawan
edah bangkai, dan menghindari pohon tumbang. Keterampilan yang sangat berharga... jika aku ingin menjadi tukang kebun atau penjagal hewan." Ia menghela napas, gestur yang sa
embuat dirimu sendiri kehilangan jari. Kau pikir pedang itu mainan? Itu alat kematian. Dan kau, kau terlalu lunak. Mudah patah." Ada kilatan mesum di matanya saat ia menatap Row
an dengan tangan kosong karena kau. Jika itu lunak, maka kau yang salah mengajar. Kau yang membentukku menjadi ini." Ia menunjuk dirinya sendiri. "Dan jika pedang adalah alat kem
bodoh. Itu soal jiwa. Soal merasakan niat lawan. Soal menjadi bagian dari pedang itu sendiri." Ia menyesap minumannya lagi, pandangannya mengamati Rowan dari atas ke bawah. "Kau ingin pedang? Baik. Tapi jangan harap itu akan mudah.
menantang, senyum tipis ya
i terlihat efisien dan mematikan. "Besok pagi, saat fajar menyingsing. Siapkan dirimu. Dan jangan berani-berani
ng api unggun yang masih berasap, menatap Rowan dengan pandangan tanpa ekspresi. Tidak ada pedang sun
iaga dalam gerakan yang nyaris sempurna, seolah itu adalah perpanjangan tangannya sendiri. "Ini bukan sekadar kayu. Ini adalah
rasa ringan, namun beban tugas
kata adalah cambuk. "Setiap hari. Tanpa henti. Tanpa mengeluh. Ayunkan seperti kau mengayunkan
hitung. "Satu
ara kosong, dan setiap tusukan berakhir dengan desahan putus asa. Otot-ototnya mulai berteriak protes, melepuh di tangannya, dan keringat membasahi tubuhnya.
erkadang melemparkan kerikil kecil untuk mengenai kaki atau tangan Rowan jika gerakannya terlalu lambat
ngkan. Rasakan getaran rantingnya. Itu bukan sekadar kayu, itu adalah kemarahanmu yang mengalir." Lalu ia akan menampar pelan punggung tangan Rowan
, dan pandangannya kabur karena kelelahan. Tapi ia tidak pernah berhenti sebelum Silas mengizinkannya. Itu bukan ha
seperti pedang-pedang Eropa yang umum dikenal. Bilahnya panjang, melengkung halus dengan satu sisi tajam
, matanya terpaku pada
menyebut nama seorang teman lama. "Pedang bayangan. Ditempa di timur jauh, di tanah
n besar di kejauhan. Kemudian, dengan gerakan yang nyaris tidak terlihat, ia menghilang dari tempatnya berdiri dan muncul kembali di depan poh
g, matanya melebar karen
energi tubuh yang ekstrem. Memungkinkan pemakainya untuk bergerak dalam jarak pendek dengan kecepatan yang melampaui penglihatan biasa." Ia menatap Rowan dengan inten
akan menjadi perpanjangan jiwamu. Perlakukan dengan hormat, latih dengan gigih, dan jangan pernah gunakan tanpa alasan yang benar." Ada sed
Baja yang dingin menyentuh telapak tangannya, membangkitkan sensasi aneh, perpaduan antara ketakutan dan har
erasakan beban tanggung jawab yang baru dipikulnya, se
lam dari sekadar otot atau kecepatan," Silas menjelaskan, matanya menatap t
ning. "Ki? Apa itu,
r di dalam setiap makhluk hidup, di setiap helai rumput, di setiap napas yang kau hirup. Ini adalah esensi dari keberadaan. Kau
i yang tak terkendali. Seorang pendekar sejati belajar mengarahkan Ki-nya, memfokuskannya, dan meledakkannya saat dibutuhkan. Kage-Ayumi b
tanya Rowan, cengkeramannya pada gag
dengan nada sarkasnya. "Pejamkan matamu. Rasakan tubuhmu. Bukan ototmu yang pegal, bukan lukamu
dari ayunan ranting. Mereka duduk berjam-jam dalam keheningan total, fokus pada napas dan sensasi di dalam tubuh. Silas
e setiap ujung jarimu. Bayangkan itu seperti api kecil yang membakar dari dalam," Silas akan mengins
ga batas napas, menahan napas di bawah air dingin sampai paru-paru terbakar, atau berdiri diam di bawah terik matah
eledak. "Tanpa fondasi yang kuat, bangunan setinggi apapun akan runtuh. Dan kau, kau akan runtuh jika kau tidak bisa menguasai Ki-mu. Lalu apa
sakan sesuatu. Bukan lagi sekadar sensasi fisik, melainkan aliran halus yang berdenyut di bawah kulitnya
gkali energinya lepas kendali atau menghilang begitu saja. Yang paling mencolok, setiap kali Rowan berhasil memfokuskan Ki-nya, ia bisa melihat samar-sama
idak selembut yang ku kira, Bocah. Ki-mu... itu seperti ma
a dicapai dengan penguasaan sejati. Ia mengambil ranting kering yang sering mereka gunakan untuk latihan. "Lihat bai
a hitam pekat yang lebih pekat dan stabil daripada yang pernah dihasilkan Rowan mul
an. Udara di depan ranting itu seolah terbelah, menciptakan riak kehitaman yang tampak memutar dan merobek ruang hampa.
ntuk memanipulasi ruang, membuka celah sesaat yang bisa memotong apa pun yang dilewatinya. Bahkan realitas i
batang ranting. Ini adalah level yang belum pernah ia bayangkan. Sebuah bara baru menyala dalam diri Rowan-bukan ha
a memiliki tujuan yang lebih tajam: dendam. Ia telah melihat alat untuk menghancurkan mereka yang mengambil segalanya dari dia, dan tidak ada lagi keraguan. Kegigihan Rowan dalam m
ang gelap di balik sarkasme dan pragmatisme Rowan. Ia mulai membalas gurauan sinis Silas dengan leluconnya se
, Bocah?" Silas akan menyalak, suaranya serak. "Apa kau
"Tentu saja, Kakek. Lumut itu penasihat yang bijaksana. Siapa tahu mereka bisa mengajariku cara membuat bangsawan koru
ng nyaris tak terlihat. "Dasar pemalas. Kau pikir mus
pelan. "Atau setidaknya, mereka akan terlalu bingung untuk menyerang. Bayangkan saja, merek
ebihkan. "Nah, bagaimana? Aku sudah bisa membayangkan wajah Bangsawan Vortigern saat melihat jurus ini. Mungkin dia akan kencing di celana. La
adalah langkah pertama menuju kematian. Apalagi omong kosongmu itu. Mungkin dia aka
uga cara menghadapi dunia yang brutal dengan humor yang pahit, mengolok-olok penderitaan, dan melihat absurditas dalam keseriusan hidup. Ki hitamnya mungkin me
akutan. Dengan Kage-Tsurugi yang telah menjadi perpanjangan tangannya dan Ki hitam pekat yang mengalir stabil da
melemparkan sebuah gulungan kain tua kepada Rowan. "Cukup dengan ayunan
u tua, dengan sampul yang usang dan tulisan tangan yan
yang kini sudah menjadi bagian dari dirinya. "Atau ini resep rahasia
Ini tidak seperti omong kosong yang diajarkan di perguruan pedang di sini. Ini nyata. Pelajari. Pahami." Ia menatap Rowan dengan pandangan tajam. "Jika kau ingin memotong kepala par
as, seringai licik muncul di wajahnya. "Dan kau
ap kayu bakar dan ale yang kuat menyambut mereka. Mereka masuk ke sebuah bar yang remang-remang dan ramai. Rowan, yang terbia
cangkir ale. "Dua cangkir, Gadis manis," katanya pada pelayan bar yang lebih muda, mengedipkan mata genit. "Satu untuk ka
n godaan Silas. Rowan hanya mendengus, me
aspada mengamati sekeliling. "Pedang ini, Kage-Tsurugi, berasal dari tempat yang jauh di timur. Tempat di
n, penasaran. "Ja
itu." Ia menyeringai. "Tapi, ada banyak gadis cantik di sana juga. Dan kakek tua ini, yah... kau tahu kan? Sulit menolak pesona wanita-wanita dari timur." Ia tertawa renyah
engah semua lelucon mesumnya, tetap memancarkan aura bahaya yang tak terbantahkan. Guru yang aneh, pedang mi