nyaman. Entah siang atau malam, aku tak tahu pasti. Yang kurasakan hanyalah dingin yang menyelimuti sekujur tubuhku, seol
ni. Sekilas, ruangan ini mirip bangsal rumah sakit-dinding putih, bau antiseptik samar di udara. Tapi anehnya
membuat bulu kudukku berdiri. Aku buru-buru memejamkan mata lagi, takut entah apa yang a
Aku? Aku jelas-jelas tidak sakit! Tapi sebelum aku bisa protes, aku merasakan kehadiran seseorang b
aga. Di depanku berdiri seorang perempuan-suster, dari seragam putih ketat yang membalut tubuhnya. Wajahnya cantik, dengan kulit mu
ku tergagap, suaraku serak. Aku b
n tubuhnya ke arahku. Jari telunjuknya yang ramping mendekat
dada, hingga ke dahiku. Setiap sentuhan membuatku gemetar, keringat dingin mulai membasahi kulitku. Aku, Deni, pemuda 17 tahun yang s
nyanya dengan nada khawatir, tapi matanya seolah menyimp
. "Ehm, saputangan... di mana ya?" gumamnya sambil meraba-raba sakunya. Gerakannya begitu... menggoda. Tangan kecilnya menyusuri lekuk tubuhnya, dari
menungging tepat di depanku. Seragamnya yang ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya dengan jelas. Aku merasa darahku mendidih, tubuhku bereaksi
i, dan matanya tak pernah lepas dari mataku. Tatapannya penuh gairah, seolah menantangku untuk bereaksi. Aku cuma bisa menahan napas, berusah
Aku menunjuk dengan tangan geperhatiin banget, ya?" Tanpa kusangka, dia malah membuka sa
Tapi tubuhku lebih jujur di bawah sana, aku sudah tak bisa menye
tersenyum licik. Tangannya tiba-tiba merayap, menyelin
Aku hampir tak bisa berpikir jernih. S
n nada menggoda, tangannya terus ber
Aku tak bisa menahan diri lagi. "Ahh, Sus
AAAA
an cuma dari keringat, tapi juga air yang tiba-tiba menyiramku. Di depan
berapa ini?!" bentaknya, tap
ahami apa yang terjadi. Aku melirik ke bawah-celanaku basah, tapi buk
gun-bangun. Ngigau apa sih lo, sampe senyum-senyum s
Kak Lisa meninggalkan kamarku, dan aku hanya bisa menatap kasur yang basah dengan
rsam