ayangan suster dari mimpi itu terus muncul, dengan senyumnya yang menggoda dan sentuhan yang bikin tubuhku panas dingin. Yang lebih parah
amai seperti biasa: anak-anak kelas satu teriak-teriak main kejar-kejaran, sementara senior macam aku cuma pengen cepet masuk kela
i dan Bima. Dia pakai seragam yang sedikit kusut, tapi entah kenapa, roknya yang sedikit di atas lutu
thon?" Rudi nyengir, melempar bola kertas ke arahku.
sal, tapi Tika tiba-tiba menoleh, matanya menatap
a sambil nyengir nakal. Rudi dan Bima langsung ketaw
wajahku pasti sudah merah. Tika cuma tertawa, lalu berjalan k
30-an, tapi wajahnya... astaga, mirip banget sama suster di mimpiku. Kulitnya putih mulus, rambutnya panjang tergerai, dan seragam guru yang selalu rapi itu entah kenapa terasa k
unan. Aku buru-buru membuka buku, tapi pikiranku malah nggak fokus ke teks. Hormon? Ya Tuhan, kenapa harus hormon? Ak
mimpiku-membuat kepalaku pening. Aku cuma bisa mengangguk, tak berani menatap matanya. Tapi mata sialan ini malah melir
jatuh dari meja. Bu Vina tersenyum kecil-sama seperti suster di mimpiku-dan itu cukup bikin aku merasa sesuatua-tiba muncul di sebelahku, membawa sebotol teh dingin. "Den, lo kenapa sih? Tadi di kelas kayak orang ketakutan. Bu
teh dingin yang dia kasih. Tapi Tika nggak berhent
ga, ya?" Dia tertawa, tapi kali ini tawanya terasa beda-seperti dia ngga
n Bu Vina dan suster itu muncul lagi, bercampur dengan wajah Tika yang tadi sore menatapku dengan cara yang bikin aku bingung. Aku menghela napas, m
t. Tapi lo jangan ngelamun soal suster lagi, oke? 😜" Aku menatap layar, jantungku berdegup kencang. Apakah Tik
rsam